Dalam masyarakat kita banyak ulama yang melarang mengucapkan selamat natal tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus. Sebenarnya dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa tercantum dalam Surah Maryam ayat 33: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
Surah tersebut mengabadikan dan merestui ucapan selamat natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.
Yang melarang ucapan Selamat Natal mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Maka ini jelas bertentangan dengan akidah Islam, sehingga ucapan selamat natal paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kelasahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlas.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertana, “Dimana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di suatu tempat, satu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan.”
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapakan Selamat Natal atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan Selamat Natal, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan Selamat Natal. Ketika mengabdikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan Isa, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkah bila ucapan Selamat Natal dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa a.s, sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkan kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan FIraun dengan puasa Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Musa daripada kalian,” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Bukankah “Para Nabi,” sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., bersaudara? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian halnya, apa salahnya mengucapkan Selamat Natal selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an sendiri yang telah mengabadikan Selamat Natal itu?
Itulah antaralain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidanya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidanya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan Selamat Natal yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana ia diucapkan, maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Qur’an memperkenalkan satu bentuk redaks, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula.
Dalam QS. Saba’ [34]: 25 Allah Swt berfirman: “Kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan dosa besar yang telah kamu perbuat. Kami pun tidak mempertanggungjawabkan apa yang kamu lakukan.” Dalam redaksi ini, dosa besar dipahami sebagaimana apa adanya oleh lawan bicara, tetapi yang dimaksud pembicara adalah kekeliruan-kekeliruan kecil. Sedangkan apa yang kamu lakukan dipahami juga oleh lawan bicara dengan dosa-dosa kecil, tetapi maksudnya oleh pemibcara adalah kekufuran, kedurhakaan, dan dosa-dosa besar. Demikian pandangan pakar tafsir al-Zamakhsyari dan dikutip oleh al-Qasimi.
Disini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan Selamat Natal sesuai dengan kayakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidanya mengucapkan sesuai dengan penggarisan keyakinannya. Tidak keliru dalam kacamata ini, fatwa larangan mengucapakan Selamat Natal, bila laranagan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan. Wallahu A’lam.
M. Quraish Shihab dalam M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2008), 589 – 592.