Menimbang Dalil Pembangunan Masjid Mewah: Sebuah Kritik Maqasidi

Tren pembangunan masjid mewah dengan kubah besar, menara tinggi, dan ornamen mahal kini bermunculan di berbagai daerah. Dalil yang sering dikutip untuk membenarkan proyek-proyek tersebut adalah hadis, “Siapa yang membangun masjid karena Allah, Allah bangunkan baginya rumah di surga.” Namun ayat maupun hadis mengenai masjid tidak pernah menekankan aspek bentuk fisik, melainkan fungsi dan tujuan. QS At-Taubah:18 menegaskan bahwa yang memakmurkan masjid adalah orang beriman yang “menegakkan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali kepada Allah” sebuah penekanan bahwa kemuliaan masjid terletak pada fungsi ibadah dan manfaat sosialnya, bukan pada kemegahan bangunannya.

Dalam pendekatan tafsir maqāṣidī, setiap dalil harus dipahami dari tujuan syariatnya. Al-Qur’an memberi prinsip dasar: “Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS Al-A‘raf:31). Ayat ini menjadi batas syar‘i atas industri estetika masjid yang mengarah pada isrāf ketika anggaran besar habis untuk kubah dekoratif, marmer impor, atau menara yang tidak lagi memiliki fungsi syar‘i. Kaidah maqāṣid menempatkan kemaslahatan sebagai arah utama kebijakan keagamaan: “Syariat dibangun atas dasar mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat.” Dengan pisau analisis ini, yang dinilai bukan bentuk bangunan, tetapi sejauh mana masjid menghadirkan kemanfaatan bagi umat.

Hadis tentang membangun masjid juga harus dipahami secara maqāṣidī. Spiritnya adalah menghadirkan ruang ibadah yang layak, nyaman, dan memudahkan orang mendekat kepada Allah. Rasulullah SAW sendiri membangun masjid dengan struktur sederhana, namun justru menjadikannya pusat ibadah, dakwah, pendidikan, dan solidaritas sosial. Dalam hadis lain, beliau menegaskan: “Permudahlah dan jangan mempersulit.” Prinsip mempermudah (taysīr) ini adalah salah satu maqāṣid penting yang jelas-jelas menunjukkan bahwa orientasi masjid adalah pelayanan, bukan estetika.

Ketika teknologi modern telah menggantikan fungsi arsitektur klasik—speaker menggantikan menara, sistem ventilasi menggantikan kebutuhan kubah mahal—maka porsi besar untuk komponen ornamental tidak lagi memenuhi kriteria maslahat. Ayat “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta; sesungguhnya para pemboros adalah saudara-saudara setan” (QS Al-Isra’:26–27) menjadi relevan dalam konteks masjid yang secara simbolik megah tetapi secara fungsi minim. Dalam perspektif maqāṣid, setiap pengeluaran yang tidak mendukung kemaslahatan ibadah, pendidikan, dan sosial masuk kategori tanfīq al-māl (penghamburan harta), meski dikemas dalam nama pembangunan masjid.

Karena itu, pembangunan masjid hari ini perlu dikembalikan pada tujuan-tujuan syariat: memudahkan ibadah, memperkuat dakwah, memajukan pendidikan, serta menghidupkan solidaritas sosial. Pahala dalam hadis “man banā masjidan” bukan untuk kubah paling mahal atau menara tertinggi, tetapi bagi mereka yang membangun masjid yang fungsional dan bermanfaat. Dengan membaca dalil secara maqāṣidī, kita diajak untuk menata ulang orientasi: dari mengejar simbol menuju menghadirkan substansi. Inilah saatnya masjid menjadi pusat kehidupan umat, bukan sekadar monumen arsitektur.

Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini