Jangan Menyembah Modernitas, Sembahlah Tuhan

Dunia modern memang menyilaukan mata. Iming-iming kekayaan, ketenaran, dan pujian membuat modernitas seringkali menjadi objek penyembahan. Bila boleh jujur, gila akan berbagai kenikmatan duniawi sebenarnya tidak hanya diawali di era modern. Ia sudah eksis di zaman kuno dimana peradaban belum sebegitu megah. Bedanya, kenikmatan dunia modern mempermudah segalanya, termasuk membuat orang sangat mudah tersesat dengan godaannya.

Lima belas abad yang lalu Al-Qur’an sudah mewanti-wanti akan hal ini. Disebutkan bahwa terdapat bahaya yang tersembunyi dalam penyembahan terhadap manusia dan harta benda. Surat az-Zariyat:56 dengan jelas menyatakan bahwa kita diciptakan hanya untuk menyembah Allah, bukan untuk menyembah yang lain. Di tempat lain, surat An-Nisa’:36 juga menekankan pentingnya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Surat 2:165-167 dan 9:24-25 juga mengingatkan kita agar tidak memprioritaskan hal-hal tersebut dibandingkan dengan Allah. Dengan demikian, kita dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih bijak dan tidak terjebak dalam kesalahan yang dapat merugikan diri kita sendiri.

Semakin seseorang terpaku dengan tujuan dunianya, semakin jauh itu pula ia dari ajaran agama sehingga nilai-nilai spiritualnya menjadi terabaikan. Agama yang seharusnya menjadi tuntunan dibiarkan begitu saja. Mengejar dunia tidak dilarang, akan tetapi berambisi dengan segala kenikmatan anak kandung modernitas ini membuat seseorang semakin jauh dari tujuan hakiki dan nilai-nilai kebaikan.

Ada beragam penyembahan modernitas yang bisa kita tilik bersama. Pertama, penyembahan terhadap kekayaan. Berapa banyak seseorang yang berlomba-lomba mengumpulkan harta kekayaan lalu lupa dengan Sang Pemberi Harta dan Dzat Yang Paling Kaya?

Di dalam surat pendek bernama Al-Humazah ayat 1-4, Al-Qur’an mengecam dengan nada yang cukup keras, Celakalah setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia (manusia) mengira bahwa hartanya dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah. 

Kenapa al-Qur’an sampai mengecam dan mengancamnya dengan akan dilemparkan ke neraka Hutamah? Lumrahnya, orang-orang yang sudah disilaukan dengan harta benda akan merasa bahwa ia di atas segalanya. Tidak jarang ketika bersosialiasi dengan orang lain yang secara ekonomi lebih rendah, ia akan merendahkan dan bahkan terkadang mencacinya. Di sini harta bendanya membuat si pemiliknya terlena.

Saat kekayaan materi menjadi tujuan akhir (ultimate goal), maka seseorang akan terjebak pada lingkaran konsumtif dan ketidakpuasan yang tak akan pernah berakhir. Kekayaan dan harta benda sering kali dianggap sebagai simbol kesuksesan dan kebahagiaan, namun banyak penelitian menunjukkan bahwa keduanya tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional kita. 

Misalnya, seseorang yang memiliki banyak uang dan barang mewah mungkin merasa kesepian dan terasing dari orang-orang terdekatnya, karena mereka mungkin lebih fokus pada pencarian materi daripada hubungan yang bermakna. 

Sebaliknya, mereka yang hidup dengan sederhana tetapi dikelilingi oleh cinta dan dukungan dari keluarga serta teman-teman cenderung merasakan kepuasan dan kebahagiaan yang lebih dalam. Ini menunjukkan bahwa warisan emosional dan spiritual kita, seperti kasih sayang, kebersamaan, dan tujuan hidup, jauh lebih berharga dan dapat memberikan rasa puas yang tidak dapat digantikan oleh kekayaan material.

Kedua, penyembahan modernitas bisa juga berwujud penyembahan terhadap ketenaran. Ketenaran dekat sekali dengan media sosial, sebuah platform yang ditemukan di abad 21 dan begitu digandrungi oleh sebagian besar umat manusia di dunia. Selain dari segi kebermanfaatannya, media sosial juga mempunyai sisi gelapnya sendiri, yakni pemujaan atas ketenaran. Siapa orang yang tidak ingin tenar di era medsos sekarang ini? Jawabannya adalah hampir semua orang. Kalaupun ada yang tidak, mungkin hanya sebagian kecil. Dengan demikian, fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam kehidupan manusia modern, yang mendorong keinginan untuk diakui dan dikenal oleh orang lain.

Namun sayang, seseorang terkadang alpa bahwa mengejar ketenaran tanpa batas bisa mengakibatkan hilangnya identitas dan juga harga diri. Dan secara tidak sadar mereka masuk pada penyembahan modernitas model yang ketiga, yakni “gila pujian”. Tidak mengherankan, demi viral dan dipuji seseorang kehilangan rasa malunya. Demi pujian, seseorang bahkan menjual harga dirinya. Demi pujian juga seseorang bisa terjerembab ke dalam lubang dosa. Mungkin pujian bisa membuat diri kita terhibur dan merasakan kebahagiaan, namun itu semua sesaat dan mudah lenyap. 

Media sosial atau medsos terbukti menjadi sumber dari segala gangguan dan juga kecanduan, terutama bagi anak muda. Medsos pelan-pelan berhasil mencerabut akar budaya masyarakat Indonesia yang terkenal dengan tepo seliro dan guyubnya. Misalnya antar tetangga, sekarang tetangga kita bagaikan orang asing. Tetapi tetangga kita di medsos, kita anggap tetangga sesungguhnya. Sampai kapanpun Medsos tidak akan pernah bisa menggantikan hubungan dan pengalaman yang bermakna ketika berjumpa secara langsung. 

Dari tiga model “penyembahan” yang terjadi di era modern ini, semuanya memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Setidaknya orang yang terjangkit sifat ini akan kehilangan sisi spiritualitasnya. Semakin dalam ia meninggalkan nilai spiritual yang ada dalam fitrahnya, semakin mudah dia akan mengalami stress, rasa cemas, dan merasa teralienasi ketika mengalami permasalahan hidup. 

Karena itulah, tidak salah bila Allah meminta kita untuk selalu bersikap tawassut (QS. Baqarah: 143) dan I’tidal (QS. Al-Maidah: 8) dalam segala hal. Umat pertengahan menurut mayoritas mufasir diartikan sebagai umat pilihan, terbaik, adil, dan seimbang, baik dalam keyakinan, pikiran, sikap, maupun perilaku. Sedangkan sikap adil akan membawa seseorang mendekati ketakwaan (I’dilu huwa aqrabu littaqwa). Maha Suci Allah, Dzat yang mengajarkan bagaimana seseorang dapat menjalani kehidupan di dunia dan akhirat secara seimbang. 

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini