Sebagaimana wataknya, hukum fikih selalu berkaitan dengan halal, haram, sunnah, makruh dan mubah. Keputusan hukum tersebut terjadi karena adanya berbagai pertimbangan atau biasa disebut dengan illat. Misalnya hukum khamar menjadi haram karena memabukkan. Atau orang pingsan sudah batal wudlunya, karena tidak sadarkan diri. Sama halnya perempuan haid tidak boleh melakukan shalat sebab dirinya sedang memiliki illat dalam dirinya.
Lalu bagaimana kalau membaca Al-Qur’an? Menurut jumhur ulama, perempuan yang sedang haid tidak dibolehkan membaca Al-Qur’an, dengan alasan di dalam dirinya sedang terdapat hadats besar. Sedangkan Al-Qur’an adalah kitab suci yang menyentuhnya maupun membacanya juga harus dalam keadaan suci.
Baca Juga: Aurat Perempuan dan Perkembangan Zaman
Pendapat tersebut juga disampaikan oleh ulama kontemporer, Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi. Menurutnya, ketidak bolehan perempuan membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid itu mengacu pada kaidah umum bahwa Al-Qur’an harus dibaca oleh siapa saja dalam keadaan suci. Begitu juga untuk menyentuh mushaf Al-Qur’an juga dalam keadaan suci. Al-Sya’rawi juga menambahkan bahwa adanya larangan tersebut justru bernilai ibadah.
Bahkan dalam kitab-kitab Fikih klasik ketentuan tidak boleh menyentuh Al-Qur’an dalam keadaan hadats juga berlaku pada apa saja yang menempel pada mushaf. Misalnya, sampulnya, kain penggarisnya atau kalam penunjuk yang menempel pada mushaf.
Namun, ketidak bolehan perempuan yang sedang haid membaca Al-Qur’an tidak berlaku pada kegiatan berzikir atau mengingat Allah. Seperti membaca tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan doa kepada Allah. Hukum tersebut mengacu pada hadits yang disampaikan oleh sahabat perempuan, Ibnu Athiyyah, bahwa pada hari raya, dirinya diperintahkan bersama dengan perempuan lain yang sedang haid untuk keluar rumah melantunkan takbir.
Oleh Muhammad al-Khasyat dalam bukunya, “Fiqhu al-Nisa’”, disampaikan bahwa tidak ada masalah dan para ulama fikih sudah sepakat atas bolehnya perempuan membaca Al-Qur’an dengan catatan tidak mengeluarkan suara, alias membacanya di dalam hati. Hukum tersebut sama halnya dengan perempuan melihat mushaf dengan mata kepala lalu melantunkannya dalam hati.
Hukum tersebut merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Aisyah bahwa ketika dirinya sedang haid, Rasulullah masuk ke dalam kamarnya kemudian membacakan ayat Al-Qur’an dan Aisyah mendengarkannya dengan nikmat.
Namun hukum tentang perempuan membaca Al-Qur’an juga tidak luput dari perbedaan pendapat yang muncul dari kalangan ulama fikih. Ada juga ulama yang membolehkan perempuan membaca Al-Qur’an pada saat sedang haid dengan suara kencang (jahr). Hal itu dibolehkan jika ada keperluan atau dalam keadaan darurat. Seperti digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, atau khawatir lupa dengan Al-Qur’an (bisa karena hafalan maupun tidak).
Pendapat terakhir ini sering digunakan oleh pesantren-pesantren putri atau lembaga pendidikan lain di Indonesia yang fokus pada kegiatan menghafal Al-Qur’an. Dengan dalih mendawamkam bacaan Al-Qur’an di setiap saat. Sebab jika lengah sedikit saja, dikhawatirkan akan lupa dengan ayat-ayat yang sudah dihafalnya.
Baca Juga: Beberapa Masalah Fikih Bagi Perempuan Berhaji
Muhammad al-Khasyat juga memberi catatan bahwa kebolehan tersebut harus dalam rangka suatu kebutuhan atau dalam keadaan darurat. Itu artinya, jika tidak ada dua sebab tersebut, maka yang berlaku tetap tidak dibolehkan. Sebab Al-Qur’an sebagai kalamullah yang mulia harus dimuliakan, dibaca dalam keadaan suci dan di tempat yang suci.
Alasan tersebut tentu menjadi kaidah umum bahwa Al-Qur’an itu sebagai kitab suci sehingga menyentuhnya pun harus dalam keadaan suci. Pendapat ini juga dikuatkan dengan hadits Nabi yang mengatakan, “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali dia dalam keadaan suci.” Akan tetapi, lagi-lagi, ketika berada pada keadaan darurat atau untuk suatu kebutuhan mendesak, maka dibolehkan.
Muhammad Khoirul Anwar Afa, S.Ud, M.Ag, Dosen PTIQ dan Ustadz di Cariustadz.id