Kerusakan lingkungan yang telah nyata adanya, berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup manusia. Sebagaimana QS. Ar-Rum/30: 41 yang menyebutkan bahwa ‘telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia’ dibuktikan melalui rilis BNPB bahwa sepanjang tahun 2023 bencana di Indonesia mencapai 5400 bencana. Namun yang tergolong sebagai bencana alam, hanya berjumlah 50-an. Lantas, bencana apa yang jumlahnya 5000 sekian lebih itu? Greenpeace Indonesia dalam acara Workshop Kerusakan Lingkungan; Peran Dakwah Hijau Da’i yang berkolaborasi dengan CariUstadz, Ummah for Earth dan Islami.co (14/12) menguraikan, ribuan bencana tersebut, bukan sekedar ‘takdir’ Tuhan, melainkan adanya ‘kezaliman’ yang manusia lakukan.
Mengapa demikian?
Sekilas kita simak secara lebih dalam Qs. Ar-Rum/30: 41 yang telah disebutkan, ayat ini dimulai dengan lafadz dzahara yang berarti tampak, lawan katanya ialah bathana yang berarti tidak tampak, demikian al-Ashfahani dalam Mufradat-nya. Lebih lanjut, Ashfahani mengartikan fasad sebagai keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata fasad dalam Al-Quran digunakan dalam konteks yang variatif baik jasmani, jiwa dan juga lingkungan. Antonimnya ialah ash-shalah yang berarti manfaat atau berguna. Beberapa ulama kontemporer memahami al-fasad dalam ayat di atas sebagai kerusakan lingkungan baik di darat maupun di laut.
Menariknya, jika kita baca petikan ayat berikutnya, siapa subjek dari kerusakan itu? terjawab melalui lafaz ‘bimaa kasabat aydinnaas’ yang jika diartikan secara bahasa berarti ‘disebabkan ulah tangan manusia’.
Beberapa mufassir kontemporer, semisal Prof. Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas bahwa darat dan laut telah mengalami kerusakan, ketidakseimbangan, serta kekurangan manfaat. Laut telah tercemar sehingga ikan mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Alhasil, keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Sementara itu, Ibn ‘Âsyûr mengemukakan bahwa alam raya telah diciptakan Allah dalam satu sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Tetapi, manusia melakukan kegiatan buruk yang merusak sehingga terjadi kepincangan dan ketidakseimbangan dalam sistem kerja alam.
Berpijak pada dua pendapat mufassir di atas, makna tangan disini bukan saja berarti tangan secara fisik melainkan juga ada aksi kezaliman terhadap alam baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun pemangku jabatan dan kepentingan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan luas kawasan hutan Indonesia saat ini tercatat sekitar 125,9 juta hektar (ha) atau seluas 63,7 persen dari luas daratan Indonesia. Namun memprihatinkannya, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan menyulap 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air–seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Hal ini, merupakan alarm bahaya bagi komitmen iklim dan biodiversitas Indonesia. Alih fungsi hutan bakal kian merusak lingkungan hidup, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati, dan merugikan masyarakat–khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini hidup bergantung dari alam sekaligus menjaganya.
Rencana untuk ‘merampas’ kembali hutan sebagai paru-paru dunia tentu pilihan yang merugikan kita semua. Namun, membincang hutan seolah isu yang jauh dari kita. Tak banyak pengajian maupun majelis taklim mendiskusikannya, padahal, hutan Indonesia tengah menghadapi bencana serius; eksploitasi terus menerus terjadi demi meraup keuntungan pribadi. Sudah saatnya kini para penyampai pesan-pesan keagamaan membahas hutan sebagai hadiah maha penting dari Tuhan. Ia adalah paru-paru dunia, darinya Tuhan menghadiahkan oksigen terbaik agar kita bisa terus bernapas.
Memang, jika ditelusuri, tidak banyak kata hutan dalam Al Quran, menurut Qaris Tajudin misalnya, hutan seolah dianggap bukan bagian dari kosmologi yang sejajar. Meski ada sejumlah ayat Al-Quran yang memerintahkan kita mengamati alam, hubungan manusia dan alam tidak dikesankan sejajar dalam banyak tafsir. Manusia selalu digambarkan lebih tinggi. Munculnya pemahaman bahwa hubungan antara manusia dan alam sebatas pada manfaat ini lebih banyak mengacu pada tafsir-tafsir yang ditulis oleh ulama yang tinggal di negara-negara Timur Tengah. Tidak keliru, karena alam seperti itulah yang mereka lihat sehari-hari.
Iqbal Damanik, Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, dalam diskusinya ‘Bagaimana Hutan Melindungi Umat Manusia’, pada akhirnya membuka wawasan penulis (dan semoga para dai dan daiyah di Indonesia) untuk lebih vokal mengangkat isu ini di mimbar-mimbar masjid dan taklim ibu-ibu. Mengapa? Bisa jadi kita bukan pemangku kebijakan dan jauh dari kepentingan, tapi urusan #JagaBumi, adalah urusan kita terlepas apapun profesi kita sehari-hari.
Jika kita melihat Qs. Al-Baqarah/2: 30 memberikan tuntunan bagaimana manusia memperlakukan alam, maka kita akan menemukan satu lafaz yang seringkali diungkap yakni ‘khalifah’. Meski secara spesifik ayat ini berbicara tentang terpilihnya Nabi Adam as sebagai pemimpin di bumi, secara general, ayat ini menjadi sangat spesial karena dipilihnya manusia sebagai khalifah, berarti Allah mengetahui secara pasti sebab manusia telah diberi potensi akal.
Senada dengan apa yang diuraikan oleh tim Islami.co tentang perspektif ‘khalifah’ yang disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah/2: 30– bukan waktunya lagi manusia memperlakukan dirinya hanya sebagai pengambil manfaat dari alam. Namun, melampaui itu, khalifah dalam al-Quran diartikan sebagai persona aktif, pemakmur dan pelestari bumi. Karenanya, perspektif lingkungan selalu penting dan perlu disuarakan dalam kajian-kajian religi. Mari, kita bangun kesadaran Qurani bahwa manusia adalah bagian dari bumi. Di bumi kita hidup dan di bumi kita akan mati. Maka, sudah semestinya dakwah humanis tentang alam perlu digaungkan oleh para da’i dalam tugas-tugas keagamaanya. Sebab, jika bumi hilang fungsinya, kita bisa hidup dimana? Jika hutan habis dilibas, dimana lagi kita peroleh oksigen terbaik untuk bernapas?
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini