Jarak sosial antara pemimpin dan masyarakat harus dipelihara. Dalam masyarakat yang ideal tidak boleh pemerintah terlalu dominan yang dapat mengakibatkan rakyat sangat lemah, yang menjadikan pemerintah otoritarian. Tidak boleh juga masyarakat super dominan sehingga tidak memberikan tempat kepada penguasa menjalankan fungsinya. Jadi yang paling penting itu adalah ada jarak sosial dan ada kapasitas masing-masing, tugas sebagai pemimpin dan tugas sebagai masyarakat. Kalau saja masyarakat dan pemimpin tahu batas keberadaaannya masing-masing itulah yang akan melahirkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Kalau pemerintah terlalu turun tangan sehingga mencampuri urusan yang detail-detail, pertanda civil society akan tergerus yang bisa melahirkan bom waktu. Begitu pun kalau masyarakat terlalu anarkis sehingga apa pun yang dilakukan pemerintah tidak pernah baik, akan terjadi gejolak politik sehingga tidak ada waktu untuk khusyuk dalam salat. Hal ini seperti yang terjadi di sebagian Negara di kawasan Timur Tengah. Masyarakatnya sibuk berdiskusi tentang bentuk Negara Islam, malah tidak pergi ke Masjid karena khawatir pulang menjadi mayat karena situasi yang mencekam dan terjadi peperangan.
Yang penting buat kita di Indonesia bukan memperjuangkan format dan formalitas sebuah negara, tetapi yang paling penting buat saya adalah substansinya. Jadi jangan sampai atas nama subjektivitas tidak memberikan pembenaran kepada apa pun yang dilakukan pemerintah. Sebaliknya juga pemerintah selaku penguasa menganggap apa pun yang tumbuh di masyarakat tidak diberikan tempat. Keduanya ini tidak benar.
Masyarakat kita di Indonesia dengan prinsip Pancasila, benar-benar ada jarak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Kalau semua pihak tahu kapasitasnya, semua orang bisa mengendalikan diri sesuai dengan kapasitas dan porsinya masing-masing, maka yang muncul adalah ketenangan dan ketentraman. Dinamika masyarakat terwujud tanpa harus menimbulkan ketegangan-ketegangan yang bisa jadi tidak produktif.
Kalau kita analogikan di dalam kepemimpinan salat misalnya, dalam hadis dari Imam Turmudzi dikatakan bahwa kepemimpinan seorang Imam Salat yang tidak disukai masyarakat akan tertolak. Nah betul ini sebuah hadis, tetapi ukuran mayoritas ini seperti apa? Bagi saya, tidak ada dalam al-Quran istilah mayoritas dan minoritas. Kita umat Muslim di Indonesia adalah mayoritas, tetapi mayoritas kita hanya sebagai konsumen. Ada sekelompok orang yang di dalam jumlah minoritas, tetapi secara kekuatan ekonomi mereka mayoritas dan sangat dominan.
Siapa pun di antara kita mampu menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat, Khairunnaas anfa’uhum linnaas, itulah yang akan menjadi orang terbaik. Yang paling penting juga untuk kita semua mari memelihara relasi kita antara sebagai masyarakat dan sebagai pemerintah.
Berhubung Pemilihan Umum (Pemilu) ini adalah salah satu persyaratan sebuah negara demokrasi saya menghimbau juga kepada segenap masyarakat mari kita gunakan hak pilih kita. Menurut saya secara agama dari ushul fikih yang saya pahami, Pemilu ini wajib kita ikuti, karena suatu kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih. Maksudnya kita bisa menolak sesuatu yang lebih berbahaya bagi umat masyarakat. Menurut saya pemilu ini sangat penting, oleh karena itu mari kita gunakan hak pilih untuk memilih pemimpin yang terbaik. Insya Allah kita niatkan karena Allah, maka Allah Swt pun akan memaafkan apabila ada kekeliruan di dalamnya.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A, Imam Besar Masjid Istiqlal dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A? Silakan Klik disini
Artikel ini disadur dari video Ruang Tengah Cariustadz. Untuk menonton videonya silakan Klik disini