Aktualisasi Nilai-nilai Kepahlawanan dalam Konteks Kekinian

Tujuhpuluh tahun sudah Indonesia merdeka. Dengan gagah berani, para pejuang bangsa ini merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Masa perjuangan di paruh tahun kedua 1940-an memberi kita teladan legendaris yang tetap abadi dalam kenangan kolektif bangsa Indonesia. Peristiwa heroik 10 November 1945 menjadi simbol kegigihan dalam berjuang, yang kita peringati sebagai ungkapan rasa syukur, sambil berdoa semoga Allah menerima dedikasi mereka terhadap bangsa dan tanah air Indonesia. Kita bukanlah bangsa yang lupa akan jasa-jasa para pahlawan di masa lalu. Rasulullah saw., pun selalu mengenang jasa para sahabatnya yang gugur sebagai syuhada pada perang badar, sebuah peperangan yang menjadi tonggak kemenangan yang hak atas yang batil.

Para pahlawan bukan hanya hidup dalam ingatan dan kenangan, tetapi mereka benar-benar hidup di sisi Tuhan; selalu merasakan kenikmatan dan kebahagiaan.

وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (١٦٩)
فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (١٧٠)

Satu hal yang tidak terbantahkan, pada zaman penjajahan, para ulama dan umat Islam menggelorakan semangat juang membela negara. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada beberapa ulama dan tokoh Islam adalah bukti nyata betapa umat Islam yang dipimpin para ulama mempunyai andil dan kontribusi besar dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang mendorong umat Islam Indonesia berjuang merebut kemerdekaan dan mengisinya dengan pembangunan bersama komponen bangsa lainnya, didasari pada persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhuwah insaniyyah dan wathaniyyah). Kita memang berbeda dan beragam agama, suku bangsa, bahasa dan warna. Tetapi kita semua, umat manusia, sama-sama berasal dari satu bapak dan ibu, yaitu Adam dan Hawa, sehingga kita semua bersaudara dan harus menjalin silaturahmi.

Keterpanggilan para ulama dan umat Islam untuk terlibat aktif dalam bela negara dilandasi pandangan bahwa membela negara, selain karena merupakan kebutuhan/keharusan dalam hidup (dharurah hayatiyyah), juga karena bela negara adalah kewajiban agama (dharurah/wajibah diniyyah).

Secara fitrah, manusia terlahir cinta tanah air, sebab di situ ia dan nenek moyangnya dilahirkan dan dibesarkan. Di situ pula ia berinteraksi dengan manusia lain dalam kehidupan bermasyarakat. Sangat wajar kalau seseorang memiliki keterikatan dengan tanah tempat kelahirannya, sehingga merasa rindu ketika bepergian atau lama meninggalkan kampung halaman. Keterikatan secara fisik dan emosional melahirkan loyalitas dan komitmen yang dengan dengannya seseorang rela mengorbankan segalanya demi membela tanah air.

Dalam tradisi umat Islam sangat populer ungkapan hubbul wwathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Meski itu bukan hadis Nabi yang sahih (mawdhu‘), tetapi makna dan substansinya sejalan dan sangat dianjurkan oleh agama (masyru‘). Paling tidak bila dilihat dari beberapa hal berikut:

Pertama: Agama mengenalkan konsep istikhlaf fil ardh dan al-tamkin li al-din. Allah berfirman dalam surah An-Nuur ayat 55:

وَعَدَ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى‏ لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَني‏ لا يُشْرِكُونَ بي‏ شَيْئاً وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ

Bumi, bahkan alam semesta diserahkan kepada manusia sebagai amanat Allah yang harus dijaga dan dipelihara, sebagai tempat pengabdian dan beribadah kepada-Nya. Tanah air tempat kita menetap adalah tempat kita menjalankan ajaran agama. Membela dan mempertahankan tanah air adalah bagian dari upaya penegakan agama. Tidak terbayang, bagaimana sebuah masyarakat menjalankan syariat agama dengan baik di tengah negara yang tercabik-cabik, hancur porak poranda.

Kedua: Rasulullah adalah sosok yang sangat cinta tanah air. Kecintaan beliau kepada tanah kelahirannya, Mekkah, dapat dilihat dalam beberapa hal berikut:
– Doa yang selalu beliau panjatkan, yaitu:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

Ya Allah, tumbuhkan kecintaan kami terhadap Madinah seperti kecintaan kami terhadap Mekkah, bahkan lebih.(HR. Al-Bukhari).

– Ungkapan rasa rindu kepada Mekkah;
Kecintaan terhadap tanah air yang bersifat fitrah ini mendapat respons positif dari Allah, dengan menurunkan wahyu yang menginformasikan bahwa Allah berjanji mengembalikan beliau ke kota Mekkah.

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚقُلْ رَبِّي أَعْلَمُ مَنْ جَاءَ بِالْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata”.

Semangat bela negara dan cinta tanah air yang telah ditanamkan oleh para ulama hendaknya terus kita pertahankan. Lebih -lebih di era modern seperti saat ini. Indonesia boleh jadi saat ini masih terhindar dari perang fisik yang bersenjata, seperti yang terjadi di negara-negara lain. Tetapi itu tidak berati indoesia sedang tidak terancam perang yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Perang di era modern saat ini tidak lagi antara pihak-pihak yang bermusuhan secara langsung, adu fisik dan senjata, karena kepentingan tertentu, tetapi dapat menggunakan pihak lain untuk mewujudkan kepentingannya tersebut. Itulah yang disebut proxy war Perang saat ini bisa dalam bentuk perang pemikiran (al-ghazwul fikriy) atau perang kebudayaan (al-ghazwu al-tsaqafiy). Atau perang asimetris yang memanfaatkan kerusuhan ekonomi, konflik etnis dan melemahkan semangat nasionalisme, untuk menguasai sebuah negara.

Apa yang sedang terjadi di beberapa negara Timut Tengah saat ini (Irak, Suriah, Libya, Yaman) menjadi gambaran perang modern yang sedang terjadi. Konflik tersebut jangan hanya dilihat sebagai konflik antara rezim penguasa dan pemberontak/rakyat negara setempat, tetapi itu sebenarnya perang antara beberapa negara yang memiliki kepentingan di negara tersebut. Rasulullah sudah pernah mengingatkan terjadinya perang semacam ini.

Globalisasi di berbagai bidang; politik, ekonomi, budaya tidak bisa dibendung. Banyak dampak positif yang dihasilkan, tetapi tidak sedikit pula dampak negatif yang dirasakan oleh negara-negara terbelakang dan berkembang dalam bentuk hegemoni negara-negara Barat/maju. Batas-batas geografis bukan penghalang masuknya pengaruh luar. Langit-langit sebuah negara juga dengan mudah diterobos karena revolusi di bidang informasi dan telekomunikasi. Pengerahan massa melalui media sosial untuk sebuah aksi di sejumlah negara terbilang efektif, dilakukan secara masif, seperti yang terjadi saat Arab Spring di Timur-Tengah 5 tahun yang lalu, dan yang terakhir aksi damai 411 di Jakarta. Boleh jadi kita tidak tahu siapa aktor utamanya. Bukan tidak mungkin, adu domba sesama anak bangsa dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tersembunyi melalui media sosial.

Tidak sedikit negara yang tergilas, bahkan nyaris gulung tikar, tidak berdaya karena dampak pasar bebas. Belum lagi suguhan konsep-konsep ideologi Barat yang membuat semakin tidak berdaya, kecuali tunduk pada keinginan negara-negara kuat. Yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah damak globalisasi di bidang budaya. Telah terjadi westernisasi (pembaratan) dalam semua lini kehidupan. Gaya hidup dan cara berpikir masyarakat ikut berubah. Bahkan kita diminta untuk mendidik generasi muda kita seperti yang mereka inginkan. Padahal setiap negara emiliki nilai-nilai luhur yang disebut kearifan lokal. Pelemahan generasi muda dilakukan melalui perang candu dan narkoba.

Kita harus meningkatkan kesiapan dan kewaspadaan dalam rangka membela negara kita ini dari upaya beberapa pihak yang akan menggadaikan negeri ini dan menghancurkan mental bangsa ini.

Disampaikan oleh Dr. Muchlis M. Hanafi saat menjadi khotib Juma =t di Bellagio Mall Kuningan Jakarta Selatan pada 18 November 2016.