Jejak Awal Nalar Kritis dalam Al-Quran

Mungkin perasaan atau memang fakta, bahwa nalar kritis peserta didik di perguruan tinggi (mahasiswa) sangat lemah. Untuk dikatakan hanya sekedar perasaan nampaknya terbantahkan dengan sebuah data dari PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2012 lalu bahwa peringkat literasi di Indonesia adalah 64 dari 65 Negara. Indikatornya adalah siswa di Indonesia hanya mampu menjawab 1 sampai 2 pertanyaan dari 6 tingkat pertanyaan yang ada, yang pertanyaan tersebut harus dijawab dengan nalar yang kritis.

Fakta lemahnya nalar kritis siswa atau masyarakat Indonesia seiring dengan fakta bahwa Indonesia adalah negeri dengan mayoritas Muslim. Kesimpulannya, Muslim di Indonesia nalar kritisnya rendah, cenderung afirmatif, jika pun protes lebih kepada “ngeyel”, bukan nalar kritis. Karena nalar kritis harus dibangun dengan logika dan kemampuan menganalisa.

Asumsi ini menghasilkan kesimpulan lain lagi, yaitu peradaban Islam di Indonesia stagnan karena umatnya jarang berpikir. Karya tulis dan diskusi tidak bisa menjadi bukti kuatnya nalar kritis seseorang jika hanya bersifat tikrariyah (pengulangan), afirmatif deskriptif, sekedar hanya menjadi juru bicara dari yang dikutipnya tanpa analisa.

Malas berpikir adalah sikap yang bertentangan dengan karakter Al-Quran. Justru, mukjizat Al-Quran menjadi yang terbesar karena targetnya adalah pikiran (logika, nalar kritis), bukan sekedar inderawi seperti melihat Nabi membelah laut, membelah bulan, Unta keluar dari batu dan sejenisnya. Tetapi berpikir tentang betapa rumitnya penciptaan manusia, bahkan lalat pun mustahil untuk ditiru. Target pikiran inilah yang seharusnya menjadi karakter umat sebagaimana umat ini beriman kepada Al-Quran. Maka, umat yang malas berpikir bukanlah umat Qurani, walau ditangan mereka ada Qur’an.

Sejak awal penciptaan manusia sudah diiringi dengan nalar kritis. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 30. Ketika malaikat bertanya kepada Allah SWT “Apakah Kau hendak menjadikan di bumi makhluk yang kelak merusak di dalamnya dan menumpahkan darah?”.

Nalar kritis itu bukan protes apalagi ngeyel, tetapi berdasarkan analisa dan pengalaman malaikat -menurut mufassir- bahwa makhluk sebelumnya juga melakukan hal yang sama. Yang kemudian pertanyaan malaikat tersebut dibantah oleh fakta kredibilitas Adam as sebagai Khalifah di bumi.

Nalar kritis yang sangat populer dalam sejarah manusia khususnya umat Islam, tentunya kisah Ibrahim as ketika berkonfrontasi dengan Namrudz dengan pernyataannya “Tanyalah kepada yang paling besar itu jika ia bisa berbicara” dalam QS. Al-Anbiya.

Lebih jelas lagi ketika Ibrahim as memperhatikan bulan, bintang dan matahari lalu mendapat kesimpulan bahwa Tuhan sejati tak mungkin seperti mereka yang datang lalu pergi. Tuhan sejati adalah Dia yang tak pernah pergi atau hilang. 

Nalar kritis Musa as juga ditunjukkan kepada gurunya saat itu, Khidir as dalam QS. Al-Kahfi. Meski kesepakatannya adalah Musa tidak boleh mempertanyakan segala tindakan Khidir, faktanya Musa tidak kuat menahan nalar kritisnya hingga akhirnya mempertanyakan perbuatan Khidir yang dianggapnya ganjil. Hingga akhirnya berujung pada perpisahan keduanya karena kesepakatan awal yang tak terlaksana.

Jejak nalar kritis dalam Al Qur’an tentu tidak selesai pada tiga cerita di atas. Namun, tiga cerita di atas sementara mewakili adanya nalar kritis dalam bagian-bagian sejarah peradaban manusia yang sangat penting. Dan nalar kritis yang disebut di atas meskipun tidak selalu berakhir bahagia, namun jelas sangat diperlukan sebagai kontrol kebenaran, uji kelayakan dan kemampuan menjawab keraguan orang lain.

Jika nalar kritis lemah, kebenaran tidak akan teruji, argumen tidak akan terbangun, keraguan akan dijawab dengan tekanan bukan argumen, dan yang terpenting adalah turunnya nalar kritis adalah tanda turunnya keberhasilan pendidikan kita.

Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini