Meluruskan Paham Poligami dengan Dalih Sunah

Tulisan ini mengajak Anda menyelami konsep poligami dengan pendekatan ilmu tarikh (sejarah), ushul fiqh, dan tafsir. Selama ini, kita sering mendengar bahwa menikah lebih dari satu dianggap sebagai sunnah Nabi Muhammad, dengan berlandaskan surat An-Nisa’ ayat 3 dan af’alun nabi (perbuatan Nabi) sebagai dalil utama untuk mendukung praktik poligami.

Dalam surat An-Nisa’ ayat 3, disebutkan:

…فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ…

“… Dan menikahlah dengan wanita yang kamu inginkan dua, tiga, atau empat …”

Namun, apakah benar ayat ini menjadi anjuran untuk menikah lebih dari satu? Mari kita kaji lebih dalam.

Ayat An-Nisa’ Ayat 3: Batasan, Bukan Anjuran

Surat An-Nisa’ ayat 3 sering dianggap sebagai dorongan untuk menikah lebih dari satu. Namun, jika kita merujuk kepada tafsir Ibnu Katsir, ayat ini sebenarnya justru bertujuan untuk membatasi jumlah istri. Pada masa jahiliyah, masyarakat Arab sering memiliki banyak istri tanpa batasan. Ketika mereka masuk Islam, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk menyisakan hanya empat istri saja. Ini tampak dalam riwayat tentang Ghoilan bin Salamah, yang memiliki sepuluh istri sebelum masuk Islam. Setelah ia masuk Islam, Nabi memintanya untuk menceraikan sebagian dan menyisakan hanya empat.

Makna Perintah “Fankihu” dalam Ayat

Dalam ushul fiqh, tidak semua perintah (fi’il amr) dalam Al-Qur’an menunjukkan kewajiban atau anjuran. Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya, At-Tahrir wa At-Tanwir, menjelaskan bahwa perintah “fankihu” (menikahlah) dalam ayat ini bukan untuk menganjurkan poligami, melainkan sebagai peringatan agar berhati-hati dan lebih memilih menikah dengan satu istri saja jika tidak mampu berlaku adil. Ini didasarkan pada kondisi kekhawatiran akan ketidakadilan yang disebutkan dalam ayat tersebut.

Af’alun Nabi: Khusus untuk Rasulullah

Selain dalil dari Al-Qur’an, banyak yang menggunakan af’alun nabi sebagai dasar pembenaran poligami. Memang benar, Nabi Muhammad SAW memiliki sebelas istri, tetapi ulama sepakat bahwa ini adalah khosoisun nabi—privilege khusus yang hanya diberikan kepada Nabi dan bukan untuk umatnya secara umum.

Nabi menikahi istri-istrinya bukan karena dorongan nafsu, melainkan karena perintah Allah. Salah satu contohnya adalah pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy, yang disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 37. Pernikahan ini memiliki tujuan khusus untuk membatalkan tradisi adopsi (tabanni) yang saat itu berlaku di kalangan masyarakat Arab.

Pernikahan Nabi: Bentuk Ibadah dan Hikmah Sosial

Sebagai contoh lainnya, Nabi menikahi Aisyah berdasarkan wahyu, setelah beliau bermimpi bertemu Aisyah dua kali. Pernikahan ini memiliki hikmah besar dalam pengembangan ilmu, khususnya dalam bidang hadis, karena Aisyah menjadi salah satu perawi hadis yang banyak meriwayatkan perbuatan Nabi di dalam rumah tangga. Begitu juga pernikahan Nabi dengan Saudah, seorang wanita tua yang dinikahi Nabi setelah kematian Khadijah, bukan karena nafsu tetapi untuk memberikan perlindungan.

Pernikahan-pemikahan lainnya, seperti dengan Juwairiyah, Hafsah, dan Ummu Habibah, memiliki dimensi sosial dan politik yang kuat, seperti menjalin perdamaian dengan suku-suku yang sebelumnya bermusuhan dengan kaum Muslimin.

Monogami: Pilihan Awal Nabi Muhammad SAW

Yang perlu kita ingat, Nabi Muhammad SAW menjalani kehidupan monogami selama 25 tahun pernikahannya dengan Khadijah. Hanya setelah Khadijah wafat, Nabi melakukan poligami selama 13 tahun sisa hidupnya. Ini menunjukkan bahwa monogami adalah pilihan hidup Nabi lebih lama dibandingkan masa poligaminya.

Kesimpulan

Dari kajian ini, kita memahami bahwa poligami dalam Islam bukanlah anjuran mutlak, melainkan lebih sebagai solusi dalam kondisi tertentu dengan syarat berlaku adil. Ayat An-Nisa’ ayat 3 tidak dimaksudkan untuk mendorong poligami secara umum, melainkan memberikan batasan kepada mereka yang sudah memiliki banyak istri.

Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan umatnya untuk berpoligami tanpa alasan yang jelas. Bahkan, beliau mengingatkan tentang pentingnya berlaku adil dan bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan tersebut. Poligami dalam Islam adalah tanggung jawab besar yang harus dipertimbangkan dengan matang, bukan sekadar keinginan pribadi.

Ust. Malik Al Soleh, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Ust. Malik Al Soleh? Silahkan klik disini