Dari Iblis ke Umat: Kesombongan dalam Kaca Mata Al-Qur’an

Kesombongan merupakan salah satu penyakit hati paling tua dalam sejarah manusia. Al-Qur’an menyingkap akar mula kesombongan ini ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam. Ia beralasan: “Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia dari tanah” (QS. al-A‘rāf [7]:12). Klaim keunggulan berbasis asal-usul penciptaan inilah yang kemudian diwarisi oleh sebagian manusia, yang menjadikan identitas biologis, status sosial, maupun garis keturunan sebagai standar kemuliaan. Padahal, Al-Qur’an menegaskan bahwa ukuran paling sahih bagi kemuliaan hanyalah ketakwaan (QS. al-Ḥujurāt [49]:13).

Dalam konteks sejarah, klaim keunggulan semu ini tampak pada kaum Yahudi yang merasa diri sebagai ummatan mukhtārah (umat pilihan Tuhan). Kesadaran palsu ini melahirkan jarak dengan kelompok lain, bahkan sering memicu konflik. Fenomena serupa tidak berhenti di masa lalu. Di tengah masyarakat Muslim sendiri, muncul pula kelompok yang menyandarkan kemuliaan pada status tertentu, misalnya keturunan bangsawan, gelar sosial, hingga klaim darah keturunan Rasulullah. Gelar-gelar seperti Gus atau Ning dalam tradisi Jawa, atau bahkan gelar kehormatan berbasis nasab di tempat lain, kerap menjadi simbol kelas sosial yang dianggap otomatis lebih mulia tanpa memperhatikan kualitas taqwa.

Al-Qur’an melalui kisah Iblis mengingatkan bahwa setiap bentuk klaim keunggulan berbasis identitas selain ketakwaan hanyalah pengulangan dosa lama. Kesombongan Iblis tidak hanya menjerumuskan dirinya sendiri, tetapi juga menjadi prototipe bagi perilaku diskriminatif manusia sepanjang sejarah. Maka, ketika sebagian orang merasa lebih tinggi karena status sosial, kultural, atau keturunan, sesungguhnya mereka sedang menghidupkan kembali warisan kesombongan Iblis yang ditolak tegas oleh Al-Qur’an.

Fenomena sosial ini semakin relevan di era modern. Politik identitas, eksklusivitas sosial, hingga fanatisme kelompok sering berakar pada pandangan bahwa “kami lebih baik” karena faktor primordial tertentu. Padahal, realitas Qur’ani menekankan bahwa kemuliaan itu dinamis dan dapat diraih siapa saja yang berusaha meningkatkan kualitas taqwanya. Pengetahuan, amal, dan kontribusi sosial yang berlandaskan iman jauh lebih menentukan dibandingkan sekadar garis keturunan atau gelar kebangsawanan.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk meneguhkan kembali paradigma Qur’ani tentang kemuliaan. Menjadikan ketakwaan sebagai standar utama bukan hanya bentuk ketaatan kepada Allah, melainkan juga solusi preventif atas konflik sosial yang bersumber dari kesombongan identitas. Kesadaran ini akan menumbuhkan kesetaraan, ukhuwah, dan penghargaan pada kualitas pribadi, bukan pada atribut yang diwarisi. Dengan demikian, umat Islam dapat terhindar dari jebakan historis yang pernah menjerumuskan Iblis, sekaligus membangun peradaban yang lebih adil, inklusif, dan berorientasi pada nilai-nilai ilahi.

Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini