Menolak Perjodohan? Simak Kisah dalam Hadis Ini

Bagi sebagian orang tua, perjodohan adalah bentuk kasih sayang; sebuah ikhtiar agar putra-putrinya mendapatkan pasangan terbaik menurut pengetahuan dan pengalaman mereka. Banyak orang tua yang merasa senang ketika dapat mempertemukan anaknya dengan calon pendamping hidup.

Namun, di sisi lain, tidak sedikit anak yang justru merasa cemas, tertekan, bahkan takut ketika mendengar kata “dijodohkan”. Perjodohan dapat menjadi momok menakutkan bagi anak yang merasa kehilangan kendali atas pilihannya sendiri. Ketegangan antara keinginan orang tua dan perasaan anak inilah yang sering menjadi akar konflik dalam keluarga.

Kisah Perempuan yang Dijodohkan di Masa Nabi Muhammad

Islam tidak menutup mata terhadap persoalan kecocokan dan persetujuan dalam pernikahan. Bahkan, pada masa Nabi Muhammad Saw, terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa seorang wanita memiliki hak penuh untuk menolak pernikahan yang tidak ia ridai.

Ibnu Majah dan al-Nasa`i meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab sunan mereka masing-masing di mana Buraidah bin al-Hashib mengisahkan bahwa ada seorang perempuan yang datang kepada Nabi kemudian berkata:

Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui diriku.” Buraidah menjelaskan, “Nabi Saw memberikan keputusan akhir kepada sang perempuan.” Kemudian sang perempuan berkata, “Aku telah rela dengan apa yg dilakukan ayahku terhadapku (dijodohkan). Tetapi aku ingin agar para perempuan mengetahui bahwa ayah-ayah tidak memiliki hak dalam perkara ini.

Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya 60 Hadits Shahih: Khusus Tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam (hal. 162), menyebut hadis di atas masih relevan hingga kini. Beliau menjelaskan bahwa penegasan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam teks ini adalah hak pernikahan bagi perempuan itu sendiri, bukan ayahnya apalagi keluarga jauh.

Hadis ini menegaskan bahwa ridha adalah fondasi utama dalam akad nikah. Seorang perempuan tidak boleh dipaksa, dan suaranya harus dihormati. Jika pada masa Nabi saja hak individu dihargai, terlebih pada masa sekarang ketika komunikasi dan kesadaran pribadi semakin penting.

Perjodohan sebagai Potensi Keretakan Hubungan

Perjodohan memang bisa menjadi jalan kebaikan, tetapi juga dapat memicu masalah bila salah dikelola. Ada keluarga yang retak karena orang tua merasa pilihannya ditolak, sementara sang anak merasa tidak didengarkan. Ketidakseimbangan komunikasi ini dapat melahirkan luka emosional yang memanjang.

Selain itu, menikah hanya karena dorongan orang tua dapat menimbulkan ketidaknyamanan dalam rumah tangga baru. Pasangan yang sebenarnya belum saling cocok mungkin merasa terpaksa menjalani kehidupan bersama, yang secara perlahan bisa menggerogoti keharmonisan rumah tangga.

Penulis pernah mendapat cerita di mana ada satu pasangan yang dijodohkan tetap hidup bersama setelah satu tahun, tetapi interaksi yang terjalin seperti dua orang asing yang baru bertemu. Baik suami mau pun istri adalah pribadi yang pendiam, sehingga tidak dapat membangun komunikasi serta bersikap layaknya pasangan. Si istri menunggu perintah dari suami. Sedangkan si suami ingin agar istrinya melayaninya tanpa disuruh.

Diamnya Anak Tidak Selalu Berarti Setuju

Kadang, anak memilih diam bukan karena menerima perjodohan tersebut, melainkan karena tidak berani menyampaikan perasaannya. Ia takut mengecewakan orang tua dan takut membuat suasana menjadi tegang.

Diamnya anak juga sering disebabkan kekhawatiran akan dianggap sebagai anak durhaka. Siakp ini biasanya terjadi akibat narasi-narasi keagamaan yang menyebut bahwa anak wajib taat kepada orang tua, termasuk dalam hal perjodohan. 

Diam seperti ini adalah bentuk kepasrahan yang rapuh dan tidak bisa dijadikan dasar untuk mengambil keputusan besar seperti pernikahan. Bila orang tua menganggap diam sebagai persetujuan bulat, kesalahan tafsir ini dapat menjadi pemicu konflik di kemudian hari—bahkan setelah pernikahan berlangsung.

Karena itu, dialog terbuka sangat dibutuhkan. Orang tua perlu memastikan bahwa persetujuan anak benar-benar lahir dari kehendak dan kenyamanan, bukan dari rasa takut atau tekanan batin.

Sikap Terbuka Bagi Orang Tua dan Anak

Menolak perjodohan dalam Islam bukanlah bentuk kedurhakaan, selama dilakukan dengan adab dan niat yang benar. Hal pertama yang perlu dijaga adalah cara berbicara. Seorang anak sebaiknya menyampaikan penolakannya dengan bahasa yang lembut, penuh penghormatan, dan tidak melukai perasaan orang tua. Penting untuk menegaskan bahwa penolakan tersebut bukanlah penolakan terhadap niat baik orang tua, melainkan ungkapan kejujuran atas kondisi batin dan kesiapan diri.

Kejujuran menjadi kunci utama. Anak tidak harus membuka semua detail yang bersifat pribadi, tetapi cukup menjelaskan alasan secara wajar, seperti belum merasa cocok, belum siap menikah, atau ingin mempertimbangkan masa depan dengan lebih matang. Penyampaian yang jujur dan tenang jauh lebih baik daripada diam yang disalahartikan sebagai persetujuan, atau menerima perjodohan dengan hati yang terpaksa.

Dalam proses ini, dialog lebih utama daripada perdebatan. Mendengarkan pandangan orang tua dengan sikap terbuka, lalu menyampaikan pendapat sendiri secara santun, akan membantu menciptakan suasana yang lebih kondusif. Jika memungkinkan, anak juga dapat menawarkan solusi, seperti meminta waktu tambahan, kesempatan mengenal calon terlebih dahulu, atau menyampaikan keinginan untuk memilih pasangan secara mandiri namun tetap dalam koridor nilai-nilai agama.

Di atas semua itu, doa tidak boleh ditinggalkan. Perjodohan sering kali menyentuh sisi emosional yang dalam, baik bagi orang tua maupun anak. Karena itu, memohon kepada Allah agar diberikan kelembutan hati, kejernihan pikiran, dan keputusan terbaik bagi semua pihak adalah bagian penting dari ikhtiar. 

Dengan adab yang baik, kejujuran, dan tawakal, menolak perjodohan dapat menjadi proses yang tidak merusak hubungan keluarga, bahkan justru memperkuat saling pengertian.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini