Tauhid merupakan inti dari ajaran agama yang dibawa oleh para Rasul, termasuk Islam.
Secara bahasa, kata tauhid berasal dari bahasa Arab wahhada-yuwahhidu, yang artinya menjadikan sesuatu sebagai satu-satunya.
Secara agama, tauhid mengajarkan konsep bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan. Sebagaimana kalimat pertama dari dua kalimat syahadat, yang adalah poin pertama dalam rukun Islam, “Tiada tuhan selain Allah.”
Ajaran mengenai tauhid ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Salah satu surat yang menekankan tentang konsep ini adalah surat al-Ikhlas, ayat 1-4:
Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tumpuan harapan (tempat bergantung segala sesuatu). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
Surat tersebut, menurut mayoritas ulama, diturunkan untuk menjawab pertanyaan kaum musyrikin tentang seperti apa Tuhan yang disembah Rasulullah saw.
Keesaan Allah swt. yang disebutkan dalam ayat pertama surat al-Ikhlas di atas, menurut M. Quraish Shihab dalam “Tafsir Al-Misbah”, mencakup keesaan Dzat, keesaan sifat, keesaan perbuatan, dan keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
Keesaan Dzat berarti Allah swt. berdiri sendiri, tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian, yang membuat-Nya tidak membutuhkan sesuatu apapun.
Keesaan sifat, maksudnya sifat yang dimiliki-Nya tidak sama, baik dalam substansi maupun kapasitas, dengan sifat makhluk.
Keesaan dalam perbuatan artinya, segala sesuatu di alam raya ini merupakan hasil kuasa-Nya dan tak akan terjadi tanpa izin atau kehendak-Nya. Tetunya, keesaan perbuatan ini terkait dengan sunnatullah yang ditetapkannya dalam sebuah sistem yang teratur.
Keesaan dalam beribadah kepada-Nya merupakan perwujudan dari ketiga makna lainnya, yang bermakna melaksanakan segala sesuatu hanya karena Allah, baik berupa ibadah mahdhah (shalat, puasa, dan sebagainya), maupun aktivitas lainnya.
Makna keesaan tersebut, ditegaskan lagi dalam ayat-ayat berikutnya. Di ayat kedua, dijelaskan bahwa Allah swt. adalah satu-satunya tempat mengantungkan harapan yang sempurna, yang tidak memiliki ketergantungan pada siapapun. Di ayat ketiga dan keempat, disebutkan bagaimana Allah swt. tidak memiliki keturunan dalam bentuk apapun ataupun berasal dari suatu apapun. Tidak ada satu makhluk pun, baik dalam dunia nyata maupun alam imajinasi, yang menyerupai-Nya, mendekati wujud atau kuasa-Nya, apalagi setara dengan-Nya.
Walau pendek, surat al-Ikhlas memuat puncak akidah kita sebagai seorang muslim, sehingga Rasuullah saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, surat al-Ikhlas itu senilai sepertiga al-Quran.” (HR. Malik, Bukhari dan Muslim).
Pemahaman, pengimanan, dan pengamalan tauhid ini merupakan prioritas utama untuk terus ditingkatkan oleh setiap muslim, sehingga kita dijauhkan dari segala bentuk kemusyrikan, dan pada akhirnya “shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku” benar-benar hanya untuk Allah swt. [aca]