Lian, Zhihar, dan Ila: Aturan Islam untuk Melindungi Perempuan dari Kezaliman

Islam adalah agama yang menaruh perhatian besar bagi seluruh umatnya, tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Dalam sejarah masyarakat Arab pra-Islam (jahiliah), perempuan kerap menjadi korban ucapan, sumpah, dan tradisi yang mengekang haknya.

Ada perempuan (istri) yang dituduh berzina tanpa bukti. Pada kasus lain, seorang istri disamakan dengan ibu kandung sehingga terlarang untuk disentuh tetapi juga tidak diceraikan. Sering juga seorang istri dibiarkan tergantung tanpa kepastian.

Islam kemudian hadir memutus rantai kezaliman terhadap perempuan dalam kasus-kasus di atas. Melalui tiga aturan khusus –  li’ān, zhihār, dan īlā` – Islam menata ulang hubungan rumah tangga agar perempuan tidak direndahkan, digantung statusnya, dan tidak difitnah tanpa dasar. Peraturan ini mengandung makna yang besar: menjaga kehormatan dan kepastian hidup perempuan (istri).

Li’ān: Melindungi Perempuan dari Tuduhan Sepihak

Secara bahasa, li’ān merupakan mashdar dari kata lā’ana (saling melaknat). Kata ini berasal dari kata la’ana yang berarti jauh dari kebaikan/kasih sayang (al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jil. 35, hlm. 246).

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia (Kemenag, 2018) Pasal 126 dijelaskan bahwa li’ān terjadi karena suami menuduh istrinya berzina dan atau mengingkari anak yang ada, baik yang masih dalam kandungan mau pun yang telah lahir. Sedangkan istri menolak tuduhan tersebut. 

Tata cara li’ān dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Nur ayat 6-9, yang mekanismenya adalah: 

  • Seorang suami bersumpah empat kali bahwa ia berkata benar dengan tuduhan zina atau pun pengingkaran anak istrinya;
  • Suami melanjutkan dengan sumpah kelima, yaitu sumpah yang meminta laknat Allah jika ia berdusta;
  • Istri membela diri dengan bersumpah empat kali bahwa apa yang dituduhkan atau diingkari suaminya tidak benar;
  • Istri melanjutkan dengan sumpah kelima, yaitu sumpah yang meminta laknat Allah jika dia berdusta. 

Adanya ketentuan li’ān dengan proses yang telah dijelaskan di atas menunjukkan betapa Islam menjaga kehormatan perempuan. Tanpa adanya aturan li’ān, seorang istri bisa dengan mudah dicoreng nama baiknya hanya oleh ucapan suami. Dengan li’ān, tuduhan tidak dapat sembarangan. Ia memiliki konsekuensi serius: pernikahan berakhir, anak tidak bernasab ayah, dan keduanya tidak dapat rujuk. 

Di Indonesia, tuduhan zina temasuk tindak pidana yang membutuhkan bukti kuat. Karenanya pemerintah mengakomodasi li’ān dalam KHI, di mana proses li’ān hanya dapat dilakukan di persidangan. Dengan demikian, perempuan memiliki jaminan hak dalam hukum untuk membela kehormatan dirinya.   

Zhihār: Menghapus Tradisi Ucapan yang Merendahkan

Di masa jahiliah, suami yang emosi kepada istrinya bisa dengan mudah berkata, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.” Ucapan ini bermakna bahwa istri tidak boleh digauli (berhubungan seksual) lagi, tetapi statusnya juga tidak bercerai. Perempuan terjebak dalam status yang tidak pasti: bukan istri, bukan pula mantan istri.

Islam hadir menolak praktik yang merendahkan ini. Dalam al-Qur’an surah al-Mujadalah ayat 2-4, Allah menegaskan bahwa zhihār adalah perkataan munkar dan dusta. Suami yang melakukan zhihār diwajibkan untuk membayar kafarat (denda/sanksi) sebelum boleh menggauli istrinya kembali. 

Ada tiga kafarat dalam kasus zhihār. Pertama adalah memerdekakan seorang budak. Apabila tidak menemukan budak untuk dimerdekakan, maka ia dapat mengganti dengan kafarat kedua, yaitu berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, dia bisa mengganti dengan kafarat terakhir, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.

Kafarat ini bukanlah pilihan, tetapi urutan. Artinya, seorang yang melakukan kafarat zhihār tidak dapat langsung pada sanksi ketiga (memberi makan orang miskin), sebelum mencoba sanksi pertama dan kedua. 

Zhihār mengajarkan bahwa kata-kata suami tidak boleh merendahkan kehormatan seorang istri. Bila ucapan merendahkan itu terlanjut diucapkan, ada harga yang harus dibayar. Meski di Indonesia jarang terjadi kasus zhihār, namun semangat menjaga kehormatannya tetap dapat diambil sebagai pelajaran – bahwa Islam melarang segala kekerasan, termasuk kekerasan verbal atau psikis dengan ucapan, kepada perempuan. 

Īlā`: Memberi Kepastian, Tidak Menggantung

Faqihuddin Abdul Kodir dalam Fiqh al-Usrah (hlm. 220) menjelaskan bahwa īadalah sumpah seorang suami untuk tidak menggauli istrinya selama empat bulan ke atas, atau secara mutlak dan berlaku sepanjang tahun. 

Di masyarakat Arab jahiliah, īdapat berlangsung selama bertahun-tahun. Hal ini mengakibatkan status seorang istri yang masih istri (karena tidak diceraikan) tetapi tidak mendapatkan haknya sebagai seorang pasangan. Ia terkatung-katung dalam status pernikahan yang tidak jelas. 

Islam melalui al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 226-227 membatasi praktik ini dengan tegas. Islam memberikan batas waktu maksimal empat bulan bagi seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya. Setelah berlalu empat bulan, ia harus memilih: kembali pada istrinya atau menceraikannya – tidak boleh membiarkan perempuan hidup dalam ketidakpastian status. 

Dalam praktik hukum pernikahan di Indonesia, prinsip ītercermin dalam shigāt ta’līq – perjanjian tertulis yang ditandatangi suami setelah akad, berisi janji talak yang dapat jatuh jika suami melakukan kondisi-kondisi tertentu. Seorang istri dapat mengajukan cerai ke Pengadilan Agama apabila ia ditelantarkan atau tidak diberi nafkah, baik lahir mau pun batin. 

Konsep īyang diatur dan dibatasi oleh syariat agama berjalan beriringan dengan hukum positif di Indonesia yang memberikan jalan keluar bagi perempuan dari kondisi yang menggantung.

Dengan demikian, ketiga konsep (li’ān, zhihār, dan ī) yang telah dijelaskan di atas sama-sama berfungsi untuk melindungi martabat seorang perempuan dalam pernikahan. Ketiga konsep tersebut menjaga perempuan dari tiga kezhaliman: tuduhan tanpa bukti, ucapan yang merendahkan, dan ketidakpastian status rumah tangga.

Pemerintah Indonesia sendiri telah memberikan aturan-aturan yang demikian ketat terkait dengan urusan rumah tangga (dimulai dari pernikahan hingga perceraian), di mana keadilan sebagai salah satu landasannya, sehingga tidak muncul kezaliman bagi salah satu pihak – utamanya perempuan yang sering menjadi korban sosial-budaya di sepanjang sejarah umat manusia.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini