“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Qs. Ibrahim [14]: 37)
Demikian petikan doa indah Nabiyallah Ibrahim as, sang Khalilullah, kekasih Allah, saat hatinya dirundung duka karena tak tega meninggalkan isteri dan bayinya di padang tandus tak berpenghuni. Siti Hajar, sang isteri tak kalah berduka. Sebagai isteri sekaligus ibu dari Nabi Ismail as, terbersit rasa takut ditinggal oleh suaminya tanpa satupun manusia. Namun, ia teguhkan batinnya. Ia yakin ini adalah perintah Allah. Sekuat tenaga, Hajar hapus rasa gelisah dan kekhawatirannya meski tetap perasaan takut tak kuasa dihindarinya.
Ialah Sayyidah Hajar al-Mishriyyah. Buku-buku sejarah sering menyebutnya sebagai ‘budak’ Nabi Ibrahim as dan isterinya, Siti Sarah. Namun sebetulnya, Siti Hajar adalah puteri seorang Raja Memphis. Memphis, ibukota kerajaan Mesir Kuno yang terletak di sebelah barat Sungai Nil selatan Cairo (sekarang) sebelum anak-anak sungai nil. Demikian Fathi Fawzi Abdul Mu’thi dalam karyanya an-Nisa’ fi Hayat al-Anbiya’. Ayahanda Siti Hajar diserang oleh pasukan Hexos, pasukan yang berhasil melumpuhkan kerajaan hingga Siti Hajar pun ditangkap dan menjadi tawanan. Setelah Memphis porak poranda, Ibrahim as dan Siti Sarah datang ketika kondisi Palestina pun tengah paceklik. Disinilah kemudian Siti Hajar bertemu dengan isteri Nabi Ibrahim as, Siti Sarah yang hampir saja dilukai oleh raja zalim yang berkuasa di Mesir kala itu.
Interaksi Siti Sarah dan Siti Hajar semakin intens terlebih ketika Siti Hajar diminta untuk ikut hijrah ke Palestina. Hingga saatnya Siti Sarah mengidamkan buah hati namun tak kunjung ada, Nabi Ibrahim as diminta untuk mempersunting Siti Hajar hingga akhirnya Siti Hajar mengandung Nabi Ismail as. Disinilah awal mula ujian demi ujian sang perempuan kuat peneguh risalah dahsyat ini dimulai. Dalam keadaan masih menyusui bayi Ismail as, dirinya harus Ikhlas dipindah ke sebuah tempat asing nan tandus. Bukan, bukan karena Siti Sarah cemburu – seperti banyak literatur menyebutnya— Fathi Fawzi tidak menyebut Siti Sarah diterpa rasa cemburu melainkan hal ini telah menjadi skenario sempurna Allah untuk meneguhkan risalah besar agama hanif ini.
Jika kita tengok literatur tafsir, Bint Syathi’ misalnya dalam Umm an-Nabiy menyebutkan, keberadaan Siti Hajar di tengah-tengah Siti Sarah dan Nabi Ibrahim as ialah untuk tujuan yang besar. Sebab, tidak banyak perempuan yang menjadi sebab turunnya risalah agama terlebih agama Islam yang lahir dalam tradisi patriarki yang mengakar kuat. Siti Hajar ialah potret keindahan Islam betapa Allah meneguhkan sebuah risalah berkat ketegaran seorang perempuan.
Memang, Al-Quran tidak menyebutkan secara eksplisit nama Hajar dalam doa Nabi Ibrahim as di atas, namun secara implisit, doa Nabi Ibrahim as menyiratkan kepasrahan dan tawakkalnya seorang hamba sebab meninggalkan orang yang ia cinta di sahara tanpa satupun manusia. Saat akhirnya Ibrahim as mengatakan, ini adalah perintah Allah, maka Hajar berusaha menguatkan batinnya, ia meyakini bahwa ini adalah perintah Allah. Bisa jadi, Hajar sendiri belum tahu persis apa maksud Allah atas peristiwa ini?
Saat pun akhirnya bayi Ismail as menangis sejadi-jadinya lantaran kehausan, Hajar merasa takut dan gelisah. Hal yang wajar dirasakan dalam batin seorang Ibu. Ibu mana yang tega mendengar anaknya menangis kehausan? Sementara air dan perbekalan kian menipis. Ia pun berusaha sekuat tenaga mencari sumber mata air meski ia tahu rasanya mustahil padang tandus itu mengeluarkan air. Namun jiwanya kian yakin bahwa pertolongan Allah pasti datang. Ia pun terus dan terus berikhtiar; di tengah keputusasaan, tubuh yang kian letih berputar namun air tak kunjung memancar. Satu putaran, dua putaran hingga akhirnya tujuh putaran, ia hampir layu kelelahan, sekelebat ia melihat pancaran air keluar di antara dua kaki bayi Ismail. Siti Hajar sontak terkejut. Rona syukur dan bahagia terpancar di wajahnya, ia kumpulkan air itu sekuat tenaga hingga tak sanggup lagi membendung air yang melimpah ruah. Zam-zam demikian kita sebut mata air ‘istimewa’ yang masih terus memancar hingga detik ini.
Ketegaran Siti Hajar dalam ikhtiar teguhnya mencari air menjadi ritual haji seluruh umat Islam sedunia. Sa’i. berlari kecil, persis meneladani perjuangan seorang Ibu yang tengah berjuang mencari air demi kehidupan sang anak. Simbol keteguhan seorang hamba dalam meraih pertolongan Rabb-nya. Berkat upayanya ini, kitab-kitab hadits menyuguhkan sebuah doa dari Rasulullah Saw untuk Siti Hajar, ‘Semoga Allah merahmati Ibu Nabi Ismail (Siti Hajar), karena kalau dia tidak segera membendung air zam zam, tentulah air itu akan menjadi air yang mengalir’. Doa ini juga banyak terdokumemtasi dalam kitab hadis, salah satunya di Shahih Al-Bukhari, hadis nomor 3112 dalam riwayat Ibn Abbas. MasyaAllah…
Risalah berlari kecil dari bukit Shafa hingga bukit Marwa tak berhenti disini. Berikutnya, Allah kembali menguji keimanan Nabi Ibrahim as untuk berkenan menyembelih puteranya yang dalam hal ini, Siti Hajar pun disebut dalam literatur Tafsir, ath-Thabari misalnya Siti Hajar tidak melarang apa yang diperintahkan Allah pada putera mereka kendati pasti, rasa sedih dan sesak menghujam. Namun, Hajar memilih untuk diam. Belajar patuh dan taat atas perintah Allah. Buah ketegaran dan keikhlasan kedua orangtua dan puteranya inilah, Allah perlihatkan melalui risalah berqurban yang dilaksanakan umat Muslim seluruh dunia setiap tahunnya.
Semoga, kita mampu meneladani ketegaran Siti Hajar dalam lika-liku kehidupan yang sarat dengan ujian. Siti Hajar, potret perempuan kuat di balik risalah dahsyat.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini