Catatan Evaluasi Ramadhan Kita

H-1 lebaran banyak umat muslim yang menyebarkan broadcast paradoks, yang mana satu sisi berisi perasaan sedih karena sebentar lagi akan meninggalkan bulan yang penuh rahmat, tetapi di sisi lain terpatri rasa kegembiraan, tak sabar menyambut hari yang fitri, puncak keberhasilan umat muslim meraih kemenangan atas usaha satu bulannya menahan segala dorongan hawa nafsu. Hanya saja pertanyaan besarnya adalah, apakah benar umat muslim telah meraih kemenangan? Terlepas dari segala upaya positif ––seperti pelipatgandaan amalan ibadah, kepedulian terhadap kaum proletar, dll–– yang terjadi selama rentang waktu tiga puluh hari itu, penulis hendak memaparkan beberapa catatan perihal segmen-segmen aktivitas Ramadhan umat muslim Indonesia yang masih berapor merah.

Pertama, perihal makan dan minum. Konon serendah-rendahnya kualitas/tingkatan berpuasa seseorang adalah ketika ia dapat menahan atau mengontrol hawa nafsunya dari kebutuhan primer seperti makan dan minum. Tetapi dapat diamati bahwa ironinya pengeluaran kebutuhan untuk hal tersebut di bulan Ramadhan malah jauh lebih besar dibanding bulan lainnya. Selain itu, meski mafhum diakui bahwa banyak yang lolos menahan kebutuhan makan dan minum hingga waktu berbuka, tetapi seakan hendak membalas dendam, saat azan maghrib berkumandang semua sibuk dengan urusan perutnya. Azan maghrib menjadi alih fungsi yang seharusnya sebagai penyeru aktivitas shalat, sekarang sekadar dijadikan bel pengingat waktu makan. Maka jangan aneh kalau masjid tetap sepi, seperti biasanya. Hematnya, walaupun secara legal-formalistik kegiatan berpuasanya telah terpenuhi tetapi esensinya tidak atau belumlah terjamah.

Kedua, soal shalat tarawih. Tentu penulis senang yang dengan adanya momentum Ramadhan, berarti masjid menjadi lebih termakmurkan sebab umat muslim akan berbondong-bondong menunaikan shalat tarawih berjamaah ––setidaknya terjadi dalam seminggu pertama. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, berpartisipasi di dalamnya. Tetapi anehnya, hal itu tak terjadi di waktu-waktu shalat lainnya. Subuh, dzuhur, asar, dan maghrib tetaplah sepi atau setidaknya tidak ada penambahan kuantitas yang terjadi secara signifikan. Padahal seutama-utamanya shalat sunnah berjamaah terang bahwa jauh lebih utama melakukan shalat fardu secara berjamaah, yang sepertinya kurang mendapat perhatian umat muslim.

Belum berhenti sampai di sana, ada satu lagi hal problematik lagi seputar tarawih yang bahkan sudah membudaya, yakni soal kecepatan dalam beribadah. Telah menjadi rahasia umum bahwa jamaah lebih senang bermakmum dengan imam yang cepat ––dalam membaca bacaan shalat. Akhirnya, dengan menyitir hadits tentang seorang imam yang harus memberikan kemudahan/keringanan kepada makmum, banyak imam yang berkompromi, memutuskan untuk mempercepat bacaan shalatnya. Dengan cukup melakukan yang rukun-rukun saja, tak tanggung-tanggung 23 rakaat dapat diselesaikan hanya beberapa menit saja seperti yang terjadi di kampung halaman penulis. Meski, sekali lagi, secara fikih hal itu sah saja tetapi patut disangsikan efek dalam peningkatan spiritualitasnya. Seakan ibadah merupakan suatu tuntutan yang amat diperlukan untuk keperluan Allah. Tentu akan sangat berbeda dengan seseorang yang menyadari bahwa ibadah bukanlah sesuatu tuntutan ilahi, melainkan dengan kesadaran, menyadari bahwa ibadah adalah suatu kebutuhan layaknya makan dan minum, karena sejatinya manusialah yang membutuhkan Tuhan, bukan sebaliknya. Bahkan terbesit dalam pemikiran liar penulis, bahwa jangan-jangan, layaknya puasa “abal-abal” yang hanya mendapatkan lapar dan haus, shalat tarawih yang super cepat ini cuma hanya menghasilkan rasa lelah dan penyesalan di akhirat.

Ketiga, adalah seputar ibadah. Bulan Ramadhan memang cocok untuk memperbanyak ibadah, selain karena berpahala ganda, rahmat Allah turun meliputi seantero alam raya. Contoh sederhana adalah praktik shalat dan membaca Alquran. Tak pelak di bulan Ramadhan ini kedua ibadah tersebut mendapat perhatian yang amat besar sampai-sampai, yang terakhir disebut, bisa dirapal hingga satu juz setiap harinya. Sayangnya peningkatan kuantitas aktivitas ini belum dapat diintegrasikan dengan penjulangan kualitasnya sebab yang dilakukan oleh umat muslim pada umumnya, mengutip ucapan salah satu dosen penulis, adalah sekadar membunyikan Alquran, bukan membaca karena sebagaimana termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam membaca harus disertai upaya untuk memahami apa yang tertulis. Kita sering mengucapkan kata “Ayo, Mengaji Alquran!” seharusnya dapat mengetahui bahwa kata mengaji terambil dari kata dasar kaji, yang berarti belajar, menyelidiki, memeriksa. Di UIN ada jurusan Dirasah Islamiyah yang berarti Kajian Islam. Jika ditransformasikan ke dalam bahasa Inggris, maka akan menjadi Islamic Studies. Pertanyaannya, apakah ada dalam proses pembelajarannya, para mahasiswa UIN tersebut hanya membunyikan isi buku-buku, atau membunyikan isi Al-Quran? Tentu tidak. Yang mereka lakukan adalah mengkaji/mengaji isi Al-Quran, memahami, meneliti, menafsirkan, dan lain sebagainya yang pada intinya adalah sebuah upaya keras supaya Al-Quran dapat dibumikan, konkret dijadikan sebagai panduan hidup. Kalau sekadar dibunyikan yang mana burung beo pun dapat melakukan hal tersebut, maka wajar meski sudah berkali-kali khatam, banyak di antara umat muslim yang tidak pernah tahu apa yang hendak disampaikan oleh Allah dalam firman-Nya.

Keempat, ialah mengenai transformasi diri. Sepanjang amatan penulis, tidak banyak perubahan yang terjadi pada diri para pelakon puasa. Orang pelit tetap menjadi pelit, pemarah tetap tak dapat menahan atau mengurangi amarahnya, pencaci/penyebar berita hoax tidak mengubah kebiasannya tersebut betapapun puasa 30 hari penuh telah dilaksanakan, dan lain seterusnya. Atau dapat pula ditujukan kepada diri sendiri, apakah telah terjadi perubahan posotif dalam diri pasca menjalani drilling puasa dan serangkaian ibadah lainnya di bulan Ramadhan lalu. Jangan-jangan nihil. Benarkah takbir yang digaungkan pada H-1 lebaran benar-benar untuk membesarkan Allah sembari menekan/mengecilkan ego pribadi, atau malah sebaliknya. Jika semua itu belum terpenuhi, berarti tujuan utama puasa, yakni menjadi insan takwa, masihlah jauh api dari panggang.

Demikian sekelumit otokritik yang dapat penulis hidangkan supaya dapat dijadikan catatan, tetapi di luar itu semua patut disyukuri bahwa Allah senantiasa membuka pintu-pintu “revisi” bagi umatnya. Maka, tak pantas jika kita, selaku manusia yang selalu diliputi khilaf, mengabaikan hadiah tersebut. Perbaikan dari hari ke harilah yang ditunggu oleh-Nya. Allahu alam bi shawab.