Authoritative Parenting dan Prinsip 777: Cinta dan Ketegasan

Di era ketika informasi melimpah dan nilai-nilai kerap kabur, banyak orang tua kebingungan mencari gaya pengasuhan yang ideal. Sebagian memilih memanjakan anak demi menghindari konflik, sebagian lain menerapkan disiplin ketat tanpa ruang dialog. Padahal, keseimbangan antara kasih dan ketegasan adalah kunci.

Dalam literatur psikologi modern, keseimbangan itu disebut authoritative parenting — pola asuh yang menggabungkan kehangatan emosional dan batasan yang jelas. Menariknya, jika disandingkan dengan konsep pendidikan Islam 7.7.7 yang diwariskan dari nasihat para ulama klasik, keduanya membentuk satu harmoni: mendidik dengan cinta yang mendewasakan.

Authoritative Parenting: Hangat tapi Tegas

Istilah authoritative parenting (pengasuhan otoritatif) telah muncul pada tahun 1960an. Dalam jurnal Child Development yang berjudul ‘Effects of Authoritative Parental Control on Child Behavior’, psikolog Diana Baumrind mengklasifikasikan tiga tipe utama pengasuhan, yaitu: (1) permissive: terlalu longgar dan membiarkan anak tanpa batas, (2) authoritarian: keras, menuntut kepatuhan mutlak anak, dan (3) authoritative: hangat tapi tegas.

Secara sederhana, authoritative parenting merupakan pola asuh yang didasarkan pada keinginan anak. Namun, orang tua tetap dan harus memberikan batasan yang tegas, tidak menuruti semua keinginan anak. Pola asuh ini menekankan adanya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, disiplin untuk mendukung, dan mendorong anak untuk mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab sosial. 

Dalam buku Piskologi Parenting (2021, hal. 23) disebutkan bahwa anak yang dididik dengan pengasuhan otoritatif akan memiliki karakteristik: sering terlihat ceria, dapat mengendalikan diri dan mandiri, memiliki kecenderungan menjaga persahabatan dengan teman sebaya, dapat bekerja sama dengan orang dewasa, serta dapat mengatasi stres dengan baik. 

Pendidikan 7.7.7: Hikmah dari Warisan Islam

Dalam khazanah pendidikan Islam klasik, terdapat prinsip pembagian usia pendidikan anak menjadi tiga tahap tujuh tahunan — dikenal sebagai konsep 7.7.7. Prinsip ini didasarkan pada sebuah kalimat:

لاعب ابنك سبعًا، وأدبه سبعًا، وصاحبه سبعًا

Biarkan anakmu bermain selama tujuh tahun pertama, didiklah dan disiplinkan dia tujuh tahun berikutnya, dan jadikanlah dia sahabat selama tujuh tahun terakhir.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang mengucapkan kalimat ini. Ia sering dinisbatkan kepada Ali bin Abu Thalib. Namun, ‘Aidh al-Qarni menduga kalimat ini diucapkan oleh Sufyan al-Tsauri atau salah seorang ulama salaf (Duruus al-Syaikh ‘Aaidh al-Qarnii, jil. 26, hal. 13). Sedangkan islamweb menjelaskan bahwa kalimat di atas sering dinisbatkan kepada Umar bin al-Khattab.

Fase Pertama (0–7 tahun): Anak sebagai Raja dan Ratu

Pada tujuh tahun pertama, anak hidup dalam dunia permainan dan keajaiban. Ia belajar melalui gerak, tawa, dan imajinasi. Karena itu, orangtua dianjurkan untuk mendampingi dengan kasih, bukan memaksa dengan aturan. 

Di usia ini anak berada di tahap perkembangan moral awal. Mereka cenderung menilai “baik” dan “buruk” berdasarkan akibat langsung (dihadiahi atau dihukum), bukan pada moral atau niat di balik tindakan. Pemberlakukan reward dan punishment (disiplin) yang terlalu ketat justru membuat anak bertindak atas dasar faktor eksternal; berpilaku baik untuk mendapat hadiah dan menghindari perilaku buruk karena takut dihukum.

Dalam Islam, Rasulullah Saw menunjukkan sikap mengasihi yang sangat lembut terhadap anak-anak. Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari (no. 5997) bahwa Nabi mencium Hasan bin Ali, lalu Al-Aqra’ bin Habis berkata: ‘Aku punya sepuluh anak, dan tak satu pun aku cium.’ Nabi bersabda: ‘Barang siapa tidak mengasihi, maka dia tidak akan dikasihi.’”

Ciuman itu bukan sekadar ekspresi cinta, melainkan pondasi emosional yang membentuk empati anak di masa depan.

Fase Kedua (7–14 tahun): Anak sebagai Prajurit Disiplin

Ketika akalnya mulai berkembang, anak mulai memahami hubungan antara tindakan dan konsekuensi. Pada masa ini anak mulai dapat membedakan benar (baik) dan salah (buruk) berdasarkan alasan, bukan hukuman. Inilah masa emas untuk menanamkan disiplin, tanggung jawab, dan nilai moral. Sebagian ulama salaf menyebut fase ini sebagai masa “pendidikan dan kedisiplinan”.

Dalam Islam, Nabi Muhammad Saw memberi panduan konkret:

Perintahkan anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah (secara mendidik, bukan menyakiti) ketika mereka berumur sepuluh tahun jika mereka meninggalkannya.” (HR. Abu Dawud, no. 495)

Hadis ini menegaskan bahwa pendidikan disiplin dimulai sejak dini, namun harus disertai kasih sayang dan konsistensi. Orangtua authoritative tidak menghukum karena marah, tetapi menegur karena cinta.

Fase Ketiga (14–21 tahun): Anak sebagai Sahabat

Fase terakhir adalah masa remaja dan awal kedewasaan. Di fase ini anak mulai mencari jati diri dan kemandirian. Mereka mulai berpikir kritis, memahami realitas sosial, dan memiliki pandangan sendiri tentang dunia. Di fase ini anak tidak membutuhkan disiplin ketat, tetapi bimbingan yang bijaksana. 

Pola asuh yang efektif di fase ini adalah, sebagaimana nasihat di atas, adalah menjadikan anak sebagai sahabat. Remaja membutuhkan seseorang yang mau mendengar tanpa menghakimi, tempat berbagi cerita, kebingungan, mau pun pandangan hidup. 

Dalam interaksi orang tua dan anak remaja, ruang dialog dan kepercayaan harus diperluas. Anak remaja tidak lagi bisa diarahkan dengan perintah, melainkan dengan teladan dan percakapan. Orangtua yang mampu menjadi sahabat akan tetap dihormati bahkan setelah anak dewasa.

Menjembatani Dua Dunia

Authoritative parenting berbicara tentang sikap dan komunikasi, sedangkan 7.7.7 berbicara tentang tahapan waktu dan konteks. Ketika keduanya digabung, lahirlah sistem pengasuhan yang utuh — empatik secara emosional, realistis secara psikologis, dan selaras secara spiritual.

Jika hanya authoritative tanpa 7.7.7, orangtua bisa salah waktu dalam menerapkan kedisiplinan. Sebaliknya, jika hanya 7.7.7 tanpa prinsip authoritative, maka tiap fase bisa berjalan tanpa arahan emosional yang sehat. Keduanya saling melengkapi — seperti dua sisi dari hikmah yang sama: mendidik dengan hati dan akal. 

Maka, mendidik anak dengan cinta dan ketegasan bukan sekadar metode psikologi, tapi juga bentuk ibadah. Ia menuntut kesabaran, ilmu, dan keberanian untuk terus belajar — agar anak tumbuh bukan hanya cerdas dan sopan, tetapi juga beriman, berakal, dan berjiwa merdeka.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini