Iman dan Kedamaian, Dua Jalan Menemukan Tuhan

Suatu hari, Ali bin Abi Thalib ditanya oleh salah seorang sahabat, bagaimana saya bisa melihat Tuhan? Ali pun menjawab, tentu kita dapat ‘melihat’ Tuhan di dunia, namun bukan melalui pandangan mata, melainkan dengan pandangan yang diarahkan oleh iman.

Demikian cuplikan nasihat penuh makna dari pendiri Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Prof. Muhammad Quraish Shihab dalam sesi Shihab & Shihab pada rangkaian perayaan 20 Tahun PSQ, di Masjid Istiqlal Jakarta, Sabtu (15/2). Uraian mufassir kenamaan Indonesia tersebut juga meneguhkan bahwasannya iman, menjadi indikator utama seseorang diberikan kemampuan untuk ‘melihat’ dan menemukan Tuhan. Maka, tak heran jika berulang kali ayat suci Al-Quran senantiasa menyebut secara bersamaan antara iman dan amal shaleh. Bukan saja karena amal membutuhkan upaya sungguh-sungguh namun juga harus dilandasi dengan rasa percaya (iman) kepada Allah, sehingga segala niat sebelum melakukan amal tertuju hanya dan karena-Nya.

Lafadz iman dan amal saleh dalam Al-Quran disebutkan secara bergandengan sebanyak 60 kali yang tersebar dalam 36 surat. Tentunya ini bukan suatu kebetulan belaka, pasti ada hikmah di balik itu semua. Imam Ahmad Mustofa Al-Maraghi di dalam tafsirnya mencoba menyingkap hikmah di balik iman dan amal saleh ini melalui metode sosio kultural atau sastra budaya dan kemasyarakatan. Menurut Al-Maraghi Iman adalah keyakinan kepada Allah dan Rosul-Nya yang dijelaskan oleh dalil Naqli (nash), dan diperkuat oleh dalil Aqly (akal). Sedangkan amal saleh memiliki kriteria khusus yaitu, pertama, segala perbuatan baik yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Kedua, perbuatan itu sesuai dengan syari’at islam. Ketiga, perbuatan baik itu didasari oleh iman yang benar.

Peneguhan makna ‘iman’ sebagai modal utama untuk dapat ‘bertemu’ dengan Tuhan juga meyakini dalam batin bahwa Tuhan, Gusti Allah mboten sare, tiada pernah tertimpa rasa kantuk apalagi tidur (laa ta-khudzuhu sinatun walaa naum). Setiap waktu, Ia dalam keadaan sibuk dan tiada pernah lelah mengurus makhluk (kulla yaumin Huwa fii sya’n). Dialah ar-Rahman yang selalu ada, menyaksikan seluruh aktivitas manusia dan seluruh makhluk-Nya. Namun terkadang, manusia tidak merasakannya. Mengapa? Sebab kita masih terlalu sibuk dengan hiruk pikuk dunia.

Kedekatan Allah Swt untuk segenap makhluk-Nya bukan hanya berdasarkan ‘rasa’ hati manusia tanpa bukti, namun juga sudah terungkap dalam salah satu ayat-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah/2: 186)

Petikan Qs. Al-Baqarah/2: 186 di atas menguraikan secara rinci dengan kalimat taukid (penegasan) innii qariib/ sungguh, Aku dekat. Kedekatan dialogis yang bukan saja dalam dekat secara jarak namun juga kedekatan berkualitas. Kedekatan yang menghantarkan manusia, siapapun ia, jika berdoa (dalam iman dan amal shalih), maka akan memeroleh apa yang ia doakan dan harapkan. Namun, syarat kuncinya tetap sama; iman.

Selain dalil naqli tentang kedekatan Tuhan pada hamba-Nya, dalam sebuah hadits Qudsi Allah memberikan jaminan bagi hamba-hamba-Nya yang mendekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah: “Aku berada dalam sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya bila ia berdoa kepada-Ku. Tidaklah hambaKu mendekat kepada Ku sejengkal melainkan Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu sehasta melainkan Aku akan men- dekat kepadanya sedepa. Tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan berjalan melainkan Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari”. (Muttafaqun ‘alaih)

Namun, sedemikian jelas janji Allah bahwa Ia dekat dengan segenap hamba-Nya, namun tetap saja, kondisi iman manusia senantiasa naik dan turun (yazid wa yanqush), terlebih, masih khilaf melakukan kesalahan, dosa, maksiat, sehingga koneksi dan kualitas kedekatan itu seringkali terputus. Dalam hal ini, Prof. Quraish Shihab memberikan resep bagi kita. Tuhan itu dekat, bahkan sangat dekat, tuturnya. Namun, kita tidak bisa memeroleh kedekatan itu dengan instan. Harus ada upaya kuat di antara sekian banyak ikhtiar itu ialah. Pertama, mencari bacaan atau buku-buku yang berkualitas. Kedua, pilihlah teman (circle), pergaulan yang baik. Sebab keduanya sangat memengaruhi bagaimana kondisi keimanan kita. Ketiga, luruskan niat dan kuatkan tekad, sebab godaan bisa datang dari segala arah. Keempat, bekali diri dengan ilmu.

Lebih lanjut, Prof. Quraish menjelaskan pula bahwa proses menemukan Tuhan dapat ditempuh dari beragam jalan. Adapun ‘jalan’ dalam konteks Al-Quran disebutkan dengan berbagai derivasi. Lafadz jalan, seringkali disebut dengan shirath, beberapa kali juga disebut dengan sabil (jamaknya subul) juga disebut dengan thariq. Lantas, apa yang membedakan ketiganya? Shirath, menurut beliau ialah jalan yang lebar, jalan yang luas dan siapapun bisa menyusuri jalan tersebut dengan aneka kebaikan yang mampu ia lakukan. Sehingga, keliru jika ada yang mengatakan dan memercayai bahwa shirath itu laksana rambut dibelah tujuh, tidak. Shirath itu sangatlah lebar, ucapnya.

Sementara itu, sabil atau yang juga disebut dengan jamak (subul/ aneka jalan), disebutkan secara khusus dengan subul as-salam, jalan kedamaian yang mengisyaratkan bahwa selain iman, kunci jalan menemukan Tuhan ialah dengan kedamaian. Damai dengan diri, damai dengan sesama, damai dengan seluruh makhluk alam raya. Ringan tangan dalam berbuat baik kepada siapa saja, sehingga hatinya selalu damai. Inilah ciri bahwa manusia tersebut dekat dan semoga kelak dapat menemui Tuhan.

“Dengannya (kitab suci) Allah menunjukkan kepada orang yang mengikuti rida-Nya jalan-jalan keselamatan, mengeluarkannya dari berbagai kegelapan menuju cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan kepadanya (satu) jalan yang lurus.” (Qs. Al-Maidah/5: 16).

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini