Islam tidak pernah datang untuk memusuhi waktu, apalagi memerangi perayaan. Dalam sejarahnya, Islam justru akrab dengan momentum—pergantian siang dan malam, bulan, bahkan tahun—sebagai ruang refleksi dan penguatan makna hidup. Karena itu, pertanyaan tentang tahun baru sebetulnya bukan soal “boleh atau tidak merayakan”, melainkan bagaimana cara menyikapinya.
Kritik Islam terhadap perayaan tahun baru sekali-kali tidak diarahkan pada pergantian tahunnya, melainkan pada pola perayaan yang sarat pelanggaran nilai. Salah satu yang paling disepakati bermasalah adalah ikhtilāṭ—percampuran bebas laki-laki dan perempuan—yang kerap terjadi dalam perayaan massal di ruang publik.
Euforia yang membuka pintu ikhtilath
Al-Qur’an sejak awal telah menekankan penjagaan pandangan dan kehormatan (QS. an-Nūr: 30–31), dan melalui mafhum muwāfaqah dapat dipahami bahwa jika sekadar pandangan saja diperintahkan untuk dijaga, maka praktik pergaulan bebas tentu lebih layak untuk dihindari.
Bukan tanpa alasan para ulama mengingatkan bahaya ini, sebab realitas sosial menunjukkan bahwa euforia malam tahun baru seringkali membuka pintu pada kerusakan moral yang nyata, terutama bagi generasi muda. Dalam situasi seperti ini, kaidah dar’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣāliḥ menjadi sangat relevan: mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mengejar manfaat yang faedahnya pun belum tentu jelas.
Euforia yang menggerus amanah waktu
Selain persoalan pergaulan, kritik lain yang sering luput disadari adalah penyia-nyiaan waktu. Perayaan tahun baru lazimnya dihabiskan dengan menunggu hitung mundur tengah malam—sebuah aktivitas yang sulit ditemukan faedahnya, selain sekadar mengikuti arus euforia. Masalahnya, kebiasaan begadang hingga larut malam hampir pasti berdampak pada kelalaian ibadah yang lebih utama, terutama salat Subuh.
Dalam Islam, waktu bukan sekadar ruang kosong yang boleh dihabiskan sesuka hati, tetapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, aktivitas yang mubah sekalipun dapat berubah bermasalah ketika berujung pada pengabaian kewajiban. Inilah yang oleh para ulama disebut sebagai ta‘thīl, yakni membiarkan waktu berlalu tanpa nilai, sementara syariat justru mendorong seorang Muslim untuk menjaga ritme hidup yang sehat dan bertanggung jawab terhadap ibadahnya.
Meski demikian, tidak adil pula jika perbincangan tentang tahun baru hanya diisi dengan larangan. Para ulama sepakat bahwa ibadah dan kebaikan bersifat lintas waktu, tidak terikat pada momen tertentu. Bersyukur, berdzikir, berdoa, dan melakukan muhasabah diri adalah amalan yang sah kapan pun dilakukan, termasuk ketika pergantian tahun. Al-Qur’an menggambarkan orang-orang berakal adalah mereka yang mengingat Allah dalam seluruh keadaan dan pergantian waktu (QS. Āli ‘Imrān: 190–191), sementara Nabi SAW sendiri senantiasa berdzikir dalam setiap situasi hidupnya.
Selama tidak disertai keyakinan adanya keutamaan khusus pada malam tahun baru, dan tidak mengandung pelanggaran nilai, menjadikannya sebagai momentum refleksi pribadi bukanlah perkara yang dipersoalkan sebagian besar ulama.
Terkait ibadah di penghujung tahun “Masehi”
Sebagian ulama lain menilai bahwa ritual kolektif pada malam tersebut, meskipun diisi dengan zikir dan doa, tetap problematik karena berangkat dari penanggalan Masehi yang berakar pada tradisi keagamaan lain. Pandangan ini biasanya dikuatkan dengan penegasan bahwa Islam memiliki sistem penanggalan sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. at-Taubah: 36). Dari sudut pandang ini, menjaga identitas umat dianggap lebih utama daripada mengikuti momentum yang berasal dari luar tradisi Islam.
Pada titik inilah perlu ditegaskan bahwa perbedaan dua pandangan tersebut sejatinya bukanlah pertentangan prinsip, melainkan perbedaan tingkat kehati-hatian dalam menjaga nilai agama. Keduanya berangkat dari niat yang sama: menjaga kemurnian ibadah dan kehormatan Islam, hanya saja ditempuh melalui pendekatan yang berbeda. Karena itu, tidak selayaknya satu pandangan menegasikan yang lain, apalagi diseret menjadi ajang saling menyalahkan. Mereka yang memilih tidak merayakan demi kehati-hatian patut dihormati, sebagaimana mereka yang memanfaatkan momentum ini untuk refleksi dan ibadah juga tidak layak dicurigai.
Tantangan umat hari ini bukanlah kekurangan dalil—semuanya mudah diakses—melainkan kemampuan bersikap dewasa dalam menyikapi perbedaan. Islam mengajarkan keberagamaan yang santun, trans-kultural, dan penuh rahmat: mengamalkan apa yang diyakini benar tanpa merasa paling benar, serta menjaga agar perbedaan tetap menjadi ruang saling memahami, bukan sumber perpecahan.
Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini