Dalam konteks relasi antar manusia, Islam telah mengajarkan berbagai rambu-rambu yang harus diikuti, mulai dari murah senyum, berbuat baik, hingga saling tolong menolong. Di samping itu, Islam juga melarang pemeluknya untuk melakukan sesuatu yang dapat mengganggu keharmonisan masyarakat seperti larangan saling mencela.
Jika ditelusuri secara saksama, maka larangan saling mencela dapat ditemukan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad Saw. Semua larangan tersebut bertujuan agar manusia saling menghormati dan tidak merendahkan satu sama lain. Salah satu ayat yang berbicara mengenai larangan saling mencela adalah surah al-Hujurat ayat 11 yang berbunyi:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Hujurat ayat 11).
Secara umum, surah al-Hujurat ayat 11 melarang manusia untuk saling mencela apa pun alasannya. Larangan ini tidak hanya berlaku pada kaum laki-laki, melainkan juga pada kaum perempuan. Kemudian, ayat tersebut juga melarang manusia menggunakan panggilan-panggilan yang buruk (tidak baik) karena itu kebiasaan orang-orang jahiliah (tidak beradab).
Ibnu Katsir mengatakan surah al-Hujurat ayat 11 berisi larangan Allah Swt. kepada manusia untuk mencela manusia. Celaan di sini maksudnya adalah dengan merendahkan atau meremehkan orang lain. Allah Swt. melarang mencela orang lain bukan hanya karena mencela merupakan perbuatan tercela, melainkan juga di dalamnya terdapat rasa sombong atau angkuh (Tafsir Ibnu Katsir [7]: 376).
Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, “kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” Dengan demikian – berdasarkan sabda Nabi tersebut – seseorang yang mencela orang lain, maka ia telah melakukan dua perbuatan tercela, yakni merendahkan atau menghinakan orang lain dan merasa sombong atau tinggi hati. Dua perbuatan tersebut sangat dilarang dalam ajaran Islam.
Kemudian, Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa surah al-Hujurat ayat 11 turut melarang manusia saling memanggil dengan panggilan yang buruk. Maksudnya, seseorang tidak boleh memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk (tidak pantas). Panggilan yang buruk di sini maknanya adalah panggilan yang tidak menyenangkan untuk didengar (Tafsir Ibnu Katsir [7]: 376).
Jangankan memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, Islam sebenarnya juga melarang panggilan atau perkataan buruk bagi diri sendiri. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah kalian berdoa yang tidak baik terhadap dirimu sendiri, janganlah kalian berdoa yang tidak baik terhadap anak-anak mu, janganlah kalian berdoa yang tidak baik terhadap pelayanmu…….” (HR. Abu Dawud dan Muslim).
Ali al-Shabuni menuturkan surah al-Hujurat ayat 11 bermakna, “wahai seluruh kaum muslimin, janganlah suatu kelompok mengolok-olok dengan kelompok yang lain, janganlah seseorang mengolok-olok orang lain, karena bisa jadi orang yang diolok-olok jauh lebih baik di sisi Allah daripada orang yang mengolok-olok. Larangan ini juga berlaku pada kaum perempuan (Shafwat al-Tafasir [3]: 218).
Berkenaan dengan perbuatan saling menghina, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai, selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas (membalas secara berlebihan) (HR. Muslim dan Abud Daud).
Penting untuk diketahui, penekanan hadis di atas bukanlah pada persoalan siapa yang memulai mencaci-maki, melainkan peringatan keras agar perbuatan mencela tidak dilakukan sejak awal. Artinya, hadis ini sebenarnya memerintahkan umat Islam agar tidak melakukan perbuatan caci-maki, karena itu merupakan sikap tercela dan berdosa.
Di sisi lain – secara implisit – hadis di atas mengarahkan orang yang dizalimi akibat cacian untuk berjiwa besar dengan tidak membalas cacian lebih jauh lagi dan menyikapinya secara proporsional. Melalui tindakan ini, cacian dan makian akan berhenti seiring waktu dan tidak menimbulkan dampak yang jauh lebih besar bagi kedua belah pihak.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Islam melarang keras sikap saling mengolok dan saling mencela, karena itu merupakan sikap tercela. Kemudian, jika sudah terlanjur terjadi perbuatan caci-maki atau celaan, maka sebaiknya itu disikapi dengan bijaksana dan segera dihentikan. Hal ini harus dilakukan agar kebencian tidak menyebar dan masyarakat tetap rukun serta damai. Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini