Dalam sejarah Islam, dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekah dan Madinah. Ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah swt. kepada beliau pun terbagi menjadi ayat Makiyyah (diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah) dan ayat Madaniyyah (diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah).
Peristiwa hijrah Rasulullah saw. dan para pengikutnya ini menjadi tonggak penting dalam sejarah penyebaran Islam. Perjalanan berat yang ditempuh oleh mereka pada akhirnya membawa Islam dan kaum muslimin keluar dari ketertindasan menuju kemenangan.
Dakwah Islam di Mekah, pada awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, hanya kepada keluarga dan sahabat dekat. Hal ini dilakukan untuk menghindari perlawanan sengit dari masyarakat pada saat itu, yang dikhawatirkan akan mempersulit bahkan mematikan dakwah Islam yang baru dimulai. Penyebarannya secara diam-diam memberi kesempatan bagi semakin banyak orang untuk mengenal ajaran baru ini, menerima, kemudian turut menyebarkannya.
Pada tahun keempat kenabiannya, Rasulullah saw., atas perintah Allah swt., mulai berdakwah secara terang-terangan. Seperti yang telah diduga sebelumnya, perlawanan dari kaum Quraisy, yang sebelumnya sudah membenci Rasulullah, semakin gencar dilakukan. Permusuhan dan intimidasi tidak hanya ditujukan kepada Rasuullah saw., tetapi juga para pengikutnya.
Meninggalnya istri dan paman Rasulullah, Siti Khadijah ra. (620 M) dan Abu Thalib (619 M), pendukung utama serta pembela Rasulullah saw., menambah berat keadaan pada saat itu.
Tahun berikutnya, 27 Rajab 621 M, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj, perjalanan Rasulullah saw. dari Mekah ke Yerusalem, kemudian naik ke Sidratul Muntaha untuk mendapat perintah shalat secara langsung dari Allah swt. Setelahnya, pengalaman yang luar biasa bagi para pengikutnya itu, ternyata malah membuat penindasan terhadap umat muslim semakin menjadi-jadi. Rasulullah saw. pun dicap sebagai pembohong.
Sementara itu dari Madinah, pada tahun sebelumnya, sejumlah orang menemui Rasulullah saw. Mereka mendengar tentang ciri dan sifat nabi yang akan datang dari tetangga mereka yang orang Yahudi, dan merasa sifat tersebut ada pada diri Rasulullah saw. Mereka karenanya menyatakan diri masuk Islam. Mereka juga menyampaikan pada Rasulullah keadaan di Kota mereka yang dipenuhi permusuhan antar suku, khususnya suku Khazraj dan suku Aus. Mereka berharap Rasulullah saw. dapat menghentikan permusuhan serta menjadi pemersatu di antara mereka.
Pada musim haji tahun berikutnya, datang kembali 12 orang dari Madinah untuk menemui Rasulullah untuk menyatakan keislamannya serta berjanji bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, mencuri, berbuat zina, berbohong, mengkhianati Rasulullah, serta menjauhi kemungkaran. Janji atau bai’at ini dilakukan di bukit Aqabah, maka peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai Bai’at al-Aqabah I.
Tahun berikutnya lagi, yaitu pada tahun 622 M, datang kembali sebanyak 73 orang dari Madinah. Selain untuk menyatakan keislaman, mereka juga mengajak Rasulullah saw. untuk berhijrah ke Madinah. Di tempat yang sama dengan sebelumnya, bukit Aqabah, mereka berjanji akan melindungi Rasulullah saw. dan pengikutnya sebagaimana mereka melindungi anak dan istrinya, ikut berjuang membela Islam dengan harta dan jiwanya, serta berusaha meyakinkan kerabatnya akan kebenaran Islam. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Bai’at al-Aqabah II.
Ajakan ini, ditambah keadaan kaum muslimin yang semakin terdesak, apalagi dengan adanya boikot yang dilakukan oleh kaum musyrik, yang melarang segala bentuk hubungan dengan kaum muslimin, mulai dari perdagangan, pernikahan, sampai pergaulan, juga mendukung kelompok-kelompok yang memusuhi Rasulullah saw., menjadi latar belakang hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah.
Akhirnya, atas perintah Allah, unuk menyelamatkan dakwah Islam dan melindungi pemeluknya, Rasulullah saw. mengirim para pengikutnya untuk terlebih dahulu hijrah ke Madinah. Baru kemudian, Rasulullah swa. Bersama Abu Bakar menyusul.
Perjalanan hijrah ini bukanlah sesuatu yang mudah. Mereka harus meninggalkan tempat tinggal, harta benda, bahkan banyak yang terpaksa meninggalkan keluarganya. Kaum musyrik pun mempersulit kepindahan mereka ini. Ada yang ditahan istri dan anaknya seperti Abu Salamah, ada yang terpaksa kembali setelah sampai di Madinah seperti Ayyasy bin Abi Rabi’ah, karena dibohongi oleh saudara seibunya, Abu Jahal, bahwa ibu mereka merindukannya. Dalam perjalanan menuju Mekah dia diikat dan diseret ke Mekah, lalu dipertontonkan sebagai contoh akibat orang yang meninggakan agama leluhur.
Hijrahnya Rasulullah saw. sendiri dipenuhi bahaya. Mulai dari percobaan pembunuhannya sebelum berangkat sampai pengejarannya saat dalam perjalanan. Hanya pertolongan Allah swt. yang menyampaikan beliau ke Madinah dengan selamat.
Walau sungguh berat dan penuh resiko, demi Allah swt dan agama-Nya, Rasulullah saw. dan pengikutnya bersedia melakukan hijrah tersebut. Pada akhirnya, kebaikan demi kebaikan mereka dapatkan dari perpindahan itu. Puncaknya saat mereka berhasil kembali memasuki Mekah, bahkan menguasainya tanpa peperangan. [aca]