Menguji Ketulusan Dakwah di Era Digital: Antara Ilmu, Adab, dan Popularitas

Fenomena pendakwah publik di era digital kini menghadirkan paradoks. Banyak figur bergelar “ustaz” atau “gus” memiliki jamaah yang besar dan pengaruh luas di media sosial, namun isi dakwah mereka sering kali dinilai jauh dari substansi ajaran Islam. Lebih mengkhawatirkan lagi, sebagian di antara mereka enggan menerima nasihat dari gurunya, takut kehilangan pamor dan pengikut. Popularitas dijadikan ukuran kebenaran, bukan lagi keilmuan dan akhlak. Padahal, dalam tradisi Islam, kemuliaan seorang dai tidak diukur dari seberapa banyak yang mendengarkan, melainkan seberapa tulus ia menyampaikan kebenaran.

Dakwah di era digital membawa peluang sekaligus ujian. Media sosial membuka akses luas bagi siapapun untuk menyebarkan nilai-nilai Islam, namun juga melahirkan godaan besar berupa ketenaran dan pujian. Ketika “likes” dan “followers” menjadi tolok ukur keberhasilan, dakwah rentan berubah menjadi konten hiburan. Tantangan bagi pendakwah bukan hanya bagaimana menjangkau umat, tetapi juga bagaimana menjaga niat dan keikhlasan di tengah sorotan publik. Seorang dai sejati harus menyadari bahwa popularitas adalah ujian berat, bukan tanda keberkahan. Tanpa keikhlasan, dakwah kehilangan ruhnya.

Dalam Islam, adab adalah fondasi utama dakwah. Seorang dai harus menjadi teladan dalam tutur, perilaku, dan kerendahan hati. Rasulullah Saw bersabda, “Innamā bu‘itstu li utammima makarim al-akhlaq” — “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Ahmad). Para ulama juga menegaskan bahwa adab lebih tinggi dari ilmu. KH. Hasyim Asy‘ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim menulis, “Barang siapa tidak beradab, maka ilmunya tidak akan bermanfaat.” Maka, dakwah tanpa adab hanya akan melahirkan kebanggaan diri, bukan ketundukan kepada Allah.

Selain adab, ilmu menjadi penopang utama dakwah yang benar. Banyak pendakwah viral hari ini hanya bermodal retorika dan karisma, bukan kedalaman pemahaman agama. Padahal Allah menegaskan, “Katakanlah, inilah jalanku; aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu yang nyata” (QS. Yusuf: 108). Ilmu adalah cahaya yang menuntun dai agar tidak tersesat dalam emosi dan opini. Dakwah tanpa landasan ilmu bagaikan bangunan tanpa pondasi—rapuh dan mudah runtuh oleh kritik, bahkan bisa menyesatkan jamaah.

Ilmu yang bermanfaat (‘ilm nāfi‘) bukan diukur dari banyaknya pengikut, tetapi dari dampaknya terhadap hati dan perilaku. Rasulullah Saw berdoa, “Ya Allah, aku berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat” (HR. Muslim). Imam al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah, bukan yang melahirkan kebanggaan diri. Banyak orang berilmu namun tidak beradab, sehingga dakwahnya kehilangan keberkahan. Ukuran keberhasilan dakwah bukan seberapa ramai majelisnya, tetapi seberapa dalam perubahan yang lahir dalam jiwa pendengarnya.

Pada akhirnya, keberhasilan dakwah di era digital bukan ditentukan oleh algoritma media sosial, tetapi oleh ketulusan hati para da’inya. Ilmu tanpa adab melahirkan kesombongan, sementara adab tanpa ilmu menjerumuskan pada kebodohan. Keduanya harus berjalan seiring sebagai penuntun jalan dakwah yang lurus. Popularitas boleh datang, tetapi tidak boleh mengubah niat. Seorang pendakwah sejati tidak takut kehilangan pengikut, karena tujuannya bukan untuk dicintai manusia, melainkan untuk diridhai Allah. Hanya dengan ilmu, adab, dan keikhlasan, dakwah akan kembali menemukan kemuliaannya.

Khoirul Muhtadin, M.Ag.,  Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini