Memaknai Kembali Pepatah Tidak Ada Makan Siang Gratis

Ada sebuah pepatah Barat yang sangat populer: “There’s no such thing as a free lunch” — tidak ada makan siang yang benar-benar gratis. Maknanya sederhana, setiap pemberian yang terlihat “cuma-cuma” sebenarnya memiliki konsekuensi, entah itu berupa balas jasa, hutang budi, atau minimal membentuk persepsi tertentu pada penerimanya. Pepatah ini terasa kian relevan ketika kita berbicara soal budaya memberi hadiah dan jamuan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Islam, memberi hadiah adalah sesuatu yang sangat dianjurkan. Rasulullah Saw sendiri bersabda: “Tahaaddu tahaabbu” — salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai. Al-Qur’an juga menegaskan etika balas kebaikan:

وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kalian diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa.” (QS. an-Nisa: 86)

Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam bukan hanya dianjurkan menerima hadiah, tetapi juga membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik. Dalam relasi sosial, memberi dan menerima hadiah adalah bentuk kasih sayang, mempererat persaudaraan, dan melatih diri untuk murah hati.

Namun, persoalan muncul ketika yang menerima hadiah adalah orang yang memiliki kekuasaan atau jabatan. Posisinya membuat ia bisa memengaruhi keputusan, mempermudah urusan, atau bahkan mengistimewakan pemberi hadiah. Di titik inilah, hadiah bisa bergeser makna: bukan lagi “simbol cinta”, melainkan “investasi sosial” agar suatu saat ada timbal balik.

Mungkin pemberi hadiah tidak mengucapkan maksud itu secara eksplisit, tetapi penerima berada pada posisi dilematis: menerima berarti rawan menumpulkan objektivitas, menolak bisa dianggap tidak menghargai.

Kisah Ibnu Lutbiyah: Hadiah Pasca Tugas

Sejarah mencatat sebuah kisah menarik. Rasulullah Saw pernah mengutus seorang sahabat, Ibnu Lutbiyah, untuk mengurus zakat. Setelah tugasnya selesai, ia pulang membawa hasil pungutan. Selain itu, ia juga menerima beberapa hadiah dari masyarakat. Mungkin ia berpikir, karena hadiah itu diberikan setelah  ia menyelesaikan tugas, maka tidak ada masalah.

Namun Rasulullah Saw dengan tegas mengkritik:

“Mengapa tidak kau duduk saja di rumah ayah atau ibumu, lalu lihat apakah ada yang memberimu hadiah?” (HR. Muslim, Kitab al-imarah, bab tahrim hadaya al-‘ummal, no. 1832, Dar Ihyaa Turats)

Kalimat ini sangat tajam. Rasulullah ingin menekankan bahwa hadiah yang datang bukan karena pribadi sahabat itu semata, melainkan karena posisinya sebagai pejabat publik. Dengan kata lain, status yang melekat pada dirinyalah yang membuat orang ingin memberi hadiah.

Kisah itu menjadi cermin dan sarana refleksi. Jika kita berada di posisi penerima — misalnya ditraktir makan siang, diberi bingkisan, atau diundang ke acara tertentu — kita perlu bertanya ke dalam hati: Apakah dengan pemberian ini penilaian saya tetap jernih? Apakah keputusan saya masih objektif, atau mulai condong karena merasa berhutang budi?

Di sisi lain, bila kita yang memberi — misalnya mentraktir teman, kolega, atau atasan — luruskan niat sejak awal. Jangan sampai ada maksud terselubung untuk memengaruhi keputusan. Lebih baik berdoa, “Ya Allah, semoga dengan traktiran ini Engkau lembutkan hati saudara saya dan perkuat ukhuwah di antara kami.”

Hadis Ibnu Lutbiyah menunjukkan bahwa hadiah an sich tidaklah salah, bahkan bisa menjadi sarana mempererat kasih sayang. Namun Rasulullah Saw menegaskan bahwa tidak semua pemberian bisa dianggap hadiah murni. Jika sebuah hadiah hadir karena seseorang memegang jabatan atau kekuasaan, maka yang sesungguhnya dihormati bukanlah pribadinya, melainkan posisi yang ia emban. Dalam kondisi seperti ini, hadiah berpotensi berubah menjadi gratifikasi yang menodai amanah. Dengan kritik Nabi Saw, tersampaikan pesan bahwa umat harus jeli membaca konteks, menjaga hati ketika menerima, dan meluruskan niat ketika memberi, agar “traktiran makan siang” itu tetap menjadi tanda cinta, bukan alat kepentingan.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini