Sementara pakar menjadikan kata insan atau manusia sebagai isyarat tentang potensi manusia untuk menjalin hubungan harmonis dan mewujudkan toleransi, terlepas apakah ada keuntungan agama atau hukum dan undang-undang yang mengharuskannya maupun tidak ada. Kata insan ada yang menilainya terambil dari kata Inas yang berarti penampakan. Ini berarti makhluk manusia dituntut untuk melakukan aneka aktivitas yang menampakkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur kehidupan serta menampakkan keyakinan dan kepercayaannya secara nyata, penampakan yang dilahirkan oleh aneka aktivitasnya. Penampakan adalah ciri utama manusia, berbeda dengan jin yang dari segi bahasa berarti tersembunyi. Penampakan yang dituntut dari sang insan seharusnya melahirkan hubungan harmonis, karena kata insan dinilai juga terambil dari kata uns yang berarti harmonis.
Selanjutnya sang insan bukan saja harus bersikap harmonis dengan sesama manusia, tetapi juga dengan bumi, bahkan alam raya sehingga kehidupan marak dengan hal-hal mengundang kenyamanan, keramaian, kebahagiaan, dan kemaslahatan. Dari sini lahir makna lain tentang kata insan, yaitu gejolak dan gerak. Kata Insan juga ada yang menilainya terambil dari kata nisy, yakni lupa, bukan saja karena manusia pertama lupa sehingga mencicipi buah pohon terlarang, tetapi juga semua manusia, siapa pun dan kapan pun berpotensi lupa, sehingga semua dapat bersalah. Namun demikian, potensi lupa itu hendaknya digunakan antara lain untuk melupakan kesalahan orang lain. Sikap-sikap di atas dapat tertunjang oleh sifat dasar yang terkuat dalam diri manusia, yakni kecenderungan kepada kebaikan.
Memang benci dan keinginan membalas dapat hinggap di hati manusia karena agama-agama membolehkannya dalam batas tertentu. Allah berfirman, “Siapa yang melakukan agresi terhadapmu, maka lakukan juga bi mitsli, yakni sama persis dengan agresi yang telah dilakukan kepadamu,” (QS. al-Baqarah [2]: 194). Firman serupa dapat ditemukan dalam QS. an-Nahl [16]: 126 “Dan jika kamu membalas (menjatuhkan hukuman kepada siapa yang menyakiti kamu), maka balaslah (dengan balasan yang) seimbang dengan (siksaan) yang ditimpakan kepada kamu. Tapi, jika kamu benar-benar bersabar, itulah yang benar-benar lebih baik bagi para penyabar.”
Memaafkan memang lebih baik, karena itu membalas dendam tidak terpuji, karena dia telah mengambil haknya, sedang pemaaf terpuji oleh siapa pun karena mempersembahkan haknya dan mendapat balasan baik dari Tuhan. Balas dendam dapat berdampak lahirnya kebencian dari keluarga/teman yang dibalas, sedang pemaafan mengundang lahirnya sahabat baru, bahkan kepuasan hati akibat pelaksanaan dendam tidak tercapai. Kendati sudah membalas, masih tersisa rasa sakit berbeda dengan pemaafan.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa perasaan kolektif manusia, baik yang diisyaratkan oleh kata insan maupun bukan, merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam melahirkan perubahan, lebih-lebih jika rasa itu dikelola sebaik mungkin. Setiap manusia memiliki perasaan, baik secara naluriah maupun melalui upaya mewujudkannya dengan aneka pengalaman dan aktivitas. Perasaan itu ada yang positif dan ada juga yang negatif. Benci, cinta, egoisme, pengorbanan, dendam, dan sebagainya adalah sifat-sifat manuiawi yang dapat muncul serta berkembang oleh berbagai faktor.
Ilmu jiwa mempelajari hal tersebut guna memahami individu, sedang sosiologi membahas masyarakat. Dari pengamatan dan studi itu dikenal perbedaan sifat-sifat manusia dan juga sifat-sifat masyarakat. Ada masyarkaat yang sangat serius dan disiplin, ada juga yang romantik, ada masyarakat pekerja dan lain lain. Masyarakat Indonesia ada yang menilainya sebagai masyarakat yang murah senyum. Masyarakat Mesir senang bercanda, dan lain lain. Bahkan dalam satu kesatuan bangsa, kita dapat menemukan ciri-ciri yang berbeda dengan masyrakat bangsa itu pada suku atau wilayah yang lain.
Keanekaragaman tersebut lahir dari sekian faktor dan memiliki akar yang dalam dan bila dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak positif, antara lain lahirnya toleransi yang diharapkan. Nah, disinilah lahir apa yang dikemukakan tesis di atas, yaitu perasaan kolektif manusia merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam melahirkan perubahan dan dari sini pula muncul apa yang dinamai “sambung rasa” sebagai pengembangan makna dari silaturahmi.
M. Quraish Shihab dalam Toleransi: Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagaman (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2022), 12 – 16.