Kontradiksi Pujian dalam Tinjauan Agama dan Psikologis

Pujian telah menjadi bagian penting dalam interaksi manusia. Dari perspektif psikologi hingga ajaran agama, pujian memiliki peran yang kompleks dan dapat memberikan dampak yang signifikan dalam membentuk perilaku dan hubungan sosial. Tulisan ini mengeksplorasi pandangan psikologi dan Islam terkait dengan memberikan pujian serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Pujian dan Manfaatnya dalam Pandangan Teori Psikologi

Psikolog B.F. Skinner, menyatakan bahwa memberikan stimulus atau rangsangan tertentu dapat memengaruhi respons seseorang. Pendapatnya dikenal dengan Teori Penguatan, diterapkan sebagai pendekatan pembelajaran untuk memberikan dukungan positif kepada siswa, baik melalui kata-kata maupun isyarat. Fokus utamanya adalah memberikan motivasi, di mana pujian menjadi salah satu cara yang efektif. Sebagai contoh, ketika seorang siswa aktif dan berhasil dalam pembelajaran, guru memberikan motivasi melalui pujian. Dalam perspektif psikolog, teori ini menggambarkan bagaimana pengaruh lingkungan dapat membentuk dan memperkuat perilaku manusia melalui penguatan positif.

Dalam riset lainnya menunjukan bahwa memuji seseorang memiliki efek timbal balik yang positif, Sekitar 79% yang dipuji akan menawarkan bantuan. Studi Grant menunjukkan bahwa bantuan itu muncul dari rasa timbal-balik. Secara umum, semakin orang percaya bahwa satu perbuatan baik pantas dibalas dengan perbuatan baik lainnya, semakin besar kemungkinan mereka untuk mengikuti satu pujian dengan perbuatan yang bermanfaat.

Pandangan Islam: Kebolehan dan Larangan Memberikan Pujian

Islam membolehkan seorang muslim memberikan pujian kepada orang lain. Memuji orang lain dikatakan baik jika pujian yang diberikan ditujukan untuk memuji kebaikan orang lain yang memang ada pada dirinya. Apabila pujian ditujukan untuk memuji sesuatu yang memang tidak ada padanya atau tidak diperbuat olehnya maka hal inilah yang tidak boleh. Allah SWT berfirman yang artinya,  “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran : 188).

Nabi Yusuf alaihissalam pernah memuji dirinya dalam hal kapasitas atau kemampuan dirinya yaitu, “Yusuf berkata: jadikanlah aku bendaharawan Negara (mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55). Demikian pula Nabi Muhammad SAW ketika membagikan ghanimah (harta rampasan perang), terdapat antara orang munafik ada yang menganggap Rasulullah tidak adil dalam membaginya sehingga Rasulullah SAW berkata:

 والله إني لأمين في السماء أمين في الأرض

“Demi Allah sesungguhnya aku adalah sejujur-jujurnya orang di langit dan di bumi.”

Kemudian orang munafik tadi berkata” “Ya Rasulullah! Bertakwalah (takutlah) kepada Allah.” Nabi SAW bersabda, “Celaka kamu, bukankah aku adalah orang yang paling berhak untuk takut kepada Allah? (HR. Muttafaqun Alaih).

Demikian pula pujian Rasulullah SAW kepada sahabatnya, seperti kepada Abu Bakr, ‘Umar, Abu ‘Ubaidah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, Mu’adz bin Amru ibnul Jamuh dan Mu’adz bin Jabal sebagai “Pria terbaik” (ni’mal rajul) dalam riwayat At-Tirmidzi dan Imam Ahmad.

Pada sisi yang lain, Islam melarang memberikan pujian kepada orang lain apalagi jika pujian itu diberikan di hadapan orang yang bersangkutan dan orang yang dipuji senang dengan pujian yang diberikan. Dalam Islam, memuji orang lain di hadapan yang bersangkutan sama dengan menyembelih leher orang itu. Dari Abu Bakrah, ia menceritakan bahwa ada seorang pria yang disebutkan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu salah seorang hadirin memuji orang tersebut. Rasulullah SAW pun bersabda,

“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa harus memuji, maka ucapkanlah, “Saya duga fulan demikian kondisinya.” jika dia menganggapnya demikian. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah ta’ala (HR. Bukhari).

Sebagaimana hukum memuji diri sendiri, Islam juga melarang muslim memberikan pujian yang berlebihan kepada orang lain. Apabila hal ini dilakukan, sama saja dengan mematahkan punggung orang yang dipuji. Abu Musa berkata, “Rasulullah SAW mendengar seorang pria berlebih-lebihan dalam memuji seseorang. Rasulullah SAW pun bersabda, “Kalian telah membinasakan atau mematahkan punggung orang itu.” (HR. Bukhari).

Hadits lain yang sering dirujuk untuk melarang memberikan pujian kepada orang lain di hadapannya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hammam bin al-Harith radhiallahu ‘anhu sebagai berikut:

   إذا رأيتم المداحين فاحثوا في وجوههم التراب

“Jika Engkau melihat orang yang memuji, maka taburkanlah debu di wajahnya” (HR Muslim No. 3002).

Jadi perintah Rasulullah untuk menaburkan debu di wajah orang yang memberikan pujian kepada kita merupakan petunjuk bahwa kita tidak boleh merasa senang dengan pujian dari orang lain, sekaligus hal ini dipercaya merupakan larangan memberikan pujian kepada orang lain di hadapannya.

Kompromi Jalan Tengah

Para ulama mengompromikan dalil antara yang melarang dan memperolehkan sesuai dengan konteks yang memuji dan dan yang dipuji.  Dengan memahami larangan itu berlaku jika mengandung risiko atau bahaya bagi orang yang dipuji, berlebihan dari kenyataannya, atau pujian itu ditujukan kepada orang yang dikhawatirkan tertimpa fitnah berupa ujub dan semacamnya ketika mendengar pujian itu. Adapun orang yang tidak dikhawatirkan akan mengalami hal seperti itu bahkan akan termotivasi untuk menyempurnakan ketakwaannya, meneguhkan akal dan pengetahuannya, maka tidak ada larangan memujinya di hadapan orang itu dengan catatan pujian itu bukannya membahayakannya, tetapi malahan membuahkan kemaslahatan seperti timbulnya kebaikan dan peningkatannya, atau kebaikan yang terus menerus, atau menumbuhkan keteladanan, maka pujian seperti itu dianjurkan (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi).

Artinya ada kalanya pujian baik dan buruk. Diperbolehkan jika:

  1. Pujian tidak melebih-lebihkan (di luar kenyataan) sehingga menjadi kebohongan dengan maksud tertentu seperti mengangkat citra orang yang dipuji yang sebenarnya buruk demi membantu meraih ambisinya.
  2. Secara Psikologis pujian akan memotivasi orang yang dipuji menjadi lebih baik, seperti dalam masalah ketakwaan kepada Allah, rasa percaya diri, atau dalam hal prestasi belajar. Teori imbal balik dan motivasi belajar di atas menguatkan bahwa seorang anak akan termotivasi untuk menjadi lebih baik, lebih percaya diri dan berkurang kenakalannya bukan dengan makian (bullying) tetapi dengan pujian (reward).
  3. Memuji diri sendiri untuk menegaskan kompetensi, seperti dinyatakan Nabi Yusuf alaihissalam dan Rasulullah SAW sebagaimana diuraikan di atas.

Tetapi pada situasi yang berbeda, maka hukumya haram, seperti:

  1. Pujian berpotensi menimbulkan dampak negatif kepada orang yang dipuji. Seperti menimbulkan riya’ sehingga menghilangkan keikhlasannya dalam berbuat kebaikan, maka pujian seperti ini sebaiknya tidak dilakukan.
  2. Memuji orang lain (orang sombong) atau yang berpotensi ujub atau setidaknya merasa kagum pada dirinya sendiri (ujub) maka tidak boleh dilakukan. Alasannnya, puijian seperti ini bisa membuatnya semakin sambong ataupun ujub.
  3. Memuji diri sendiri dengan maksud membanggakan diri sendiri, menunjukkan keluhuran diri sendiri, serta membedakan dari orang lain dan semacamnya. Allah ta’ala mengecam dalam Surat An-Najm ayat 31: “maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci”, yang diartikan para ulama Maka janganlah kalian memuji diri kalian dan jangan merasa bersih dari dosa.

Demikian, dengan kesadaran akan pentingnya memberikan pujian secara bijaksana dan sesuai konteks, diharapkan kita dapat menjalani interaksi sosial yang lebih bermakna dan memberikan dampak positif bagi diri sendiri dan orang lain—sesuai tuntunan agama.

Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustad Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA? Silakan klik disini