Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut” (Qs.Al-Baqarah/2: 233)
Pekan menyusui sedunia yang jatuh tanggal 1-7 Agustus menjadi refleksi bagi kita semua. Merayakan pekan menyusui tersebut, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), bekerjasama dengan CariUstadz menggelar Workshop Ustaz & Ustazah “Peran Ulama dalam Menurunkan Angka Stunting”. Sesuai dengan tema tersebut, Nia Umar, selaku Ketua AIMI menyadari bahwa edukasi tentang pentingnya menyusui di masyarakat tidak bisa dilakukan sendirian. “Harus ada kolaborasi, salah satunya bersama para pemuka agama. Karena Ustadz/Ustadzah diharapkan memiliki literasi yang cukup untuk bisa menyampaikan pentingnya menyusui baik secara medis yang berasal dari isyarat spiritual AlQuran” tutur Nia Umar.
Senada dengan uraian Ketua AIMI, KH Ali Nurdin juga menyoroti pentingnya menyusui bukan saja dari sisi medis. Sungguh, tutur Ustadz Ali, saat seorang Ibu menyusui, ia tengah menjalani perintah Allah. Perintah yang langsung berasal dari Al-Quran. “Sehingga, ketika perintah itu dilakukan, maka akan banyak hikmah dan manfaat yang diperoleh, baik hikmah secara medis, biologis, psikis, sosial dan tentu spiritual,” tutur Ustadz Ali.
Jika kita melihat ayat-ayat Al-Quran, sungguh Al-Quran secara vokal menyebut tugas terberat yang dialami seorang Ibu. Tugas reproduksi dari menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, nifas yang harus dilalui dalam rentang waktu yang panjang. Al-Quran surah Al-Ahqaf ayat 15 menyebut secara jelas bahwa tugas-tugas reproduksi tersebut sebagai “kurhan” yang berasal dari kata kaf-ra-ha yakni sesuatu yang kurang disukai oleh perempuan/Ibu,namun secara fitrah, mereka akan mengalami beratnya fase reproduksi.
Dalam ayat lain, yakni Qs. Luqman/14 tugas reproduksi (mengandung, melahirkan, menyusui) sangat melelahkan bagi seorang Ibu. Oleh karena itu, ayat-ayat tentang amanah reproduksi ini dikukuhkan dalam Qs Al-Baqarah/2: 233 seperti yang telah diuraikan di atas.
Kata wâlidât di atas menurut M Quraish Shihab dalam penggunaan Al-Quran berbeda dengan kata (ummahât) yang merupakan bentuk jamak dari kata (umm). Kata ummahât digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedang kata al-wâlidât maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ini berarti bahwa Al-Quran sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, tentunya air susu ibu kandung lebih baik daripada selainnya. Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tenteram sebab, menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi mendengar suara detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detak jantung itu berbeda antara seorang wanita dan wanita yang lain.
Sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusunya.
Penyusuan yang selama dua tahun itu, walaupun diperintahkan, bukanlah kewajiban. Ini dipahami dari penggalan ayat yang menyatakan bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan-akan ia adalah perintah wajib. Jika ibu bapak sepakat untuk mengurangi masa tersebut, tidak mengapa. Tetapi, hendaknya jangan berlebih dari dua tahun karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun itu adalah untuk menjadi tolok ukur bila terjadi perbedaan pendapat, misalnya ibu atau bapak ingin memperpanjang masa penyusuan.
Masa penyusuan tidak harus selalu 24 bulan karena QS. al-Ahqâf [46]: 15 menyatakan bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah tiga puluh bulan. Ini berarti, jika janin dikandung selama sembilan bulan, penyusuannya selama dua puluh satu bulan, sedangkan jika dikandung hanya enam bulan, ketika itu masa penyusuannya adalah 24 bulan.
Mengingat pentingnya menyusui yang disebutkan dalam Al-Quran, para peserta Workshop juga dibekali pentingnya menyusui yang dilihat dalam perspektif medis. Dokter Asti Praborini, Sp.A, IBCLC, FABM, Ketua Tim Konsultan Laktasi Internasional sebagai narasumber acara tersebut, manfaat menyusui secara langsung tak diragukan lagi dari sisi medis dan sangat selaras dalam Al-Quran. Karena itu, Al-Quran menggunakan term “radha’ah”. Dokter Asti memaknai radha’ah ini sebagai proses menyusui secara langsung dari payudara Ibu.
“Menyusui sesungguhnya bukan sekedar memberi ASI 2 tahun lalu selesai. Namun ada proses perjuangan Ibu untuk menyusui secara langsung dari payudaranya, meski cukup banyak tantangannya” tutur dr. Asti. Lebih lanjut, dr. Asti mengungkap inilah keajaiban Al-Quran, mengapa tugas mulia menyusui ini disebut dengan Radha’ah karena menyusui secara langsung memiliki manfaat yang luar biasa. Bukan hanya bermanfaat secara medis tapi juga ada manfaat pembentukan sel-sel syaraf otak yang hanya didapat ketika Ibu menyusui secara langsung. Penelitian mengungkap bahwa anak yang disusui secara langsung bedasarkan hasil. CT Scan, sel syaraf otaknya cerah. Sebaliknya, anak-anak yang disusui dengan media lain (botol, red) , sel syaraf otaknya terlihat gelap. Riset lain juga menyatakan bahwa kanker payudara kebanyakan menimpa para Ibu yang enggan menyusui, ” Pungkas dr. Asti.
Berikutnya, jika kita membaca Qs 2/233 secara utuh menyebutkan bahwa menyusui bukan hanya tugas Ibu, namun juga ada tanggungjawab ayah untuk memberikan support moril, materil, gizi yang baik & afirmasi positif. Lebih lanjut M Quraish Shihab menguraikan, ibu yang menyusukan memerlukan biaya agar kesehatannya tidak terganggu dan air susunya selalu tersedia. Atas dasar itu, lanjutan ayat di atas menyatakan merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang disusukan itu telah diceraikannya secara ba’in, bukan raj‘iy. Adapun jika ibu anak itu masih berstatus istri walau telah ditalak secara raj‘iy, kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami istri sehingga, bila mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai wajar.
Mengapa menjadi kewajiban ayah? Karena, anak itu membawa nama ayah, seakan akan anak lahir untuknya, karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan cara yang makruf, yakni yang dijelaskan maknanya dengan penggalan ayat berikut yaitu, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, yakni jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam pemberian nafkah dan penyediaan pakaian karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dan juga seorang ayah menderita karena ibu menuntut sesuatu di atas kemampuan sang ayah, dengan dalih kebutuhan anak yang disusukannya.
Dari sini, dipahami adanya tingkat penyusuan; pertama, tingkat sempurna, yaitu dua tahun atau tiga puluh bulan kurang masa kandungan; kedua, masa cukup, yaitu yang kurang dari masa tingkat sempurna; dan tingkat ketiga, masa yang tidak cukup kalau enggan berkata “kurang”, dan ini dapat mengakibatkan dosa, yaitu yang enggan menyusui anaknya. Karena itu, bagi yang tidak mencapai tingkat cukup, baik dengan alasan yang dapat dibenarkan—misalnya karena sakit—maka ayah harus mencari seseorang yang dapat menyusui anaknya.
Demikian makna radha’ah yang sangat komprehensif dalam Al-Quran. Melalui pemahaman yang utuh ini, semoga Asatidz/Asatidzah mampu menjadi garda terdepan untuk menyampaikan literasi dakwah mengenai pentingnya menyusui bukan hanya dengan pendekatan yang spiritualis namun juga secara medis dan humanis—demi menurunkan angka stunting di Indonesia.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini