Religiositas Penting, Tetapi Kemanusiaan Juga Sama Pentingnya

Seseorang bisa jadi mengira imannya sudah kuat, namun jika ia mengabaikan hubungan kemanusiaan, kesucian hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat, maka keimanannya dibangun di tepi jurang yang runtuh dan mudah roboh saat terkena cobaan.”

(Habib Ali al-Jufri) 

Sebagai seorang makhluk Allah, manusia mengemban tugas untuk beribadah kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat[51]: 56). Karenanya, manusia diwajibkan memiliki religiositas (pengabdian terhadap agama, kesalehan). Sayangnya, meski banyak orang mengetahui bahwa religiositas tidak hanya terbatas pada interaksi vertikal antara manusia dengan Tuhannya, hanya sedikit yang mampu bersikap saleh secara horizontal. 

Banyak orang yang lupa dan abai akan kesalehan antar sesama makhluk Tuhan, baik manusia mau pun lainnya. Banyak orang yang pintar dan tinggi ilmu agamanya, tetapi kurang kesalehan sosialnya. Pada sampul belakang buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz, misalnya, ditulis:

Indonesia konon salah satu negara paling religius, tapi masuk peringkat (ter)tinggi korupsi di dunia… Mengapa justru di negeri yang masyarakatnya mementingkan agama, moralitas seperti terabaikan?

Membangun Kemanusiaan 

Sebagai seorang utusan Allah, Nabi Muhammad menyadari penuh bahwa ia ditugaskan untuk membenahi, menyempurnakan, mengajarkan, dan mencontohkan akhlak-akhlak yang mulia (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia: HR. al-Baihaqi). 

Sesekali, ketika dimintai nasihat atau ditanya tentang amal apa yang baik, beliau memberikan jawaban yang berkaitan dengan aspek kemanusian terlebih dahulu, alih-alih perintah untuk beribadah. Misalnya, ketika seorang laki-laki menghadap beliau untuk meminta nasihat, beliau menjawab:

Jangan marah, jangan marah, jangan marah.” (HR. al-Bukhari)

Pada awal masa kenabian, ketika dakwah masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi, Nabi Muhammad pernah didatangi seorang laki-laki bernama as-Sulami untuk menanyakan pesan apa yang dibawa olehnya sebagai utusan Allah. Nabi pun menjawab, 

” بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ، وَتُحْقَنَ الدِّمَاءُ، وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ، وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ، وَيُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ “

Menyambung tali silaturahmi (kekerabatan), mencegah pertumpahan darah, membuat aman jalan-jalan, menghancurkan berhala, dan agar Allah satu-satunya yang disembah serta tidak disekutukan dengan selain-Nya.”

Mendengar jabawan tersebut, as-Sulami berkata, “Sungguh bagus risalah yang karenanya engkau diutus. Saya bersaksi sesungguhnya saya beriman kepadamu dan saya mempercayaimu…” (HR. Ahmad).

Habib Ali al-Jufri dalam Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan menyoroti betapa bagus kandungan pesan yang disampaikan Nabi Muhammad pada peristiwa di atas. Kendati masa itu adalah masa-masa pembentukan tauhid di kalangan masyarakat Quraisy, beliau terlebih dahulu menyebutkan tiga pesan yang berkaitan dengan kemanusiaan (menyambung tali persaudaraan, mencegah pertumpahan darah, dan membuat jalan-jalan aman). 

Habib Ali al-Jufri menjelaskan mengapa Nabi menyampaikan pesan tersebut dengan urutan demikian. Menurutnya, laki-laki yang bertanya itu berasal dari sebuah masyarakat yang tidak menghargai ikatan persaudaraan, yang dengan mudahnya menumpahkan darah jika terjadi perselisihan, serta sering melakukan pembegalan bagi para musafir. 

Kondisi yang demikian, kata Habib Ali al-Jufri, tidak memungkinnya untuk secara langsung mengadopsi dan memahami konsep keesaan Tuhan secara mendalam. Ia harus diajarkan konsep kebebasan memilih dan keadilan terlebih dahulu, yang mana aspek itu hanya dapat tercapai jika ia hidup di lingkungan yang aman. Setelah itu, barulah Nabi menyebut aspek ketauhidan (menghancurkan berhala dan menyebah Allah sebagai satu-satunya Tuhan). 

Contoh lain ajaran Nabi Muhammad tentang kemanusiaan dapat dilihat pada sikap beliau terhadap seorang badui yang buang air kecil di pojokan masjid. Demi menjaga kenyamanan fisik dan psikis badui tersebut, Nabi melarang para sahabat untuk menghentikan perbuatannya, apalagi sampai menghardiknya. Apa yang dilakukan Nabi selanjutnya adalah mendekati si badui dan menjelaskan betapa pentingnya menjaga kesucian masjid. 

Pada kasus di atas, Nabi mengajarkan untuk tetap tidak mengganggu kenyamanan seseorang yang belum mengerti, seraya menasihati dan membimbingnya dengan santun. Dalam bahasa Syekh Ali Jum’ah, “Tarbiyyah as-saajid qabla tazyiin al-masaajid, wa binaa` al-insaan qabla al-bunyaan (mendidik orang yang bersujud [manusia] diutamakan sebelum memperindah masjid, dan [diutamakan] membangun manusia sebelum bangunan).”

Manusia yang Suka Menjustifikasi Orang Lain

Mengapa membangun kemanusiaan begitu penting? Sebab, banyak manusia yang (merasa dirinya) saleh tetapi tidak muslih (melakukan perbaikan). Alih-alih, ia justru suka menilai buruk hingga menetapkan keburukan pada diri orang lain. 

Pada bagian lain dalam bukunya di atas, tepatnya pada subbab Bagaimana Memahami Kesalahan Para Sahabat?, Habib Ali al-Jufri mengingatkan sebuah ajaran Nabi Muhammad terkait cara memandang seseorang yang berbuat salah, yaitu agar membenci perilakunya, bukan orangnya. 

Habib Ali al-Jufri juga mengingatkan agar manusia tidak memosisikan diri sebagai Tuhan. Manusia dilarang menghina dan mengutuk orang yang berbuat buruk. Ia juga dilarang untuk memutuskan nasib manusia lain di akhirat kelak. Sebab, dalam bahasa Cak Nun, hal demikian adalah hak prerogatif Allah. Bagi Habib Ali al-Jufri, tindakan demikian merupakan suatu pembangkangan terhadap kekuasaan Allah. 

Dalam setiap peristiwa, baik mau pun buruk, selalu ada hikmah yang dapat diambil. Nabi mencontohkan secara riil bagaimana tetap memandang pelaku keburukan dan kejahatan sebagai seorang manusia. Contohnya, beliau pernah memuji seorang wanita pezina yang telah bertobat dengan mengatakan, “Tobatnya begitu tulus sehingga jika tobat itu dibagi-bagikan kepada tujuh puluh penduduk Madinah, niscaya akan mencukupi mereka.

Untuk menghindari perilaku demikian, manusia perlu mengingat ajaran emas (golden rules), bahwa jika ia ingin diperlakukan baik oleh orang lain, ia harus bersikap baik juga kepada orang lain. Jika seseorang tidak ingin dicaci ketika berbuat kesalahan, maka janganlah ia mencaci orang yang berbuat salah. 

Aspek demikianlah yang sering kurang dari suatu masyarakat, bahkan dalam masyarakat yang sangat religius. Karenanya, selain terus meningkatkan kesalehan ibadah, seorang manusia juga perlu membangun hubungan baik dengan sesama manusia lainnya. Mereka yang hubungan kemanusiaannya telah terbangun dengan kokoh, akan selalu merendah walau ibadahnya semakin meningkat. Wallahu a’lam.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini