Dalam beberapa minggu terakhir, kata perang menjadi salah satu kata yang sering terdengar di media massa. Bagaimana tidak, tentara zionis Israel sedang gencar-gencarnya melakukan penyerangan terhadap rakyat Palestina. Rangkaian serangan yang lebih tepat disebut sebagai genosida dibandingkan perang.
Penyerangan yang dilakukan oleh zionis Israel terhadap rakyat Palestina itu kemudian menjadi pembicaraan di banyak tempat, mulai dari pejabat negara hingga masyarakat awam. Salah seorang penceramah kampung berkata, “…. ada bagusnya juga Palestina selalu berperang dengan zionis Israel. Sebab, dengan demikian, gugur fardhu kifayah jihad global.”
Penceramah di atas tentu saja tidak memaklumi tindakan zionisme. Sebab, sebelum mengatakan kalimat di atas, dia juga mengutuk tindakan yang tidak manusiawi tersebut. Namun, dengan pendeknya kalimat yang dituturkannya, muncul kesan bahwa semua orang Islam akan berdosa jika di suatu masa tidak ada terjadi peperangan antara kaum muslim dan orang-orang kafir.
Hukum Jihad dalam Islam
Mengenai hal ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa jihad, dalam arti perang, melawan kaum kafir hukumnya adalah fardhu kifayah. Artinya, jika sebagian kaum muslim telah melaksanakannya, maka sebagian besar lainnya terbebas dari kewajiban tersebut. Jihad akan menjadi fardhu ‘ain (kewajiban personal) ketika pemimpin suatu negara memerintahkan untuk melakukan perang atau ketika musuh menyerang negeri sendiri.
Akan tetapi, fardhu kifayah di atas dapat gugur meski tidak terjadi perang di mana pun. Sebagaimana dijelaskan dalam Fataawaa al-Ramaliy (jilid 4 halaman 44), bahwa fardhu kifayah telah tercukupi dengan adanya tentara negara yang senantiasa siaga dan mampu melawan ketika adanya serangan dari musuh. Selain itu, negara berada dalam kondisi damai dengan adanya perjanjian internasional dalam hal perdamaian dunia.
Dalam kitab I’aanah al-Thalibin (jilid 4 halaman 204) kemudian dijelaskan bahwa kewajiban jihad adalah kewajiban wasiilah, bukan maqaashid. Yang artinya, jihad dengan perang hanyalah salah satu cara atau sarana (wasiilah) dalam mengajak orang untuk masuk Islam. Ajakan kepada agama Islam akan lebih baik jika dapat dilaksanakan dengan damai tanpa pertumpahan darah.
Hadis Riwayat Ibnu Umar Mengenai Peperangan
Namun demikian, selalu ada individu atau kelompok garis keras yang memiliki pandangan bahwa Islam harus disebarkan dengan peperangan. Umumnya, kelompok seperti ini menjadikan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar sebagai dalilnya. Redaksi hadisnya adalah sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله تعالى عنهما: أن رسول الله ﷺ قال: “أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ، إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ”
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhumaa bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan semuanya, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam. Sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jika hadis di atas dipahami secara tekstual, maka akan muncul pemahaman bahwa selama orang non muslim tidak mengucap syahadat dan menunaikan rukun Islam, mereka boleh untuk diperangi. Pemahaman seperti ini akan berdampak pada munculnya peperangan di mana-mana. Sehingga, untuk menghindari itu, memahami hadis perlu melihat pada konteks yang melingkupi mengapa Nabi mengucapkan demikian.
Setidaknya ada dua kata yang perlu disoroti dalam hadis di atas, yaitu kata uqaatila (aku memerangi) dan kata al-naas (manusia). Kata uqaatila bermakna musyarakah (saling), yaitu saling membunuh (perang). Artinya, Nabi diperintahkan untuk menyerang manusia yang juga menyerangnya dan kaum muslim. Maka tidak dibenarkan untuk menyerang non muslim yang tidak melakukan tindakan buruk terhadap muslim.
Sedangkan kata al-naas adalah kata umum yang bermakna khusus. Maksud dari kata itu adalah kaum musyrik yang memerangi Nabi Muhammad saw serta tidak mau membayar jizyah (upeti sebagai jaminan keamanan), sebagaimana dijelaskan oleh al-Sindi (Haasyiyah al-Sindi ‘alaa Matni Ibn Maajah [1], 37), yang didukung oleh riwayat lain dari Abu Daud dan al-Nasa’i yang mengganti kata al-naas dengan kata al-musyrikiin.
Pada masa Nabi Muhammad, perang merupakan cara paling efektif dalam menyebarkan Islam kepada kaum musyrik. Selain itu, perang juga hal yang biasa terjadi dalam masyarakat Arab. Ismatulloh dan Rahman dalam artikelnya (2018, 120) menyebutkan bahwa hadis di atas diucapkan Nabi ketika Perang Khaibar.
Syekh Hisyam al-Kamil Hamid, dalam kitabnya al-Anwaar al-Muhammadiyyah Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan al-naas dalam hadis tersebut adalah para penyembah berhala dan kaum musyrik. Lebih lanjut beliau menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyebarkan Islam dengan kalimat yang baik serta berdakwah dengan cara yang bagus.
Dengan demikian, maka hadis di atas tidak dapat digunakan secara sembarangan, apalagi dalam kondisi masyarakat yang damai dan kondusif. Perang hanyalah salah satu cara dalam menyebarkan Islam. Mendakwahkan Islam secara santun dan damai lebih mencerminkan kepribadian Nabi Muhammad saw yang diutus sebagai rahmatan lil ‘aalamiin. Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini