Intervensi manusia terhadap alam telah memasuki babak baru, ditandai semakin besarnya skala kerusakan alam yang berdampak pada kehidupan manusia dan ekologi. Sejumlah wilayah di Indonesia, baru-baru ini – terkhusus banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera, dan Sulawesi – menjadi bukti adanya kerusakan alam yang masif. Bumi tempat kita berpijak hari ini bukan sekadar ruang hidup, tetapi amanah ilahi yang menuntut kepedulian.
Setiap bencana ekologis—banjir bandang, longsor, kekeringan, hingga krisis udara—sebenarnya tengah memperlihatkan betapa rapuhnya relasi manusia dengan alam. Banyak yang menganggap kerusakan lingkungan sebagai akibat teknis belaka, yakni tata ruang yang buruk, penebangan dan pembalakan liar, atau alih fungsi hutan, dan semacamnya. Padahal, dalam perspektif keislaman, kerusakan alam merupakan cerminan dari retaknya kesadaran spiritual kita sebagai hamba sekaligus khalifah.
Islam mengajarkan bahwa menjaga alam bukanlah aktivitas sampingan atau agenda aktivis tertentu, tetapi bagian dari ibadah. Bumi memiliki nilai intrinsik sebagai ciptaan Allah yang harus dijaga dan dirawat keseimbangannya. Ketika kita merawat alam, sesungguhnya kita tengah memelihara kehidupan; dan ketika kita merusaknya, kita sedang mengkhianati amanah Tuhan. Di sinilah pentingnya menyadari kembali posisi manusia sebagai khalifah, bukan penguasa yang bebas adikuasa mengeksploitasi, melainkan penjaga yang bertugas memakmurkan dan melestarikan.
Al-Qur’an menegaskan betapa besarnya nilai menjaga kehidupan dalam QS. al-Mā’idah [5]: 32.
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian, sesungguhnya banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi. (QS. al-Mā’idah [5]: 32)
Manusia adalah Alam itu Sendiri
Jika dibaca dalam konteks kekinian, tafsir ar-Rāzi tentang ayat di atas “Barang siapa membunuh satu jiwa, seakan-akan ia membunuh seluruh manusia” membuka ruang refleksi yang jauh lebih luas dari sekadar relasi antar-manusia. Ar-Rāzi memang membahas enam makna pembunuhan, mulai dari membunuh nabi, penguasa adil, hingga membunuh satu jiwa secara zalim yang mengundang qishash. Namun esensi dari semua itu sama, yakni sebuah tindakan destruktif terhadap kehidupan selalu menimbulkan efek sistemik yang jauh melampaui korban langsungnya.
Ar-Rāzi dalam Tafsir al-Kabir menegaskan,
مَن قَتَلَ نَفْسًا ظُلْمًا بِغَيْرِ نَفْسٍ قُتِلَتْ، فَيُقْتَلُ قِصاصًا، أوْ فَسادٍ في الأرْضِ اسْتَحَقَّتْ بِهِ القَتْلَ، الفَسادُ في الأرْضِ يَكُونُ بِالحَرْبِ لِلَّهِ ولِرَسُولِهِ وإخافَةِ السَّبِيلِ
Barang siapa membunuh seseorang secara zalim—bukan karena ia membunuh orang lain sehingga ia dihukum qishas, dan bukan pula karena ia membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan ia layak dihukum mati—maka perbuatannya termasuk kejahatan besar. Kerusakan di muka bumi di sini mencakup tindakan memerangi Allah dan Rasul-Nya serta menebar teror di jalanan.
Dalam kerangka ekologis hari ini, manusia yang dibunuh itu dapat dibaca sebagai alam—sebuah organisme hidup yang menopang keberadaan manusia. Tatkala manusia merusak hutan, mencemari sungai, mengeksploitasi alam dengan aktivitas pertambangan, eksploitasi laut dan sederet aktivitas destruktif lainnya, sesungguhnya ia sedang membunuh “dirinya sendiri”. Sebab, alam bukan entitas lain yang berdiri di seberang manusia. Alam adalah ruang hidup, penopang eksistensi, dan jaringan kehidupan yang membuat manusia bisa bertahan.
Tindakan merusak alam, dalam perspektif ini, selaras dengan makna pembunuhan yang disebut ar-Rāzi. Pertama, ia menebar fasād fi al-arḍ—kerusakan di muka bumi—yang dalam tafsir klasik dipahami sebagai bentuk permusuhan terhadap tatanan Ilahi. Kebijakan negara yang tidak pro alam dan kemanusiaan termasuk fasād fi al-arḍ karena mengganggu keseimbangan ekologis yang menjadi anugerah Tuhan untuk seluruh makhluk. Kedua, ia menciptakan efek domino yang mengancam hidup banyak jiwa, sebagaimana pembunuhan satu jiwa yang “seakan membunuh seluruh umat manusia.”
Maka, tatkala manusia membunuh alam, yang sebenarnya ia bunuh bukan hanya pohon, sungai, atau tanah. Ia sedang membunuh masa depan pangan, udara bersih, air minum, kesehatan publik, masa depan generasi bangsa dan akhirnya dirinya sendiri. Ar-Rāzi menekankan bahwa tindakan merusak kehidupan memiliki bobot moral dan sosial yang sangat besar—“seakan-akan membunuh seluruh manusia.” Jika prinsip ini diterapkan pada ekologi, maka kerusakan yang kita lakukan pada alam hari ini ialah pembunuhan kolektif yang dampaknya teramat fatal dirasakan oleh seluruh generasi.
Dengan kata lain, tatkala manusia membunuh satu bagian dari alam, sebenarnya ia sedang membunuh kemanusiaannya sendiri. Sebab kehidupan kita dan kehidupan alam adalah satu tarikan nafas yang seiring-sejalan, satu ekosistem yang tak terpisahkan.
Tatkala sebuah pohon ditebang sembarangan, sungai dicemari, hutan dikuliti, atau tanah dan laut dieksploitasi dengan membabi buta, sesungguhnya manusia sedang mengikis kemanusiaannya pelan-pelan. Sebab hidup kita dan hidupnya alam adalah bagian dari satu tarikan nafas yang saling menopang; kita berdiri karena bumi berdiri, dan kita tumbuh karena bumi memberi ruang untuk tumbuh. Relasi keduanya bukan hubungan pemilik dan barang atau patron-klien, melainkan satu ekosistem yang terikat dalam amanah ilahi.
Tidak heran bila Nabi Muhammad SAW menegaskan pentingnya menjaga kehidupan melalui tindakan sederhana namun sarat makna, yaitu menanam.
إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Bahkan dalam situasi paling ekstrem seperti menjelang kiamat sekalipun, sebagaimana pesan hadis di atas, Rasulullah berpesan agar seseorang tetap menanam tunas yang ada di tangannya. Pesan ini tidak sekadar ajakan bertani, tetapi ajakan ekologis sekaligus simbol bahwa menjaga bumi merupakan ibadah yang teramat mulia.
Dalam hadis lain, Nabi SAW menegaskan bahwa setiap pohon yang kita tanam akan menjadi ladang kebaikan yang terus mengalir. Apapun yang tumbuh darinya—dimakan manusia dan dinikmati hewan serta tumbuhan di alam raya ini—semuanya bernilai sedekah bagi penanamnya karena menjaga dan melestarikan keberlanjutan ekosistem alam.
Islam memperlihatkan betapa merawat alam bukan hanya tugas ekologis, melainkan “amal jariyah” yang pahalanya tak pernah putus. Dalam konteks inilah, menjaga alam harus dipahami sebagai ibadah yang menyatu dengan iman. Kesadaran ekologis bukan hanya wacana modern, melainkan warisan spiritual yang sudah diteguhkan sejak Islam lahir. Kini, tugas kitalah sebagai khalifah untuk mengembalikan keharmonisan itu—dengan merawat bumi, menjaga kehidupan, dan menunaikan amanah Allah dengan penuh tanggung jawab.
Setiap pohon yang kita tanam, setiap lahan mati yang kita hidupkan, setiap ruang hijau yang kita jaga adalah bukti bahwa kita telah menunaikan peran sebagai khalifah dengan sebaik-baiknya. Memakmurkan bumi adalah bagian dari memakmurkan kemanusiaan itu sendiri.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini