Kanaah secara bahasa berasal dari kata qani’a-yaqna’u-qunu‘an-qana’atan yang bermakna rida, rela, dan merasa cukup. Jika seseorang dikatakan kanaah, maka artinya ia rida terhadap apa yang dimiliki atau didapatkan dan hatinya merasa lapang. Sedangkan kanaah secara istilah adalah merasa rida atas apa yang telah dikaruniakan Allah Swt. (Masyariq al-Anwar [2]: 187).
Sikap kanaah merupakan salah sifat terpuji (sifat mahmudah) yang diajarkan oleh agama Islam kepada pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan. Ada berapa ayat Al-Qur’an dan matan hadis yang berbicara mengenai kanaah secara eksplisit maupun implisit. Di antara dalil yang berbicara mengenai anjuran sikap kanaah adalah hadis Nabi Saw. dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Artinya: “Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rezeki yang cukup, dan kanaah (merasa cukup) dengan rezeki tersebut.” (HR. Ibnu Majah)
Secara umum, hadis di atas menyatakan bahwa di antara wujud keberuntungan seseorang adalah mendapatkan hidayah (petunjuk) Allah kepada Islam, mendapatkan rezeki yang cukup, dan memiliki sikap kanaah atau merasa cukup terhadap rezeki yang didapatkan tersebut. Dengan kata lain, orang yang memiliki sikap kanaah dapat disebut sebagai orang yang beruntung.
Alasan utama orang yang memiliki sifat kanaah disebut sebagai sosok yang beruntung adalah karena ia terhindar dari sikap tamak dan tidak bersyukur. Dua sikap tersebut sangat berbahaya karena terkadang menghantarkan pelakunya pada kekufuran. Selain itu, kehadiran sikap kanaah juga menjadi penyebab kedamaian dan kerelaan hati seseorang walaupun ditimpa kesulitan (Bahjah Qulub al-Abrar).
Dengan kata lain, kanaah merupakan lawan dari kufur nikmat. Kufur nikmat adalah sebuah sikap merasa tidak puasa dengan nikmat yang telah diberikan oleh Allah dan selalu merasa kurang atau bahkan menyepelekannya. Sedangkan kanaah adalah sebuah sikap merasa cukup atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah dan ikhlas dengan sepenuh hati (Tafsir al-Azhar [5]: 311).
Muhammad bin Ali al-Tirmidzi mengatakan, sikap kanaah adalah kepuasan jiwa atau hati atas rezeki yang diberikan kepadanya dari Allah Swt. Sikap ini ditandai dengan kerelaan terhadap setiap bagian yang diberikan kepadanya dan tidak mengharapkan sesuatu yang memang bukan untuknya. Orang yang kanaah tidak hanya rela menerima setiap bagian rezekinya, melainkan juga bersyukur atas rezeki tersebut.
Kanaah Adalah Kunci Bahagia
Penting untuk diketahui, sikap kanaah memiliki banyak manfaat. Salah satunya adalah mampu membebaskan pelakunya dari cengkeraman kecemasan dan memberikan kenyamanan secara psikologi ketika bergaul dengan individu lain (masyarakat). Jika seseorang mampu melepaskan diri dari rasa cemas, takut, dan tamak, maka ia akan bahagia.
Dzunnun al-Mishri pernah mengatakan, barang siapa yang memiliki sikap kanaah dalam dirinya, maka ia akan bisa merasa nyaman berada di tengah-tengah manusia sezamannya dan akan disegani oleh orang-orang sekitarnya. Hal ini disebabkan karena orang yang kanaah fokus pada nikmat yang ada pada dirinya sendiri, bukan nikmat yang ada pada orang lain (Tasawuf Islam dan Akhlak).
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa sikap kanaah dapat dilihat melalui tiga indikasi, yakni 1) menerima dengan apa adanya sesuatu yang diberikan kepadanya; 2) memutuskan pengharapan terhadap sesuatu yang berada pada tangan orang lain (bukan haknya); 3) tidak rakus dalam mencari harta benda duniawi. Kombinasi ini semua adalah yang dimaksud dengan sikap kanaah.
Namun perlu ditegaskan, kanaah bukanlah sikap pasrah atau berdiam diri terhadap keadaan. Sikap semacam ini jauh dari sikap kanaah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw beserta sahabatnya. Pemahaman sikap kanaah sebagai diam atau pasrah dengan keadaan adalah kekeliruan, karena itu menghantarkan pada sikap fatalisme yang dilarang.
Khalil A, Khavaru dalam bukunya The Art of Happiness mengatakan bahwa sikap kanaah bukanlah sikap pasif dan tidak sama dengan sikap pasrah dengan keadaan. Kanaah dihasilkan dari integrasi antara keyakinan hati terhadap ketentuan Allah terkait rezeki, usaha dalam menggapainya melalui ikhtiar sebagai seorang hamba, dan rasa syukur atas hasil yang diterima sebagai rezeki ilahi.
Karena alasan itulah, Buya Hamka menegaskan sikap kanaah adalah menerima rezeki apa adanya dengan tetap bekerja keras dan bukan bermalas-malasan. Kanaah merupakan sikap hati dan tidak dinilai dengan sedikitnya harta yang dimiliki seseorang. Artinya, orang yang kanaah boleh memiliki banyak harta selama hatinya tidak menganggap harta sebagai segalanya.
Sikap kanaah semacam ini telah dicontohkan oleh Nabi Saw beserta sahabatnya. Nabi Saw dan sahabat dahulu merupakan orang kaya dan memiliki kedudukan, namun mereka tetap disebut sebagai orang yang kanaah. Ini menunjukkan bahwa kanaah adalah sikap hati, dan tidak merujuk pada sedikit atau banyaknya harta seseorang.
Dengan demikian, kanaah dapat dipahami sebagai kesederhanaan dan rasa cukup terhadap nikmat yang dimiliki, banyak ataupun sedikit. Melalui sikap ini, seseorang akan terlepas dari berbagai kecemasan, cinta dunia, dan iri terhadap nikmat yang diterima orang lain. Hasilnya, seseorang akan fokus pada dirinya dan nikmat yang ada padanya sehingga dapat meraih kebahagiaan hati. Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini