Statistik, Kekuasaan, dan Etika Sosial: Telaah Hadis Nabi Saw dalam Perspektif Kritik Michel Foucault

Negara modern kerap menilai keberhasilan sosial melalui statistik dan data makro. Penanganan bencana, kemiskinan, dan kesejahteraan dilaporkan dalam angka-angka persentase yang tampak objektif dan rasional. Namun, ketika keberhasilan dipatok pada grafik,  kecenderungannya justru untuk mengamankan angka, bukan menyelesaikan permasalahan. Akibatnya, manipulasi data—baik melalui pengaburan kategori, pemilihan indikator yang menguntungkan, maupun penghilangan kasus-kasus ekstrem—menjadi “setan” struktural. Dalam logika ini, manusia mudah tereduksi menjadi unit populasi, sementara individu yang lapar atau terabaikan dianggap sekadar anomali statistik.

Islam menghadirkan paradigma yang sangat berbeda. Al-Qur’an tidak berbicara dengan bahasa rata-rata, melainkan menunjuk langsung pada kasus-kasus konkret penderitaan manusia. Allah berfirman: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin” (QS. al-Ma‘un [107]: 1–3). Ayat ini tidak menyinggung tingkat kemiskinan masyarakat, tetapi satu figur anak yatim dan satu kewajiban memberi makan orang miskin. Dalam logika wahyu, satu pengabaian sudah cukup untuk menjatuhkan klaim religiositas.

Hal yang sama tampak jelas dalam hadis Nabi Saw. Rasulullah bersabda: “Tidak beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya” (HR. al-Baihaqi). Hadis ini menutup ruang bagi klaim keberhasilan berbasis mayoritas. Iman, dalam perspektif Nabi , diuji pada relasi mikro: tetangga terdekat, orang sakit, dan kaum lemah yang nyata di hadapan mata. Bahkan ukuran keutamaan sosial ditegaskan secara praktis: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad). Manfaat di sini bukan narasi laporan, melainkan kehadiran konkret.

Kritik terhadap dominasi statistik ini secara teoretis dibaca oleh Michel Foucault melalui konsep biopower. Menurutnya, negara modern mengelola kehidupan manusia sebagai “populasi” melalui data, normalisasi, dan standar rata-rata. Dalam mekanisme ini, statistik bukan alat netral, melainkan instrumen kekuasaan yang menentukan mana penderitaan yang layak dicatat dan mana yang boleh diabaikan. Manipulasi data menjadi konsekuensi logis ketika angka dijadikan tolok ukur legitimasi kebijakan.

Namun, berbeda dengan Foucault yang berhenti pada pembongkaran mekanisme kekuasaan, Islam menawarkan fondasi etika yang mengikat. Rasulullah Saw bahkan berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kekufuran” (HR. Abu Dawud), menandakan bahwa kemiskinan bukan sekadar problem teknis, tetapi ancaman moral. Karena itu, selama masih ada penderitaan yang disembunyikan demi menjaga statistik, klaim keberhasilan sosial patut dipertanyakan. Dalam etika profetik, satu manusia yang lapar lebih penting daripada seribu grafik yang rapi.

Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini