Dunia Islam berduka atas wafatnya Prof. Dr. Zaghloul Raghib Al-Najjar, seorang geolog, cendekiawan, dan mufasir kontemporer yang mendedikasikan hidupnya untuk menjembatani sains dan wahyu Ilahi. Ia wafat pada 9 November 2025 di Yordania pada usia 92 tahun, meninggalkan warisan intelektual yang melampaui batas disiplin ilmu. Lahir di Mesir pada 17 November 1933, Al-Najjar pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Al-Ahgaff di Yaman dan aktif di berbagai lembaga ilmiah internasional. Sosoknya dikenal karena kepiawaian menghubungkan pengetahuan geologi dengan tafsir ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an.
Sebagai ahli geologi, Al-Najjar membaca bumi bukan sekadar benda mati, tetapi sebagai kitab terbuka yang menyingkap tanda-tanda kebesaran Allah. Ia menulis Tafsir Ayat-Ayat Kauniyah secara tertib mushafi, yaitu mengikuti urutan ayat dalam Al-Qur’an, dengan fokus pada ayat-ayat yang berbicara tentang fenomena alam — seperti penciptaan bumi, lapisan atmosfer, air, dan kehidupan.
Melalui karya ini, ia menegaskan bahwa Al-Qur’an bukan kitab sains, melainkan kitab signs (tanda-tanda). Artinya, Al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk menjelaskan teori ilmiah secara rinci, tetapi untuk mengundang manusia berpikir dan menemukan kebesaran Allah melalui hukum-hukum alam. Setiap ayat kauniyah adalah isyarat agar manusia meneliti, bukan dalil ilmiah yang perlu “dipaksakan” untuk cocok dengan teori tertentu.
Dengan cara itu, Al-Najjar menempatkan dirinya di jalur tafsir ilmiah yang seimbang — tidak menolak sains, tetapi juga tidak menundukkan makna wahyu pada teori yang bersifat sementara.
Hubungan antara sains dan agama merupakan tema klasik yang kembali hidup melalui pemikiran Al-Najjar. Dalam filsafat ilmu, Ian Barbour menyebut ada empat pola relasi antara sains dan agama: konflik, independensi, dialog, integrasi, dan sebagian menambahkan sinergi. Zaghloul Al-Najjar jelas berada dalam posisi integratif. Ia melihat keduanya bukan sebagai dua kutub yang bertentangan, tetapi dua cara membaca dua “kitab” Allah: kitab wahyu (Al-Qur’an) dan kitab alam (kaun).
Bagi Al-Najjar, sains berperan menjelaskan bagaimana alam bekerja, sedangkan wahyu menjawab mengapa ia bekerja demikian. Dalam kerangka ini, penelitian ilmiah menjadi sarana ibadah, karena setiap penemuan di laboratorium sejatinya adalah bentuk “membaca ayat Allah” dalam realitas empiris.
Pemikiran Al-Najjar kerap menimbulkan kontroversi di kalangan akademik. Sebagian menganggapnya terlalu bersemangat dalam “mencocokkan” ayat dengan teori ilmiah (yang sering dijuluki cocoklogi), sementara sebagian lain menilai pendekatannya sebagai jembatan penting antara ilmu dan iman. Namun, ia selalu menegaskan bahwa wahyu adalah sumber epistemologi tertinggi dalam Islam, dan tafsir ilmiah tidak boleh menggantikan makna tekstual atau spiritual Al-Qur’an.
Pandangan ini menempatkannya berbeda dari ilmuwan Muslim kontemporer seperti Nidhal Guessoum, yang memilih menjadikan sains sebagai dasar pembacaan kritis terhadap tafsir Al-Qur’an, bahkan dengan mengambil jarak dari otoritas wahyu. Sementara Al-Najjar tetap berhati-hati, ia membuka diri terhadap temuan sains, namun menjadikannya sebagai sarana penguatan iman, bukan pengganti wahyu.
Sebagai contoh, dalam menafsirkan ayat tentang gunung sebagai pasak bumi (QS. An-Naba’: 6–7), Al-Najjar menjelaskan konsep geologis tentang struktur pegunungan dan lempeng tektonik. Menurutnya, ayat itu bukan penjelasan ilmiah murni, tetapi tanda kebesaran Allah yang menciptakan sistem bumi dengan keseimbangan luar biasa — sebuah fenomena yang baru dipahami manusia modern lewat ilmu geologi.
Begitu pula ketika menafsirkan QS. Al-Anbiya’: 30, “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup,” ia menautkan ayat tersebut dengan fakta biologis bahwa seluruh organisme tersusun dari sel-sel yang mayoritas mengandung air. Namun, Al-Najjar tidak mengklaim bahwa Al-Qur’an telah “mendahului” sains, melainkan bahwa wahyu memberi arah agar manusia meneliti dengan penuh kesadaran spiritual.
Karya dan pemikiran Al-Najjar tersebar dalam puluhan buku dan ratusan artikel ilmiah. Namun, lebih dari sekadar teks akademik, warisan terbesarnya adalah spirit integratif: mengajak umat Islam meneliti alam tanpa kehilangan kesadaran ketuhanan. Ia memadukan akal observatif dan iman reflektif — suatu sintesis yang jarang dijumpai di era sains modern yang cenderung sekuler.
Sebagai rektor, ilmuwan, dan dai, Al-Najjar menegaskan bahwa sains harus berfungsi sebagai jalan menuju makrifat, bukan sekadar alat eksploitasi alam. Dalam setiap lapisan bumi yang ia teliti, ia melihat ayat; dalam setiap hukum fisika, ia menemukan bukti keteraturan Ilahi.
Kini, setelah kepergiannya di usia panjang yang penuh pengabdian, Zaghloul Raghib Al-Najjar meninggalkan pesan abadi, bahwa ilmu dan iman adalah dua cahaya yang menerangi jalan yang sama. Sains tanpa wahyu akan kehilangan arah moral, sementara agama tanpa sains akan kehilangan relevansi sosial.
Al-Qur’an, baginya, bukan kitab teori ilmiah, tetapi kitab tanda — kitab “sign”, bukan “science”. Di balik setiap ayat tentang langit, bumi, dan kehidupan, ada panggilan bagi manusia untuk berpikir, meneliti, dan akhirnya beriman.
Warisan Al-Najjar adalah warisan kesadaran, bahwa memahami alam semesta adalah bentuk zikir yang paling rasional, dan bahwa membaca ayat-ayat Allah — di mushaf maupun di jagat raya — adalah dua sisi dari satu ibadah yang sama.
Khoirul Muhtadin, M.Ag., Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini