Hadis “Manusia Tempatnya Salah dan Lupa” Bukan Tameng Pembenaran Kesalahan

Beberapa waktu lalu, viral sebuah video di media sosial: seorang anak muda tertangkap mencuri handphone. Ia diinterogasi warga, diminta klarifikasi, lalu meminta maaf. Mungkin karena usianya masih muda, ia tidak langsung diserahkan kepada polisi.

Namun yang membuat video itu viral bukan aksi pencuriannya, melainkan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Dengan santai ia berkata:

“Saya tidak bermaksud melakukan ini itu, karena manusia itu tempat salah dan lupa. Manusia bukan Nabi, boyyy.”

Ucapan itu langsung dihadiahi pukulan oleh warga.

Kita tahu bersama bahwa ungkapan “manusia itu tempatnya salah dan lupa” adalah hadis Nabi SAW. Al-insān maḥall al-khaṭā’ wa an-nisyān. Hadis sahih, dikenal luas, dan tidak ada keraguan tentang maknanya.

Tetapi mengapa kalimat itu terasa menjengkelkan ketika diucapkan oleh pelaku kesalahan?
Jawabannya sederhana: karena ia sedang memakai hadis yang salah sasaran.

Rasulullah SAW tidak sedang memberi “izin moral” kepada pelaku kesalahan. Beliau justru berbicara kepada korban kesalahan, agar mereka mempertimbangkan bahwa manusia bisa khilaf, tergelincir, atau lupa.

Dengan kata lain: hadis itu adalah dorongan untuk memaafkan, bukan dalih untuk meminta orang lain memaklumi perbuatan kita.

Pentingnya memahami subjek taklīf

Dalam membaca teks agama, kita harus tahu kepada siapa sebuah ayat atau hadis diarahkan. Orang atau kelompok yang sedang diajak bicara dalam teks itulah yang disebut subjek taklif. Salah membaca subjek taklīf bisa berakibat fatal. Hadis yang tadinya menjadi ajaran kelapangan hati, berubah menjadi tameng untuk cuci tangan.

Kesalahan memahami subjek taklīf bahkan pernah menjadi salah satu penyebab perang besar dalam sejarah Islam.

Pada Perang Shiffīn, kelompok Khawarij mengutip ayat:

لَا حُكْمَ إِلَّا لِلَّهِ


“Tidak ada hukum kecuali milik Allah.”

Ayatnya benar. Tapi konteks pemakaiannya keliru. Ali bin Abi Thalib langsung menegur mereka dengan kalimat masyhur:

كَلِمَةُ حَقٍّ يُرَادُ بِهَا بَاطِلٌ


“Kalimat yang benar, tetapi dimaksudkan untuk hal yang batil.”

Artinya, sekalipun ayat atau hadis itu benar, jika dipakai oleh orang yang salah, dalam konteks yang salah, dan untuk tujuan yang salah—hasilnya bisa menjadi kebatilan.

Begitu pula dengan ucapan “manusia tempatnya salah dan lupa”. Kalimatnya benar. Hadisnya sahih. Tapi keliru jika digunakan untuk membela tindakan yang dilakukan dengan sadar, apalagi untuk menghindari tanggung jawab.

Hadis yang Pas Untuk Orang yang Bersalah

Karena itu, jika seseorang benar-benar ingin meminta maaf, dalil yang perlu ia pegang bukanlah “manusia tempatnya salah dan lupa”, tetapi hadis yang memang ditujukan untuk pelaku kesalahan, yaitu sabda Nabi SAW:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ


“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya, baik terkait kehormatan maupun harta, maka mintalah maaf (halal) darinya hari ini, sebelum datang hari di mana tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Bukhari)

Hadis inilah yang lebih tepat diamalkan oleh pelaku kesalahan: mengakui perbuatannya, bertanggung jawab, dan meminta impas dari orang yang ia sakiti. Sebab yang diwajibkan kepada pelaku bukanlah menuntut agar orang lain memaklumi, tetapi menunjukkan kesungguhan memperbaiki diri. Dengan begitu, permintaan maaf menjadi jalan perbaikan moral, bukan sekadar trik menghindari konsekuensi.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini