Di tengah derasnya arus kehidupan modern, tidak sedikit orang merasa terjebak dalam keputusasaan. Masalah ekonomi, tekanan pekerjaan, patah hati, atau bahkan krisis identitas membuat sebagian orang kehilangan arah. Ada yang mencoba bertahan, ada pula yang menyerah. Sama halnya dengan kasus seorang ibu yang menggantung diri dan meracuni kedua anaknya karena himpitan ekonomi. Peristiwa ini begitu pedih dan menyayat hati, terlebih bagi kita sebagai sesama Muslim yang merasa satu tubuh dalam ikatan persaudaraan. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali teladan Rasulullah Saw, sosok yang sepanjang hidupnya tidak pernah kehilangan harapan, meski ujian yang dihadapi begitu berat.
Bulan Maulid bukan hanya momen mengenang kelahiran beliau, tetapi juga kesempatan untuk menyalakan kembali semangat hidup. Salah satu teladan terbesar Nabi Saw adalah optimisme; sikap yang lahir dari keyakinan penuh kepada rahmat Allah. Terkait optimisme, banyak sekali sabda ataupun akhlak Nabi yang mengajarkan sikap optimisme. Diantaranya riwayat Hadis yang dikutip oleh Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim, juz 2, hal.101, yaitu riwayat Imam Ahmad dari sahabat Jabir. Sabda Nabi ini diucapkan menjelang kewafatannya:
“لَا يَمُوتَنَّ أحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ”
“Jangan sampai salah seorang dari kalian menghadapi kematian kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah azza wa jalla (H.R. Imam Ahmad dan Imam Muslim)”.
Imam al-Munawi di dalam kitabnya Faidul Qadir Juz 6 hal 589 menjelaskan bahwa Hadis diatas adalah perlunya berbaik sangka kepada Allah yaitu, meyakini bahwa Allah mengasihi dirinya dan mengampuni dosa-dosanya. Hal ini berguna untuk membuat dirinya terhindar dari dosa besar berupa putus asa terhadap rahmat Allah. Hadis ini menegaskan bahwa optimisme adalah ajaran hidup. Berbaik sangka kepada Allah berarti percaya bahwa setiap ujian pasti ada jalan keluarnya, setiap luka akan berganti dengan penyembuhan, dan setiap kesulitan diiringi dengan kemudahan.
Melihat isu yang beredar di media sosial hari ini tentang seorang ibu yang melakukan bunuh diri dan meracuni kedua anaknya karena masalah ekonomi, terasa sangat miris. Peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya menghadirkan lingkungan yang positif dan suportif untuk menenangkan serta menguatkan keluarga yang ditinggalkan.
Berkaca pada kehidupan Nabi Muhammad, beliau juga mengalami berbagai ujian yang berat dan mengguncang kesehatan mental. Namun, beliau tetap tangguh dan berjiwa optimis setiap kali ditimpa musibah. Salah satu peristiwa yang paling menyedihkan adalah ketika beliau diusir dan dilempari batu oleh penduduk Thaif. Dalam riwayat Muslim dikisahkan, setelah peristiwa itu malaikat datang menghampiri Rasulullah dengan penuh simpati. Malaikat bahkan menawarkan untuk membalas perlakuan penduduk Thaif dengan melemparkan gunung kepada mereka. Akan tetapi, Rasulullah menolak tawaran tersebut. Beliau tidak ingin membalas keburukan dengan keburukan, melainkan berdoa memohon kebaikan bagi kaumnya.
Selanjutnya, ketika para sahabat dilanda ketakutan dalam Perang Khandaq, Nabi Muhammad Saw justru menyalakan semangat mereka dengan kabar kemenangan besar yang akan datang. Beliau memberikan motivasi, berdoa, bahkan sesekali bersenandung untuk membakar semangat di tengah-tengah sahabat Muhajirin dan Anshar. Rasulullah bersenandung:
“Tiada kehidupan yang sempurna kecuali kehidupan akhirat.
Maka ya Allah, rahmatilah kaum Anshar dan kaum Muhajirin.” Mendengar itu, para sahabat pun serentak menyambut dengan lantang:“Kamilah yang berjanji setia kepada Muhammad,
untuk berjuang sepanjang hayat, selama-lamanya!”
Dari hadis diatas, Nabi menyebarkan sikap Optimisme pada diri sendiri lalu menular, mengubah kecemasan menjadi energi perjuangan. Keputusasaan adalah salah satu faktor yang membuat jiwa rapuh. Dalam banyak kasus, rasa putus asa membuat seseorang merasa tidak berharga atau bahkan menyerah terhadap hidupnya. Islam dengan tegas mengingatkan agar tidak larut dalam keputusasaan. Optimisme dalam Islam bukan sekadar “berpikir positif” ala motivasi modern, melainkan sikap iman: percaya penuh bahwa Allah Maha Pengasih dan selalu menyediakan jalan. Sikap ini juga berdampak langsung pada kesehatan mental. Jiwa yang optimis lebih tahan terhadap stres, lebih mampu bangkit dari kegagalan, dan lebih siap menghadapi tantangan hidup.
Al-Quran sudah lebih dahulu menyampaikan tentang rasa optimisme pada Surat Yusuf ayat 87 :
“Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.”
Bersamaan dengan surat al-Hijr ayat 56, bahwa orang-orang mukmin tidak akan berputus asa karena musibah yang menimpanya, dan tidak goyah imannya karena bahaya yang melanda. Maka kunci dari semua itu ialah bersabar dan tabah saat menghadapi segala kesulitan yang dialaminya. Dengan begitu, momentum Maulid ini seyogianya kita jadikan sebagai pengingat untuk menyalakan kembali semangat hidup, meneladani Rasulullah Saw, dan tidak pernah kehilangan harapan pada rahmat Allah. Wallohu A’lam bishowab.
Rifa Tsamrotus Saadah,S.Ag, Lc, MA., Dosen STIU Darul Quran Bogor dan Ustadzah di Cari Ustadz
Tertarik mengundang ustadz Rifa Tsamrotus Saadah,S.Ag, Lc, MA.? Silahkan klik disini