Salat adalah rukun Islam kedua, setelah syahadat. Ibadah ini diwajibkan kepada setiap muslim yang mukalaf, yaitu mereka yang telah balig dan berakal (‘aqil). Salat merupakan perintah yang sangat penting untuk dilaksanakan dan dijaga oleh setiap muslim. Dalam sebuah hadis dijelaskan betapa pentingnya ibadah ini:
“Amal hamba yang pertama dihisab (dihitung) di hari kiamat kelak adalah salatnya. Jika salatnya baik, maka ia telah beruntung dan selamat. Dan jika salatnya rusak, maka ia telah rugi …” (HR. al-Tirmidzi, no. 413).
Pentingnya salat juga dapat dilihat dari bagaimana perintah ibadah ini diturunkan. Berbeda dengan perintah ibadah lainnya yang diturunkan melalui wahyu atau perantara, perintah salat langsung menghadirkan Nabi Muhammad Saw. ke hadapan Tuhan Semesta Alam. Di antara hikmah peristiwa ini adalah bahwa salat adalah momentum perjumpaan hamba dengan Tuhannya. Karenanya, seorang hamba dituntut untuk dapat se-khusyuk mungkin mengerjakannya.
Akan tetapi, dalam praktiknya, begitu banyak muslim yang mengerjakan salat hanya sekadar menggugurkan kewajibannya. Di antara mereka ada yang disebut oleh al-Qur’an sebagai orang-orang yang lalai dalam salat.
Siapakah yang Disebut Sebagai Saahuun?
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa kendati orang-orang telah melaksanakan salat, ada yang akan celaka. Mereka inilah yang disebut sebagai saahuun (orang-orang yang lalai) dalam salatnya. Dalam surah al-Ma’un ayat 4-5 Allah berfirman:
“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya”
Kata sahuun dalam bahasa Arab berasal dari kata sahaa. Ibnu Manzhur dalam Lisaan al-‘Arab ([14]: 406) memaknai kata sahaa sebagai ‘lupa atau lalai akan sesuatu’ dan ‘perginya fokus hati menuju sesuatu yang lain’.
Al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya mengutip riwayat-riwayat yang menjelaskan ragam maksud kata saahuun. Dari riwayat al-Dahhak dia mengutip pendapat Ibnu Abbas bahwa makna saahuun adalah mereka yang jika melaksanakan salat tetapi tidak mengharapkan pahala atau jika mereka tidak menunaikannya mereka tidak takut akan siksa. Ibnu Abbas juga menyebut bahwa yang dimaksud adalah orang-orang munafik; menunaikan salat ‘alaaniyyah (zuhur, ashar, dan magrib), meninggalkan salat sirr (isya dan subuh), serta bermalas-malasan dalam mengerjakannya ([20]: 211).
Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitab tafsirnya menyebutkan beberapa kemungkinan siapa yang dimaksud dengan saahuun. Pertama, adalah mereka yang melalaikan waktu salat; selalu menunda-nunda salat hingga akhir waktu. Kedua, adalah mereka yang lalai dalam mengerjakan salat sesuai dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Dan ketiga, mereka yang termasuk saahuun adalah orang yang sengaja tidak mengusahakan tercapainya kekhusyukan serta tidak memaknai makna dan hakikat salat ([4]: 493).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa siapapun yang termasuk dari tiga jenis orang tersebut, maka termasuk dari bagian yang disebutkan pada ayat di atas. Sedangkan orang yang memiliki ketiga sifat tersebut, maka sifat-sifat kemunafikan telah sempurna pada dirinya. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda,
“Itulah sahatnya orang munafik. Dia duduk hingga matahari berada di antara dua tanduk setan, ia berdiri lalu memantuk (melaksanakan salat dengan sangat cepat seperti burung mematuk makanan) empat rakaat (salat Ashar). Dia tidak menyebut Allah dalam salatnya kecuali sedikit.” (HR. al-Tirmidzi, no. 160).
Salat dan Kepedulian Sosial
Quraish Shihab menguraikan ada keterkaitan antara ayat ke-4 surah al-Ma’un dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang orang-orang yang mendustakan agama (Hari Kiamat), yaitu mereka yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang-orang miskin (QS. al-Ma’un[107]: 2-3). Keterkaitan tersebut berupa ketidakpedulian mereka terhadap sesama; berbuat riya serta enggan menolong dengan barang yang bermanfaat (QS. al-Ma’un[107]: 6-7).
Dalam Tafsir al-Mishbah ([15]:549) beliau menulis:
“Maka kecelakaan besar-lah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari esensi shalat mereka, yaitu orang-orang yang senantiasa berbuat riya, pamrih serta bermuka dua dan menghalangi dirinya dan orang lain untuk menolong dengan barang berguna.”
Lebih lanjut Shihab menjelaskan bahwa Islam sangat memperhatikan ibadah ritual dan sosial. Keduanya berjalan bersama, bukan dipisahkan apalagi berlawanan. Surah al-Ma’un menunjukkan keterkaitan keduanya. Jika ibadah ritual tidak banyak membantu seorang hamba untuk berbuat baik secara sosial, padahal sangat mampu, maka ibadah tersebut tidak berdampak banyak bagi dirinya sendiri (hal. 553).
Kuntowijoyo menyebut ajaran ini dengan inter-connectedness, yaitu keterkaitan ibadah secara vertikal (ibadah manusia kepada Tuhan) dan horisontal (kepedulian antarmanusia). Dia memberikan contoh keterkaitan di atas dengan puasa dan zakat serta antara salat dan solidaritas sosial (Muslim Tanpa Masjid, hal 8). Salat, misalnya, telah disebutkan dalam al-Qur’an bahwa ibadah ini seharusnya mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar (QS. al-‘Ankabut[29]: 45).
Terhadap kata al-maa’uun yang menjadi nama surah ini, Shihab mengartikannya sebagai sesuatu yang kecil dan dibutuhkan (bermanfaat), seperti zakat, alat-alat rumah tangga, air, piring, pacul, dan benda-benda kecil yang bermanfaat lainnya. Dengan demikian, kata Shihab, sungguh betapa kikir mereka yang, jangankan memberikan bantuan besar, memberikan bantuan kecil pun enggan (hal. 551).
Dengan demikian, surah al-Ma’un dapat menjadi pelajaran dan bahan seorang hamba untuk introspeksi diri, apakah ibadah-ibadah yang selama ini dilaksanakannya mampu mendorong dirinya untuk berbuat lebih baik kepada sesama, atau justru semakin menjadikan dirinya jauh dari kebaikan-kebaikan sosial (riya, sombong, iri, dan sebagainya). Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini