Beberapa hari ini, media sosial tengah ramai membincangkan seorang Qariah yang disawer saat tengah melantunkan ayat suci al-Quran. Kejadian yang sebetulnya telah berlalu beberapa bulan baru viral di awal Januari ini. Setelah ditelusuri, rupanya fenomena sawer Qari atau Qariah ini cukup banyak bermunculan di Youtube. Sebagai umat Islam, tentu kita turut prihatin dengan peristiwa yang memperlihatkan betapa rendahnya akhlak mereka yang menyawer pembaca al-Quran layaknya saweran dangdutan. Namun di sisi lain, sawer menyawer al-Quran juga seperti ‘teguran’ agar umat Islam menghayati kembali bagaimana seharusnya adab ketika al-Quran dibacakan?
Dalam Surah Al-A’raf Ayat 204 Allah Swt telah menginformasikan bagaimana semestinya sikap umat muslim ketika tengah mendengarkan lantunan ayat suci al-Quran, ‘Jika dibacakan Al-Qur’an, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati,’ – dua kata kunci dari ayat di atas, ketika mendengar ayat suci al-Quran, yakni pertama, fastami’u (maka dengarkanlah) dan kedua ansithu (diamlah). Dua adab tersebut bertujuan agar la’allakum turhamun/ mendapatkan kasih sayang Allah. ‘Mendengarkan’ dan ‘diam’ menjadi dua sikap yang diajarkan langsung oleh Allah tatkala mendengar ayat suci-Nya.
Dalam membaca pesan luhur al-Quran di atas, sejenak kita tengok bagaimana sebab turunnya ayat ini seperti yang disebutkan dalam kitab “Lubaab al-Nuquul”. Dari Abu Hurairah r.a mengatakan bahwa surat al-A’raf ayat 204 turun sehubungan dengan mengeraskan suara dengan keras tatkala bermakmum di belakang Nabi lalu, turunlah ayat tersebut. Riwayat yang senada juga dari Abu Hurairah r.a, beliau menagatakan, “Para sahabat selalu bercakap-cakap sewaktu dibacakan Al-Qur’an, maka turunlah firman Allah (al-A’raf ayat 204)”.
Sementara riwayat yang berbeda yakni dari Zuhri r.a yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang pemuda dari sahabat Anshar. Manakala Rasulullah membaca Al-Qur’an maka, pemuda tersebut membarengi bacaannya dengan Nabi. Sehingga turunlah ayat 204 surat al-A’raf tersebut.
Lebih lanjut, Imam Ibn Katsir dalam karyanya menguraikan, memang tidak ada pernyataan secara jelas dan tegas apakah perintah untuk diam atau merenung ketika mendengar bacaan Al-Qur’an itu juga dapat diimplementasikan pada selain shalat misal seperti ketika teman satu kelas menyetel Al-Qur’an melalui hp, atau ketika tetangga kita mengadakan hataman Al-Qur’an dengan menggunakan mikrofon. Akan tetapi, jika kita menelurusi dalam kitab-kitab tafsir modern maka kita akan menemukan sebuah interpretasi secara tegas bahwa kandungan perintah pada ayat tersebut tidak hanya pada waktu shalat atau khotbah saja tetapi juga di luar itu.
Sementara itu, jika kita menyimak kembali ayat di atas, Allah menggunakan term ‘al-Istimaa’ bukan al-Sam’u. apa perbedaan keduanya? Para ahli bahasa Arab mengatakan bahwa lafadz al-Istimaa’ pada ayat tersebut memiliki makna yang lebih khusus daripada al-Sam’u sebab kata al-Istimaa’ (mendengarkan) dapat dihasilkan dengan sengaja dan niat atau dengan menfokuskan panca indera terhadap suatu pembicaraan untuk memahaminya.
Sedangkan kata “al-Sam’u” dapat diartikan mendengarkan walaupun dengan tanpa sengaja. Berikutnya, lafadz ‘Wa ansithu’ dari kata “al-Inshaat” memiliki makna diam untuk mendengarkan, diam untuk merenung, menghayati, menyimak dengan fokus penuh dan sadar utuh sehingga tidak ada gangguan untuk merekam segala yang dibacakan. Lebih kompleks, al-Sa’di dalam tafsirnya “Taysiir al-Kariim” memberikan pengertian “al-Istimaa’” dengan memfokuskan pendengaran serta menghadirkan dalam hati dan bertadabbur atas apa yang didengar. Orang-orang yang mengikuti kedua perintah tersebut akan mendapatkan kebaikan dan ilmu yang berlimpah, iman yang kokoh serta petunjuk yang bertambah.
Syaikh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Muniir menyatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan agar kita mendengarkan bacaan Al-Qur’an ketika dilantunkan supaya memahami dan mengambil pelajaran atas isi dari ayat-ayatnya serta tidak berbicara (diam) dan khusyu’ agar dapat berfikir serta bertadabbur tentang maknanya. Kemudian beliau melanjutkan bahwa semuanya itu merupakan suatu media untuk mendapatkan rahmat Allah swt dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang hatinya disinari oleh nur al-Iman.
Mengingat pentingnya mendengarkan bacaan al-Quran dan diam seraya mentadabburinya, menurut Syaikh Wahbah Zuhaili, ayat ini juga mengindikasikan tentang hukum wajib untuk mendengarkan (istimaa’) dan diam (inshaat) ketika mendengar bacaan Al-Qur’an, baik di dalam shalat atau selainnya bahkan umum di segala tempat dan keadaan. Bedanya, lebih ditekankan jika dalam keadaan shalat, tatkala imam membaca jahr (keras).
Menyimak uraian di atas dan melihat fenomena sawer Qori yang kini terpampang nyata di beragam media sosial—semoga membuat kita semua terus berbenah hati serta menyelaraskan Iman, Islam dengan Ihsan (akhlak terpuji). Sehingga bukan hanya sibuk dengan atribut-atribut dan ritual keislaman, ber-KTP Islam, berkoko, berhijab, bergamis, berpeci namun juga berupaya memperbaiki diri agar mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya khususnya dalam menjaga adab ketika al-Quran dilantunkan. Pun jika kita ingin memberikan hadiah berupa uang pada sang Qari/Qariah, maka silahkan lakukan dengan cara santun dan penuh penghormatan. Allahu ta’ala a’lam…
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini