Pada tulisan sebelumnya, kita sudah membahas bagaimana hidung manusia diciptakan dengan kemampuan adaptasi yang ajaib. Ia tumpul terhadap bau diri sendiri, tapi begitu tajam terhadap bau orang lain. Mengapa Aib Orang Lebih Mudah Tercium daripada Aib Sendiri? – Cariustadz
Namun ternyata, keanehan itu tidak berhenti di situ. Hidung kita pun—saat mencium bau asing—masih saja pilih kasih. Ia bisa mengendus beberapa sumber bau, tetapi pikiran kita hanya terganggu oleh salah satunya. Yang lain kita abaikan, seolah-olah tidak pernah ada. Fenomena ini bukan lagi soal penciuman, tapi soal keadilan berpikir.
Dalam salah satu ceramahnya, Kyai Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) menyatakan:
“Manusia itu pecundang, karena dalam membenci yang salah pun mereka gagal berlaku adil”
Maksudnya, ketika kita marah terhadap satu kesalahan, sering kali bukan karena kita benar-benar benci pada maksiatnya, melainkan karena kita memang tidak suka pada pelakunya.
Kalau yang melakukan adalah orang yang kita benci, amarah kita meledak. Tapi kalau yang berbuat sama adalah orang yang kita cintai, kita mendadak penuh alasan dan pembenaran.
Bayangkan: seorang kawan datang ke rumah lalu memecahkan gelas. Kita mungkin kesal. Tapi kalau yang memecahkan gelas itu calon mertua atau atasan di kantor, apakah kita masih bisa marah? Belum tentu.
Atau dalam satu pertemuan penting, ada peserta datang terlambat. Kita mungkin jengkel. Tapi kalau yang datang terlambat itu HRD yang akan mewawancarai kita, atau orang yang pernah menolong kita, mendadak semua rasa kesal sirna.
Demikian pula dalam perkara yang lebih besar. Kita bisa saja lantang mengutuk kelompok tertentu, menganggapnya musuh moral. Tapi ketika di antara mereka ternyata ada saudara, anak, atau teman dekat kita, masihkah kita mempertahankan sikap yang sama? Belum tentu.
Ternyata, sering kali yang kita sebut “amarah karena Allah” hanyalah dendam personal yang dibungkus kesalehan.
Berlaku Adil Kepada Semua
Dalam Islam, keadilan bukan hanya urusan hukum, tapi juga urusan hati. Al-Qur’an menegaskan:
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Beradillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 8)
Ayat ini menuntut kita untuk menimbang setiap penilaian secara jernih, tanpa dikotori sentimen pribadi. Karena keadilan sejati adalah ketika kita bisa berkata benar, bahkan terhadap orang yang kita benci.
Dalam ilmu hadis, syarat menjadi seorang perawi hadis hanya dua: ḍabṭ (kuat hafalan) dan ‘adālah (adil). Dan menariknya, ‘adālah tidak hanya berarti jujur dalam meriwayatkan hadis, tapi juga berakhlak lurus, tidak memihak hawa nafsu.
Artinya, seorang ahli hadis dituntut adil bukan hanya kepada teks Nabi, tapi juga kepada manusia lain. Ia harus menimbang riwayat secara seimbang, bahkan dari orang yang tidak disukainya.
Seseorang yang sudah adil dalam perbuatan memang tidak otomatis adil juga dalam menilai. Kadang tangan dan lisannya terkontrol, tapi pikirannya masih condong—membenarkan yang disuka, menyalahkan yang dibenci.
Sebagaimana pernah diungkapkan Pram dalam Bumi Manusia, adil itu bukan hanya dalam perbuatan, tapi juga dalam pikiran. Sebab di sanalah semua keputusan moral lahir — dari cara kita menimbang orang lain, menafsirkan kesalahan, hingga menentukan siapa yang pantas dimaklumi dan siapa yang pantas dicela.
Keadilan, dengan demikian, bukan sekadar sikap sosial, tapi laku batin. Ia menuntut kejernihan, kejujuran, dan keberanian untuk melihat manusia lain sebagaimana adanya — bukan sebagaimana perasaan kita terhadapnya.
Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini