Akad nikah ibarat sebuah gerbang yang membuka jalan menuju kehidupan baru yang penuh dengan tanggung jawab. Ia menjadi titik mula dimulainya perjalanan dua insan dalam membangun rumah tangga yang menuntut kedewasaan dan pengorbanan. Akad menandai peralihan besar dalam hidup, di mana keegoisan ditekan dan visi serta tujuan bersama diutamakan.
Akad nikah bukan sekedar formalitas. Ia adalah ikatan suci yang penuh dengan janji dan tanggung jawab. Dalam lafaz ijab kabul yang sederhana, terpatri komitmen seumur hidup untuk saling menjaga, mencintai, menghormati, dan menguatkan. Karena itu, keadilan dalam berumah tangga seharusnya dibangun sejak dari gerbangnya, yaitu akad nikah.
Makna Akad Nikah
Jika merujuk pada kitab-kitab fikih, nikah secara bahasa bermakna “berkumpul” atau “bersetubuh”. Dan makna nikah secara istilah, dalam fikih klasik, mengindikasikan hal yang sama, yaitu terkait dengan adanya hubungan seksual yang halal.
Oleh tiga dari empat mazhab fikih utama, makna secara istilah dari akad nikah dikaitkan dengan kebolehan untuk melakukan hubungan seksual. Dalam mazhab Syafii, misalnya, akad nikah dimaknai sebagai sebuah akad (ikatan/janji) yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh.
Mazhab Maliki dan Hanafi mendefinisikannya sebagai ikatan di mana laki-laki diperbolehkan untuk memperoleh kenikmatan dari perempuan (hillu tamattu` bi al-untsa). Sedangkan mazhab Hanbali tidak menyebutkan masalah kepuasan seksual dalam definisi mengenai pernikahan. Dalam Hanbalu, nikah didefinisikan sebatas akad atau ikatan perkawinan dengan lafaz yang sesuai (al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyyah, jil. 41, hlm. 205).
Tiga Konsep Akad Nikah
Faqihuddin Abdul Kodir, dalam bukunya Fiqh al-Usrah (2025: 105), mengutip Wahbah al-Zuhaili yang membagi konsep akad nikah menjagi tiga. Pertama, akad nikah dimaknai sebagai ibahat al-istimta` bi al-mar’ah, yaitu kebolehan bagi laki-laki untuk mendapatkan kenikmatan dari perempuan.
Kedua, akad nikah bermakna milk al-mut’ah (memiliki kenikmatan), yaitu kondisi di mana laki-laki dibolehkan untuk menikmati tubuh perempuan. Dan ketiga, akad nikah dimaksudkan sebagai kondisi di mana laki-laki dapat memiliki kenikmatan dari tubuh perempuan, dan sebaliknya, perempuan dapat memiliki kenikmatan dari laki-laki.
Meskipun ketiga konsep akad di atas berkaitan dengan kepuasan seksual, ada perbedaan yang sangat signifikan, khususnya pada konsep yang ketiga. Berbeda dengan dua konsep lainnya, konsep ketiga merupakan hubungan dua arah, di mana pihak perempuan pun diperbolehkan mendapatkan kenikmatan dari hubungan suami-istri mereka.
Konsep pertama dan kedua pun sejatinya dapat memberikan kenikmatan seksual bagi istri dari suaminya. Hanya saja, kedua konsep ini tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk memulai hubungan. Bahkan, istri sering kali dipaksa untuk memenuhi hasrat seksual suami, tanpa adanya kebolehan untuk menolak, kendati ia sedang tidak menginginkannya atau dalam kondisi yang kurang baik.
Faqihuddin Abdul Kodir menyebut dua konsep pertama sebagai akad yang asimetris (tidak simetrsi). Konsep ini kemudian melahirkan konsep yang asimetris lainnya terkait masalah pernikahan. Salah satu contohnya adalah dalam pemberian mahar dan nafkah wajib suami terhadap istri.
Terkait mahar, ia sering dianggap sebagai balas jasa seorang atas layanan seksual yang diberikan oleh istrinya. Pendapat ini didasarkan pada al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 237 yang berbunyi:
“Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami atau wali) membebaskannya. Pembebasanmu itu lebih dekat pada ketakwaan…”
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa jika terjadi perceraian sebelum adanya hubungan seksual, suami hanya diwajibkan untuk membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan. Kewajiban bagi suami untuk membayar penuh mahar hanya berlaku jika telah terjadi hubungan seksual di antara mereka.
Pandangan ini, bagi Abdul Kodir, melahirkan anggapan bahwa mahar adalah pembayaran atas jasa layanan seksual. Pandangan ini kemudian juga terjadi pada konsep nafkah. Ada kaidah yang menyatakan bahwa nafkah yang diberikan seorang suami tergantung kadar layanan yang diberikan oleh istrinya.
Dengan demikian, besaran nafkah tergantung pada seberapa banyak layanan yang diberikan istrinya. Sang istri bahkan terancam tidak diberikan nafkah jika tidak dapat melayani suami dengan baik. Ia tidak berhak menerima nafkah jika, misalnya, tidak bersedia tinggal serumah dengan suami atau pergi jauh tanpa persetujuan suami (Kodir, 2025: 106).
Konsep Akad Nikah yang Simetris
Beruntungnya beberapa ulama fikih kontemporer telah mencoba memberikan makna akad nikah yang memberikan kesetaraan bagi kedua belah pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (istri).
Wahbah al-Zuhaili, misalnya, cenderung memilih konsep akad yang ketiga, yang bernuansa timbal balik, meski masih ada perbedaan mendasar: “laki-laki memiliki kenikmatan tubuh perempuan”, dan “diperbolehkan bagi perempuan menikmati tubuh laki-laki”.
Abdul Kodir memilih definisi yang diusulkan oleh Ahmad al-Ghandur, guru besar hukum keluarga Islam di Universitas Kuwait. Ahmad al-Ghandur mendefinisikan nikah sebagai:
“Nikah adalah akad yang mengakibatkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan, terkait tuntutan biologis-psikologis yang manusiawi sepanjang kehidupan mereka, dan menetapkan pada kedua pihak, baik hak-hak mau pun kewajiban-kewajiban secara timbal balik antara mereka.”
Definisi ini membawa kesadaran bagi kedua belah pihak bahwa pernikahan dan perkawinan adalah hubungan kemitraan. Adanya kesetaraan menjadikan tujuan utama dalam pernikahan, yaitu menjadikan ketenangan jiwa (sakinah), menjadi lebih mudah dicapai bagi keduanya.
Dengan demikian, pandangan yang setara (simetris) terhadap makna akad nikah diharapkan mampu membawa sikap yang saling bekerja sama antara suami dan istri, sehingga kemaslahatan rumah tangga yang berbasis keadilan dapat tercapai. Suami dan istri (juga anak-anak) merupakan subjek dalam rumah tangga. Semuanya memiliki peran, tanggung jawab, serta hak yang wajib dipenuhi agar tercipta keharmonisan dalam rumah tangga.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini