Agama untuk Kemanusiaan

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah pada kesempatan yang penuh dengan kebaikan dan keberkahan ini, kita selalu meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt. Sebab dengan berbekal keimanan dan ketakwaan yang berkualitas, kita akan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Pada kesempatan kita di bulan Syaban ini mari kita tingkatkan kualitas amaliyah-amaliyah kita. Sebab di bulan Syaban ini adalah penuh dengan keberkahan dan keagungan. Dinamakan Syaban, karena di bulan ini dibukakan pintu-pintu dan jalan-jalan kebaikan oleh Allah swt.

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa di bulan Syaban inilah amal perbuatan manusia itu diangkat ke langit (dibawa kepada Allah swt.) dan di bulan ini pula umur-umur manusia diperlihatkan oleh Allah swt. Siapa saja yang akan dilahirkan,diwafatkan, semuanya diperlihatkan oleh Allah swt. Setelah umur, rizki dan nasib manusia, usia ditentukan oleh Allah swt. saat ia masih berada dalam kandungan.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Dulu, di awal masa kenabian, setelah mendengar berita diutusnya seorang nabi dan rosul, ada seseorang yang mencari-cari nabi yang telah diutus itu. Setelah bertemu dengan Rasulullah saw., ia mengajukan beberapa pertanyaan.
Siapa engkau?“, tanya orang itu. Rasulullah menjawab “Aku ini adalah Rasul utusan Allah.” Orang itu balik bertanya “Siapa yang mengutusmu?“. Nabi menjawab “Allah azza wa jalla“. Lalu orang itu kembali bertanya “Apa pesan-pesan yang engkau bawa dari tuhanmu itu?“. Nabi menjawab “Aku diperintahkan oleh Allah untuk menyambung hubungan kekerabatan, menghentikan pertumpahan darah, mengamankan jalan, menghancurkan berhala, sehingga hanya Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu baginya.”

Mendengar penjelasan itu, orang tersebut berkata, “Alangkah indahnya ajaran yang engkau bawa itu. Saksikanlah Aku beriman kepadamu, dan aku akan membenarkan apa yang kau bawa itu.” Kejadian ini disebutkan dalam kitab hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam dialog di atas. Orang yang disebut bernama Amr bin Abasah as Sulami ini mengkonfirmasi dan memverifikasi berita yang sampai kepadanya, dan dia tak terpengaruh oleh isu dan provokasi yang mendiskreditkan Nabi Muhammad saw.

Begitulah sepatutnya ketika kita menerima sebuah berita.Dia pun menyatakan ber-Islam setelah tahu ajarannya begitu sangat mulia. Bukan karena taqlīd atau sekedar ikut-ikutan. Namun lebih dari itu.

Gambaran yang diberikan oleh Nabi tentan ajaran yang dibawanya patut menjadi renungan kita bersama. Terutama dalam konteks kekinian, dalam menghadapi berbagai persoalan.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Pokok ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (bahkan seluruh nabi dan rasul) adalah mengajak kepada tauhid.

Katakanlah wahai Nabi, aku ini adalah manusia biasa seperti kalian. Hanya saja, aku diberi wahyu dari Allah swt. untuk mendeklarasikan bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah Allah semata. (QS.18:110)”

Meskipun pokok ajaran agama demikian, tapi Rasulullah saw. ketika memperkenalkan ajaran yang dibawanya itu, dia lebih mendahulukan 3 hal.
Yang pertama adalah menyambung hubungan silaturahim. Sehingga tercipta kekeluargaan dan kekerabatan yang harmoni, yang menjadi cikal bakal masyarakat yang aman dan damai.
Kedua, menghentikan pertumpahan darah. Atau dengan kata lain memberikan jaminan hidup dan kehidupan.
Dan yang ketiga, mengamankan jalan. Atau dengan kata lain, menjaga ketertiban umum. Baru setelah itu, Nabi Muhammad saw. menyebut ; menghancurkan berhala, menyembah Allah swt. Kondisi sosial masyarakat Arab saat nabi diutus pada abad ke-7 Masehi selalu diwarnai peperangan antarsuku dan kabilah. Peperangan itu berlangsung ratusan tahun.
Begal dan penculikan di jalan sudah biasa terjadi. Sedikit saja terjadi persoalan,hubungan kekerabatan terganggu. Tidak terbayangkan, di tengah kondisi masyarakat yang kurang rasa aman, keadilan dan kebebasan (yang menjadi hajat mendasar hidup manusia) maka sulit bagi seseorang untuk dapat merasakan nikmatnya iman kepada Allah swt.

Sebab keimanan sejati itu tersimpan di dalam hati yang dijiwai oleh nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa rasa aman, ketertiban umum dan kehidupan yang harmonis.Seseorang tidak akan pernah memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan secara cerdas. Ia akan selalu dalam keadaan terpaksa. Padahal agama tidak menginginkan umatnya untuk memeluk agama dalam keadaan terpaksa.

Hati manusia yang menjadi tempat iman bercokol, tidak akan memperoleh ketenangan ketika hampa dari nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, Allah swt. memperkenalkan dirinya dalam surat Quraish (QS 106) disitu dinyatakan :
Falya’buduu rabba hadzaal bait(i)
(hendaknya mereka menyembah/beribadah kepada Tuhan, pemilik rumah ini, yang sifatnya)
Al-ladzii ath’amahum min juu’iu(n) wa-aamanahum min khauf(in)
(Tuhan yang memberi makan, agar tidak terjadi kelaparan, dan menciptakan rasa aman, agar tidak ada kecemasan dan ketakutan.)”

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Di dalam banyak ayat dan riwayat ditegaskan, diantara indikator keimanan seseorang adalah rasa kepedulian sosial. Berapa banyak orang yang rajin melaksanakan sholat tetapi dikecam oleh al-Qur’an karena tidak peduli kepada kaum lemah.

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
(Celaka, merugi orang yang melakukan shalat karena -salah satunya adalah-)
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
(karena enggan memberikan bantuan – QS Surat al-Ma’un)

Bukanlah seorang mukmin yang sejati (kata Rasulullah) orang yang tidur lelap dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya mengeram kesakitan menahan rasa pedih dan lapar.

Oleh karenanya, ketika seorang baduy dari suku pedalaman datang lalu menyatakan dirinya telah beriman, al-Qur’an membantah ini : “Tidak, anda belum beriman. Tapi katakan kami baru ber-Islam. Karena iman itu belum tertancap di dalam hatinya (baru sekedar melaksanakan ritual -ritual keagamaan).“(QS. Al Hujuraat:14)

Keimanan sejati harus dibuktikan dengan cinta kepada sesama manusia, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Banyak orang yang berIslam, tetapi sesungguhnya belum beriman. Karena di dalam hatinya itu masih dipenuhi rasa kebencian, permusuhan, dendam kesumat dan penyakit-penyakit hati lainnya. Penyakit hati inilah yang membuat hati manusia akan mati dan mengeras.

Beragama tanpa nilai dan rasa kemanusiaan itu akan membuatnya hampa. Bahkan, hanya akan menjadi sumber malapetaka. Berapa banyak orang yang bertindak mengatasnamakan agama, padahal perilakunya sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama, yang sangat memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.

Barangkali kita perlu malu dengan banyak bangsa yang mengaku tidak beragama tetapi perilakunya justru menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang membuatnya lebih terasa lebih Islami. Justru kita yang mengaku beragama tetapi karena nilai-nilai agama itu disangsikan atau dikesampingkan, maka seperti orang yang tidak beragama.

Patut kita renungkan bersama, kisah seorang perempuan, muslim, yang dinyatakan oleh Rasulullah saw. akan masuk ke neraka hanya karena mengurung seekor kucing, tidak diberi makan. Sebaliknya, seorang wanita pelacur, dinyatakan oleh Rasulullah saw. masuk surga setelah diampuni oleh Allah karena berkat rasa iba dan sayang yang ada di dalam hatinya sehingga ia tergerak untuk memberi minum seekor anjingyang kehausan. Jadi rasa kebinatangan saja bisa mengantarkan seseorang kepada surga. Apalagi rasa kemanusiaan.

Kita memang perlu membangkitkan kembali rasa kemanusiaan kita agar benar keberagaman kita. Untuk itu hati dan jiwa kita perlu dibangkitkan dari keterpurukan dan kegelapan akibat keakuan dan keangkuhan. Cinta dunia,popularitas, gila hormat dan sebagainya adalah penyakit-penyakit yang perlu kita berantas dari hati kita ini.

Beragamalah dengan penuh kasih dan cinta kepada sesama. Beragama tanpa cinta akan hampa tak bermakna. Sebaliknya, bercinta tanpa agama tidak akan kekal bahagia.

Oleh karena itu di bulan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan ini mari kita sirami hati kita ini dengan memperbanyak zikir, bertaqarrub kepada Allah swt. untuk melembutkan dan melunakan hati kita. Sehingga rasa kemanusiaan kita akan semakin peka.


Disampaikan oleh Dr. Muchlis M.Hanafi, MA saat menjadi khuotib Jumat di Bellagio Mall Kuningan Jakarta pada 27 Mei 2016.