Ketika seseorang telah menyatakan diri sebagai Muslim maka ada hak dan kewajiban yang diperuntukkan baginya. Kewajiban ini terdiri dari berbagai aspek kehidupan, mulai dari nafkah, ibadah, hingga sosial. Sedangkan hak Muslim secara umum adalah mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukan sesuai janji Allah Swt.
Di antara kewajiban yang harus ditunaikan seorang Muslim adalah melaksanakan ibadah wajib, mencari nafkah, dan menjaga diri. Meskipun kewajiban tersebut terdiri dari beragam aspek kehidupan, namun pada hakikatnya itu semua merupakan wujud manifestasi ketaatan kepada perintah Allah Swt. dan bernilai ibadah di sisi-Nya.
Selain kewajiban, seorang muslim juga dapat memaksimalkan kehidupan beragamanya dengan aktivitas-aktivitas yang bersifat sunah seperti ibadah sunah, bersedekah dan menolong sesama. Menurut Syekh Abdul Wahab al-Sya’rani, aktivitas atau ibadah sunah merupakan tambahan dan penambal atas ketidaksempurnaan ibadah wajib seseorang (Tanbihul Mughtarrin: 38).
Penting diketahui bahwa meskipun kewajiban dan kesunahan sama-sama bernilai pahala di sisi Allah Swt. namun hukum pelaksanaan keduanya memiliki perbedaan signifikan. Secara khusus, kewajiban adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan karna dapat berakibat pada dosa. Sedangkan sunah boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, seorang muslim dalam kehidupan beragamanya harus senantiasa mendahulukan kewajiban di atas kesunahan. Kewajiban adalah ibarat batang pohon yang ketiadaannya berarti kematian pohon terebut. Sebaliknya, kesunahan adalah ibarat ranting yang bernilai namun kehadiran atau ketiadaannya tidak menentukan kehidupan si pohon.
Selain pada aspek hukum (legal-formal), keutamaan kewajiban di atas kesunahan juga terdapat pada aspek ganjaran atau pahalanya. Menurut para ulama – sering kali – pahala amalan wajib lebih besar daripada pahala amalan sunah. Imam al-Suyuthi berkata, “amalan wajib lebih utama dari amalan sunah” (al-Asybah wa al-Nazhair: 324).
Berkenaan dengan kewajiban dan kesunahan, Imam Ibnu Hajar pernah mengatakan, “Orang yang disibukkan dengan yang wajib dari yang sunah, maka dialah orang yang patut diberi udzur. Dan orang yang disibukkan dengan yang sunah sehingga melalaikan yang wajib, maka dialah orang yang benar-benar tertipu (Fath al-Bari, 11: 343)ز
Dalam diskursus fikih, pemahaman tentang skala prioritas dalam kehidupan beragama semacam ini disebut sebagai fikih prioritas atau fiqh awlawiyyah. Fikih prioritas adalah meletakkan segala sesuatu sesuai skala urutannya secara proporsional (adil), baik dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Singkatnya, fikih prioritas mendahulukan yang lebih penting berdasarkan ketentuan agama dibandingkan yang kurang penting (Nazr ‘Ammah fi Tarikh al-Islami: 11).
Contoh dari pelaksanaan skala prioritas dalam kehidupan beragama adalah mendahulukan salat wajib dibandingkan salat sunah. Dengan kata lain, yang pertama dijaga dan diperhatikan adalah salat wajib, baru salat sunah, bukan sebaliknya. Salat wajib diutamakan karena telah ditentukan oleh syariat keutamaannya.
Dalam ranah sosial, skala prioritas ini juga dapat digunakan. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki hutang, maka sebaiknya ia mendahulukan membayar hutang terlebih dahulu sebelum menggunakan uangnya kepada hal-hal yang bersifat tersier. Pada konteks ini, hutang merupakan kewajiban yang harus ditunaikan segera sedangkan hal-hal bersifat tersier dapat ditunda (tidak penting/tidak mendesak).
Contoh lain skala prioritas dalam kehidupan beragam adalah seseorang mendahulukan nafkah harian bagi keluarga dibandingkan sedekah sunah. Sebab, nafkah bagi keluarga adalah kewajiban pertama bagi seorang suami, sedangkan sedekah adalah kesunahan yang dapat dilakukan di lain waktu. Jika seseorang mendahulukan sedekah di atas nafkah, maka ia telah melakukan kesalahan fatal.
Ibnu Atha’iah al-Sakandari mengatakan dalam al-Hikam, “salah satu tanda seseorang mengikuti hawa nafsunya adalah semangat melaksanakan perkara-perkara yang sunah, namun malas mengerjakan perkara-perkara yang wajib.” Bisa dikatakan bahwa orang semacam ini cenderung pada mencari kepuasan hawa nafsu belaka, bukan keridaan Allah Swt.
Kendati demikian, bukan berarti aktivitas atau ibadah sunah harus ditinggalkan, karena pada hakikatnya itu merupakan bagian ibadah kepada Allah Swt. Yang semestinya dilakukan adalah menunaikan kewajiban sebaik mungkin dan menyempurnakannya dengan kesunahan. Penunaian keduanya adalah kesempurnaan dalam kehidupan beragama. Kalau tidak bisa menunaikan keduanya bersamaan, maka dahulukan kewajiban yang lebih penting sesuai ketentuan syariat. Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini