Fatherless dalam Perspektif Surah Luqman

Keterlibatan kedua orangtua dalam pengasuhan ialah pondasi mendasar bagi tumbuh kembang fisik-psikis seorang anak. Hal ini penting karena anak tidak hanya membutuhkan dukungan finansial untuk kebutuhan pakaian, makanan, tempat tinggal dan biaya sekolah. Mereka juga membutuhkan keterlibatan kedua orangtua dalam pengasuhan. Namun melihat dan membaca rilis berita akhir-akhir ini sungguh memprihatinkan; Indonesia masuk negara peringkat ketiga fatherless– absensinya seorang ayah dalam pengasuhan.

Para pakar dan psikolog turut memberikan tanggapan mengenai fenomena fatherless ini. Absennya seorang ayah dalam pengasuhan terjadi salah satunya karena budaya patriarki yang telah mengakar kuat di Indonesia. Penempatan posisi ayah (di ruang publik) dan ibu (di ranah domestik) yang masih belum dipahami secara komprehensif turut melemahkan posisi keduanya. Selain budaya patriarki, keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan masih dianggap tabu bagi sebagian besar masyarakat. Padahal, ayah dan ibu memiliki peranan masing-masing dalam pengasuhan. Jika ibu mengajarkan tentang pendewasaan emosi, empati, dan nilai-nilai kasih sayang, maka ayah dapat mengajarkan tentang logika, keberanian, dan kemandirian. Sisi feminin dan maskulin ini dapat membentuk anak menjadi pribadi yang ‘utuh’.

Sejenak kita cermati nash-nash al-Quran, maka kita temukan beberapa peristiwa yang terekam dengan begitu sempurna tentang hubungan dialogis nan harmonis antara seorang ayah yang shalih dengan anaknya. Peristiwa ini terekam dalam Qs. Luqman/31: 12-19. Ayat ini dimulai dengan nasihat Allah pada Luqman tentang pentingnya bersyukur, “Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (Qs. Luqman/31: 12)

Setelah menekankan pentingnya sifat syukur, Luqman menasihati anaknya dengan nasihat yang sungguh berharga, pertama, perintah untuk memurnikan keesaan Allah (tauhid), Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.”

Syaikh Wahbah Az-Zuhayli dalam tafsirnya menguraikan bahwa perintah tauhid adalah seutama-utamanya perintah yang harus diajarkan, ditanamkan orangtua (wabil khusus) ayah pada anaknya sebelum ilmu-ilmu lain. Melalui tauhid yang benar, seorang anak mengetahui darimana ia berasal, apa tanggungjawabnya sebagai seorang hamba, bagaimana ia harus berlaku sebagai seorang hamba, termasuk kewajiban memuliakan kedua orangtua yang akan disebutkan pada ayat berikutnya. Sehingga, keliru jika ada yang mengatakan bahwa ibulah satu-satunya yang harus mengajarkan ilmu pada anaknya sementara, al-Quran justeru memberi teladan melalui nasihat Luqman.

Setelah menanamkan pondasi tauhid, nasihat kedua yang diajarkan Luqman dan bisa diteladani oleh seluruh orangtua adalah pentingnya menjaga adab dan budipekerti pada kedua orangtua. “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” Tugas-tugas reproduksi perempuan, Allah teguhkan dalam ayat tersebut melalui lafadz wahnan ‘alaa wahnin yang beramakna kepayahan demi kepayahan yang dialami seorang ibu saat mengandung. Karena berat dan panjangnya masa reproduksi itulah, seorang anak diminta untuk berlaku ihsan baik pada ayahnya, terlebih ibunya. Di ujung ayat, Luqman juga menasihati untuk senantiasa bersyukur pada Allah dan kepada orangtua. Sebab jerihpayah orangtualah seorang anak bisa tumbuh dengan fisik dan psikis yang sehat.

Sementara itu, pada ayat 15, Allah Swt menasihati bahwa adab pada orangtua tetap harus dijaga kendati kedua orangtua mengajak seorang anak pada kekufuran. Seorang anak tetap tidak diperkenankan berbuat kasar dan zalim meskipun orangtuanya mengajak musyrik. Ayat ini berkorelasi dengan ayat 12 karena nasihat pertama Luqman pada puteranya ialah meneguhkan tauhid.

Setelah perintah tentang tauhid dan berbudi pekerti pada kedua orangtua, ayat berikutnya mengisyaratkan tentang sifat Lathif-Nya Allah. Allah yang akan menilai dan memberi ganjaran siapapun hamba-Nya yang berbuat baik. Kesadaran ini akan membawa manusia pada derajat ihsan—ia merasa diawasi kapanpun dan dimanapun karena Maha Halusnya Allah.

Berikutnya, setelah nasihat tauhid dan berbuat ihsan pada orangtua, perintah shalat dimaklumkan. Jika kita cermati, Luqman tidak buru-buru menasihati anaknya agar mendirikan shalat. Hal ini penting karena shalat pun perintah yang mewajibkan pelakunya memahami syari’atnya. Tauhid didahulukan sebagai pesan moral bahwa mengesakan Allah lebih didulukan, setelah itu mendirikan shalat.

Nasihat untuk mendirikan shalat ini tidak berdiri sendiri karena ayat berikutnya menegaskan tentang perintah ‘sabar’ ketika ditimpa masalah/ ujian. Beberapa nasihat yang disampaikan Luqman pada anaknya, ditutup dengan adab dan akhlak dalam kehidupan sehari-hari (ayat 18 dan 19) yakni pesan tentang larangan sombong, membanggakan diri, sederhana dalam berjalan, melunakkan suara. Nasihat ini sekaligus memberikan kita teladan bahwa nasihat Luqman bukan sekedar nasihat biasa melainkan ada tanggung jawab yang terkait dengan kehambaan (hablum minallah) dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk sosial (hablum min annas). Kedua-duanya harus seimbang. Tak heran, Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya pun mengatakan bahwa tanggung jawab seorang hamba baik posisinya sebagai ‘abdullah maupun makhluk harus ditunaikan dengan baik. Qs. Luqman/31: 12-19 ialah isyarat bahwa tanggung jawab sebagai ‘abdun (hamba) terlebih dulu disebutkan di awal nasihat Luqman mengingat pentingnya nasihat ini.

Fatherless– kurangnya keterlibatan seorang ayah bukan hanya dilihat dari perspektif ayah secara biologis dan dialami anak yatim saja. Sejarah melukiskan bahwa kendati Rasulullah Saw yang terlahir yatim karena ayahnya wafat sejak beliau masih kecil, beliau tidak kehilangan sosok laki-laki yang mengisi peran dan kekosongan dan jiwa Rasul. Kakek beliau, Abdul Muthalib dan paman beliau, Abu Thalib menjadi ayah pengganti bagi Rasul sehingga seizin Allah, Rasulullah tumbuh dengan kasih sayang yang cukup.

Semoga, isyarat surat Luqman di atas mampu kita teladani bersama untuk terlibat dalam pengasuhan agar anak-anak tumbuh menjadi generasi yang kuat tauhidnya, juga sehat fisik dan psikisnya. Amin.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini