Jika ingin merasakan sensasi Jumatan yang berbeda di sekitaran Bandung atau Cimahi, mengapa tidak coba merasakannya di atas ‘kapal’?
Ini bukan sembarang kapal, karena tak mungkin ada perahu atau kapal yang beroperasi di sekitaran wilayah pegunungan seperti di Bandung, Jawa Barat. Namun cobalah singgah, jika ingin merasakannya, di suatu tempat di wilayah Baros, Cimahi. Tak terlampau jauh untuk menjangkaunya dari wilayah Bandung. Beruntunglah ada jalan tol. Dengannya, untuk mengjangkau masjid berujud kapal ini, kita bisa gunakan jalur tol Pasteur, dan keluar exit tol Baros. Cukup dengan selembar uang dua ribuan, maka kita makin dekat dengan keberadaannya.
Dari exit tol Baros, ambil kiri, dan arahkan tujuan ke arah Cimahi. Tak lebih dari 10 menitan, kita akan bertemu dengan Jalan H. Haris. Kita ambil kanan, maka sejurus kemudian, kita akan disambut dengan bagian depan kapal yang berdiri kokoh di persimpangan jalan H. Ampi. Inilah masjid AL-BAAKHIRAH. Masjid kebanggaan warga Cimahi beberapa tahun terahir ini.
Jika kau sempat mewartakannya lewat Instagram, dan berfoto di bagian depan masjid ini, lalu berikan keterangan jika kita akan melaksanakan salat Jumat di atas kapal, maka percayalah, banyak orang akan bertanya, di pelabuhan manakah kita saat itu berada. Karena konon, belum ada sebelumnya di Indonesia, masjid yang berujud kapal utuh.
Merujuk pada bentuk kapalnya, kita pasti akan dengan mudah akan menebak, pemilik atau penggagas berdirinya bangunan masjid berupa kapal ini pastilah orang yang sangat dekat dengan kehidupan laut. Tak salah jika demikian, karena menurut cerita warga sekitar RT 02/06 Kelurahan Baros ini, ada warganya yang bernama H. Budianto (almarhum) yang punya latar belakang seorang kelasi kapal laut yang berkeinginan meninggalkan wakaf dengan mendirikan masjid bagi warga sekitarnya.
Lalu direkalah bangunan masjid yang dibuat sedemikian rupa agar mendekati dengan kebiasaannya selama beribadah di atas laut. Sebegitu detailanya, hingga kita bisa menemukan barang-barang yang hanya biasa kita temukan di lambung kapal, ada di masjid ini.
Misalnya life-vest, atau jaket untuk pelampung yang biasa kita lihat di kelasi kapal ditempatkan tepat di atas mimbar imam. Ada dua jaket pelampung berwarna oranye yang demikian kontras dengan mudah ditemukan di bagian dalam masjid. Dan lepampung inipun bukan replika, benar-benar bisa digunakan sesuai penggunannya.
Menurut arsiteknya, Testa Radenta, yang juga anak bungsu H. Budianto, konsep kapal ini juga yang akhirnya membuat masjid ini dinamakan Al Baakhirah” yang artinya “lautan”.
Kita akan dengan mudah menemukan ornamen-ornamen laut berada dan menjadi hiasan di masjid. Ada alasan filosofis di balik cerita pembangunan masjid ini, yakni almarhum ingin meneladani kisah Nabi Nuh as. seperti yang tercantum dalam Al Quran dengan membangun bahtera demi menyelamatkan umatnya dari banjir besar.
Dan di hari Jumat, kita akan mendapati pemandangan keharmonisan yang indah. Karena tak kurang dari 100 meter dari masjid ini juga berdiri masjid kampung. Keduanya juga diaktifkan untuk kegiatan salat Jumat. Hanya karena lokasinya berdekatan, pengeras suara juga diturunkan, gunanya demi menghormati kegiatan di tempat lain. Masjid ini sebelum Jumatan juga tidak memperdengarkan bacaan keras murotal al-Qur’an. Kita hanya akan mendapati beberapa jamaah tengah membacanya dengan bacaan yang lembut.
Ruangan dalam yang luasnya lebih kurang berukuran 6 * 6 meter ini bisa menampung kurang lebih 14 jamaah persafnya hingga 7 baris kebelakang. Setengah jam sebelum azan berkumandang, biasanya kita akan mendapati ruangan ini penuh, hingga ruangan di luar bisa menjadi tempat bagi jamaah yang terlambat datang.
Salat jumat di masjid ini juga mengumandangkan azan hanya sekali. Saat khutib sudah diatas mimbar, maka muazin akan bergegas menunaikan tugasnya. Saat penulis mengikuti salat Jumat pada Jumat 17 Maret 2017 ini, khotib membawakan ulasan mengenai surat As-Syaba ayat 20 hingga 23.
Meski ayat ini menjadi peringatan keras terkait keimanan dan hari akhirat, kita akan mendapati penyampaian khutbah yang tetap tenang. Khotib hanya secara sekilas menyampaikan apa yang menjadi kekhawatirannya apabila kita lupa akan hari akhir yang jelas-jelas sering disebut dalam al-Qur’an.
Khutbah yang disampaikan jumat itu juga tergolong pendek, karena tak lebih dari 17 menit, khutbah pertama usai dirampungkan. Selepasnya kita bisa mendengarkan doa-doa pendek di khutbah kedua. Usai kegiatan salat Jumat ini, kita akan sulit menemukan tempat untuk mencari menu makan siang. Tak heran, bila seperti jumat itu, kita akan dijemput di luar oleh rombongan ibu-ibu pengajian sekitar masjid yang sudah menyiapkan jajanan. Seperti siang itu, beberapa slice pizza dibagikan secara cuma-cuma kepada jamaah salat jumat. Beberapa siswa SMP dan SD yang kebetulan sekolahannya tak jauh dari masjid ini juga kebagian, tersirat raut muka bahagia mereka yang telah menjalani jumatan disini.