Bulan Rabi’ul Awal dikenal dengan bulan maulid atau mulud dalam bahasa Jawa, karena pada bulan ini lahir sosok agung yang kehadirannya membawa dampak perubahan yang signifikan terhadap tatanan masyarakat pada waktu itu dan bertahan hingga sekarang. Berbagai macam ekspresi ditampilkan oleh kalangan muslim dalam rangka memperingati bulan kelahiran nabi Muhammad SAW. Ada yang melakukannya dengan memperbanyak shalawat, ada yang melakukan dengan memperbanyak kajian dan adapula yang melakukan dengan menjaga diri dari hal-hal yang menyimpang dari ajaran nabi Muhammad Saw.
Ekspresi cinta kepada nabi tidak dapat dihukumi dengan kacamata hukum positif, karena tidak jarang seorang pecinta mengekspresikan cintanya secara berlebihan di mata orang lain. Sehingga jika diukur dari sudut pandang hukum akan ditemukan penyimpangan-penyimpangan dalam berkespresi. Meskipun begitu, tentu sebagai muslim yang cerdas diharapkan tetap berada dalam koridor hukum yang sesuai dalam mengekspresikan cinta kepada Nabi.
Salah satu ayat yang sering kita dengar ketika peringatan maulid adalah pernyataan bahwa dalam diri Nabi terdapat teladan untuk seluruh prinsip kehidupan. Namun sayangnya, masih sedikit sekali ditemukan adanya kajian sirah nabi yang diuraikan secara utuh. Sehingga, tak jarang bahwa teladan-teladan dari nabi belum tersampaikan kepada masyarakat secara menyeluruh. Ayat tersebut berbunyi:
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.
Menurut Syeikh Mutawalli As-Sya’rawi dalam ceramahnya yang dibukukan menjadi tafsir wa khawatir Imam Mutawalli As-Sya’rawi disebutkan bahwa ada satu diksi dari ayat tersebut yang menarik, bahwa ciri-ciri orang yang bisa menjadikan nabi sebagai teladan ada dua: Pertama, punya iman kepada Allah dan hari akhir. Kedua, senantiasa berdzikir atau mengingat Allah dalam semua tindakannya. Dua ciri ini sangat penting bagi kaum muslimin untuk dimiliki sehingga teladan-teladan dari nabi dapat terekam dan terimplementasikan.
Iman merupakan syarat utama yang berisi keyakinan kepada Allah tanpa ada keraguan sedikitpun. Faktanya, di kalangan masyarakat masih ditemukan kebiasaan-kebiasaan yang mengotori keyakinan murni ini. Misalnya kepercayaan adanya hari naas, adanya keyakinan adanya kekuatan yang bisa mendatangkan mudharat selain dari Allah dan kebiasaan lain yang biasanya dikemas dalam bentuk larangan-larangan. Dilarang kawin pada bulan Muharram, dilarang melanggar pantangan agar usahanya sukses, dan larangan-larangan lain yang mengotori kepasrahan hati kepada Allah.
Kebiasaan yang mengotori kemurnian iman ini dapat menjadi penghalang diri untuk meneladani Nabi. Sebab, teladan yang ada di pikirannya adalah para leluhur beserta budaya masyarakat yang sudah mengakar, sulit sekali menggantikan posisi mereka dengan ketokohan dan keteladanan nabi. Penyebabnya tidak lain karena keteladanan nabi belum tersampaikan, dan iman kepada Allah yang belum sempurna.
Syarat dan ciri kedua adalah senantiasa berdzikir. Ingat kepada Allah ini berkaitan erat dengan keimanan. Orang yang tidak percaya dengan sepenuh hati akan sulit mengingat peran Allah dalam segala hal yang dilakukan. Ingat Allah ini menjadi pintu untuk mengingat nabi. Sebab, segala hal yang berkaitan dengan Allah telah dijelaskan oleh nabi. Dari sinilah sebenarnya seseorang akan istiqamah dalam meneladani nabi.
Dari ayat di atas sebagai refleksi diri di bulan maulid ini. Mari kita tingkatkan keimanan kita dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang tauhid dan amal shalih yang dilandasi keimanan dan dzikir kepada Allah. Dengan iman dan dzikir semoga kita bisa selalu mengingat dan meniru perilaku nabi dalam kehidupan dan aktifitas sehari-hari. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Khoirul Muhtadin, M.Ag., Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini