Di tengah gempuran stres, luka batin, dan tekanan hidup di era modern saat ini, istilah self-healing menjadi kata kunci yang ramai diperbincangkan. Self-healing dimaknai sebagai proses untuk menyembuhkan diri sendiri dari gangguan psikologis seperti trauma masa lalu, stress, patah hati, dan sebagainya.
Proses penyembuhan diri ini memiliki makna lebih mendalam ketimbang sekadar berlibur atau menenangkan diri. Proses ini meniscayakan ikhtiar batin dari seseorang untuk lebih mendengar suara hati sehingga mendapat ketenangan yang berarti. Dalam Islam, ikhtiar meraih ketenangan batin hanya dengan mengingat Allah swt. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “ala bidzikrillahi tatmainnul qulub” (Hanya dengan mengingat-Ku hatimu akan tenang” (Q.S. Ar-Ra’du [13]: 28)
Tentu saat ini, banyak orang mencari cara untuk menyembuhkan diri dari trauma masa lalu, kecewa, bahkan rasa bersalah yang menyiksa batin. Namun, tahukah kita bahwa jauh sebelum istilah ini menjadi tren psikologi kontemporer, Al-Qur’an sesungguhnya telah memberikan panduan dan pedoman luar biasa tentang bagaimana menyembuhkan diri—langsung dari kisah para nabi?
Salah satu pelajaran self-healing paling menyentuh datang dari kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Nabi Yusuf dikhianati saudara sendiri, dilempar ke sumur, dijual sebagai budak, difitnah, dipenjara bertahun-tahun. Yusuf adalah simbol dari luka yang dalam. Namun, ketika berjumpa kembali dengan saudara-saudaranya, ia tidak membalas dendam. Justru, dengan penuh kelembutan ia berkata:
Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dia Maha Penyayang di antara para penyayang (QS. Yusuf [12]: 92)
Dalam Tafsir al-Misbah, kata tasriba bermakna mengecam berulang-ulang kali sembari menyebut-nyebut kesalahan dan keburukan. Nabi Yusuf dalam ayat di atas mengatakan la tasriba, tidak ada cercaan, tidak ada makian, tidak ada kecaman, amarah dan ejekan dariku terhadap kamu pada hari dan saat ini, apalagi hari-hari mendatang.
Artinya, Nabi Yusuf memiliki ketenangan batin dalam menghadapi trauma masa lalu. Nabi Yusuf telah berhasil menyembuhkan dirinya sendiri dan menjadi pribadi yang tenang, positif dan bahkan penyayang terhadap mereka yang telah berbuat buruk kepada dirinya.
Kata-kata yang disampaikan Nabi Yusuf ini bukan sekadar ungkapan pemaafan. Ia merupakan bentuk penyembuhan diri yang paling mulia—memaafkan dan mengampuni serta mendoakan kebaikan kepada orang lain sebagai jalan untuk menyembuhkan luka diri sendiri. Dalam bahasa psikologi, tindakan ini mempercepat proses rekonsiliasi batin dan memperkuat kesehatan mental.
Memaafkan Diri
Namun, self-healing tak berhenti pada memaafkan orang lain. Yang paling sulit adalah memaafkan diri sendiri. Memaaafkan diri sendiri adalah langkah menuju ketentraman. Kita sering kali menjadi hakim paling kejam atas kesalahan kita sendiri. Kita mengungkit kegagalan masa lalu, keputusan yang salah, atau dosa yang pernah dilakukan, dan membiarkannya menjadi belenggu yang menyandera ketenangan jiwa.
Alquran, melalui kisah Nabi Musa ‘alaihissalam, juga menyentuh sisi ini. Dalam QS. Al-Qashash: 15-16, Musa membunuh seseorang karena membela yang tertindas. Ia menyesal. Ia mengakui kesalahannya di hadapan Allah:
Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Dia (Allah) lalu mengampuninya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Qashash [28]: 16)
Nabi Musa, dalam ayat di atas, menyadari atas perbuatan dosa atau keburukan yang telah diperbuat lalu ia segera meminta maaf atas dirinya sendiri, ia mengadu kepada Tuhannya bahwa ia lemah, hina, sehingga menzalimi dirinya sendiri dan oleh karenanya ia meminta ampun.
Doa Nabi Musa di atas adalah pengakuan diri atas ketidakberdayaan kita dalam mengontrol diri, bahkan hanya sekadar mengendalikan hawa nafsu kita pun tidak berdaya. Dengan mengakui bahwa kita telah menzalimi diri sendiri, pada hakikatnya, membantu memulihkan jiwa kita lebih tenang dan menguatkan keimanan kita.
Nabi Musa, dalam hal ini, tidak membiarkan kesalahan masa lalunya menghancurkan masa depannya. Ia memilih untuk bangkit, belajar dari kesalahan, dan terus menjalankan misi kenabian. Ini adalah pelajaran penting: berdamai dengan masa lalu bukan berarti melupakan, tapi memaknainya sebagai titik balik.
Berdamai dengan Masa Lalu dan Bangkit
Banyak dari kita terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Padahal Al-Qur’an telah mengajarkan prinsip “laa tahzan” — jangan bersedih berlebihan atas hal yang telah terjadi, karena Allah Maha Mengetahui yang terbaik bagi kita.
Musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan (Allah) memaafkan banyak (kesalahanmu) (QS. Asy-Syura [42]: 30)
Ayat ini menyadarkan kita bahwa Allah bukanlah Tuhan yang pendendam, melainkan Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Ia membuka ruang bagi hamba-Nya untuk bangkit, berubah, dan memperbaiki diri. Dalam ayat yang lain disebutkan bahwa, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah sekalipun engkau melampui batas dan janganlah galau lagi khawatir sesungguhnya derajat Engkau sangatlah tinggi.
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. (Q.S. Az-Zumar [39]: 53)
Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin. (Q.S. Ali Imran [3]: 139)
Dua ayat di atas adalah harapan bagi kita, yang mungkin dalam menjalani hidup ini tidak lepas dari perbuatan dosa, maksiat, salah dan khilaf, agar tidak berkecil hati karena Allah sungguh sangat membuka pintu ampunan dan pintu kembali selebar-lebarnya. Allah sangat menunggu taubat kita.
Sebagai penutup, self-healing sejati bukan sekadar relaksasi, rekreasi atau me-time. Dalam perspektif Al-Qur’an, ia merupakan perjalanan spiritual menuju penerimaan diri. Memaafkan bukan tanda kelemahan, tapi kekuatan. Berdamai bukan berarti menyerah, tapi membebaskan diri dari belenggu luka yang tidak lagi kita butuhkan.
Saat kita mengambil pelajaran dari para nabi, boleh jadi kita menyadari bahwa luka adalah bagian dari hidup, tapi tidak boleh menjadi pusat hidup. Dengan memaafkan diri, berdamai dengan masa lalu, bangkit dari keterpurukan serta berserah kepada Allah, kita sedang menempuh jalan self-healing yang hakiki—jalan yang penuh cahaya.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini