Semua Muslim sepakat bahwa memahami Islam harus melalui Al-Qur’an dan sunnah terlebih dahulu, karena keduanya adalah sumber utama ajaran agama. Namun, terkhusus dalam memahami Al-Qur’an, sejarah mencatat sekian kejadian kelam akibat kesimpulan (baca:penafsiran) yang salah, dan juga disalahgunakan, terhadap kitab suci yang diagungkan umat Islam ini.
Nadirsyah Hosen, atau yang dikenal dengan panggilan Gus Nadir, dalam buku Tafsir Al-Qur’an di Medsos menyatakan adanya serangkaian proses yang panjang dalam memahami maksud Al-Qur’an (Kalamullah). Ia menekankan bahwa kegagalan seseorang untuk menangkap kompleksitas penafsiran Al-Qur’an dapat membuatnya terjebak dalam klaim kebenaran absolut, bahkan berujung pada tindakan pembunuhan terhadap kelompok lain dengan alasan kitab suci.
Sejarah kelam penggunaan ayat sebagai legitimasi perilaku kekerasan terhadap muslim lain dimulai semenjak kekisruhan politik kekuasaan di masa awal Islam. Saat itu kaum yang dinamakan Khawarij (keluar dari kelompok muslim mainstream) menggunakan ayat La Hukma Illallah (QS. Al-Maidah: 44) karena tidak puas dengan Ali bin Abi Thalib yang menerima arbritase atau tahkim dengan pihak lawan, Muawiyah bin Abi Sofyan.
Dengan pemahamannya, Kaum Khawarij merasa sedang memperjuangkan makna ayat 44 surat Al-Maidah yang berarti “tiada hukum kecuali hukum Allah”. Alhasil, persoalan politik (perebutan kekuasaan) bergeser menjadi perjuangan ideologi yang berujung pada pembunuhan. Darah Ali bin Abi Thalib pun menjadi saksi atas kekejaman kelompok Islam yang bernama Khawarij. Mu’awiyah dan Amr bin Ash pun sebenarnya disebut Khawarij pantas untuk dibunuh karena ia merupakan bughat atau pemberontak atas kepemimpinan yang sah. Namun nasib keduanya saat itu masih mujur (Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction).
Di episode-episode selanjutnya, persoalan penafsiran ayat Al-Qur’an justru tidak hanya diawali dengan sebuah penafsiran, akan tetapi justru dikarenakan sikap kesengajaan sebagian raja-raja yang memanfaatkan kekuasaannya. Mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan ditafsirkan sesuai kehendaknya tanpa memperdulikan kaidah atau aturan ilmu Al-Qur’an.
Umayyah, sebagai Dinasti pertama dalam Islam setelah era Khulafaur Rasyidin dengan sengaja menggunakan ayat-ayat tertentu untuk memonopoli kekuasaan mereka. QS. Al-Anbiya’: 105, اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ, “bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” Dengan demikian, bagi Bani Umayyah, bumi adalah milik Allah dan Dia telah mempercayakannya kepada Khalifah, yaitu Khalifah Bani Umayyah yang merupakan kepala negara Islam (Hussein Abd Raf, Schools of Qur’anic Exegesis).
Untuk melihat bukti-buktinya, kita dapat melihat buku Gus Nadir yang lain, Islam Yes, Khilafah No yang dikutip langsung dari Tarikh at-Thabari. Dikatakan oleh at-Thabari bahwa sejumlah ayat dikutip seperti QS. Al-Isra: 60 yang menyebut pohon yang terkutuk. Oleh dokumen ini dikatakan bahwa tidak ada pertentangan maksudnya itu adalah Bani Ummayyah. Kemudian mengutip riwayat yang mereka kalim dari Nabi ketika melihat Abu Sufyan naik keledai bersama Muawiyah dan Yazid, lantas Nabi berkata, “Allah melaknat pemimpin, yang menaiki dan yang mengendari kuda”. Maksudnya ketiga orang ini mendapat laknat Nabi.
Ada cerita yang lebih masyhur lagi terkait penyelewengan kekuasaan atas persoalan apakah Al-Qur’an itu qadim atau makhluk. Kejadian ini berlangsung semenjak kekuasaan Khalifah Al-Makmun. Ia tidak segan menyiksa para ulama yang tidak mau mengikuti tafsiran penguasa bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Peristiwa ini cukup dikenal dengan istilah mihnah atau inquisition.
Kebijakan Khalifah Al-Makmun di atas dilanjutkan Khalifah setelahnya. Imam Ahmad bin Hanbal ditangkap dan diperintahkan untuk dicambuk oleh Khalifah al-Mu’tashim. Ibnu Sikkit, ahli sastra Arab yang menjadi guru kedua putra Khalifah al-Mutawakkil, diinjak perutnya hingga wafat. Ibnu Buwayti (salah satu murid terkemuka Imam Syafi’i) wafat di penjara dengan tangan terikat.
Imam Suyuti melaporkan dalam Tarikh al-Khulafa, bagaimana kepala Ahmad bin Nasr al-Khuza’I dipenggal oleh Khalifah al-Watsiq dan kemudian dikirim ke Baghdad, sementara tubuhnya diperintahkan untuk digantung di kota Samara. (Nadirsyah Hosen, Islam Yes, Khilafah No).
Masih terdapat ulama dan puluhan murid yang terkena imbas dari mihnah ini. Sebuah era di mana persoalan apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan yang membuat nyawa para ulama melayang. Dan seperti sifat dari sebuah sejarah, ia sangat mungkin akan berulang di tempat dan waktu yang berbeda. Apakah dalam bentuk yang lebih kejam atau bentuk yang lebih halus, tidak ada yang tahu.
Yang bisa kita lakukan sekarang adalah memiliki sikap yang tidak fanatik ketika ada sebuah penafsiran yang berbeda. Dan semua itu bisa efektif ketika kita memiliki kesadaran bahwa memahami sebuah tafsir itu bagus, namun akan lebih bagus lagi bila mau mencari alternatif jawaban lain dari ulama-ulama lain agar pemahaman kita terhadap Al-Qur’an akan lebih utuh.
Di sisi lain, mengadakan forum dialog antar umat beragama dengan fokus pada studi komparatif tafsir bisa menjadi langkah efektif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat serta membangun jembatan komunikasi yang lebih kokoh di antara berbagai pemeluk agama. Dengan melibatkan ahli tafsir dan tokoh agama dari beragam latar belakang, forum ini tidak hanya akan memperkaya wawasan peserta tentang nuansa dan interpretasi ajaran masing-masing agama, tetapi juga mendorong sikap saling menghormati dan toleransi.
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini