Islam sebagai sebuah agama tidak sekadar bernuansa teologis melainkan juga sosiologis. Artinya, Islam juga mengemban tugas sosial-kemanusiaan tak terkecuali pelayanan publik. Selama ini pelayanan publik di Indonesia, hampir semuanya sepakat, terkesan bertele-tele (menunda pelayanan), mahal (pelayanan tidak tepat waktu, maraknya pungutan liar) dan petugas yang tidak kompeten dan profesional. Padahal pelayanan publik ini memegang peranan penting dalam menunaikan tugas-tugas kemanusiaan. Oleh karena itu, Alquran dan hadis Nabi saw mengatur sedemikian rupa bagaimana pelayanan publik itu dapat berjalan dengan baik sesuai norma dan prinsip-prinsipnya.
Ramah
Prinsip ramah ini harus menjadi pedoman bagi siapapun dan instansi manapun yang menyelenggarakan pelayanan publik, instansi pemerintahan utamanya. Dalam menjalin hubungan ranah sosial terhadap sesama apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak, Islam sangat serius mengajarkan kepada kita untuk selalu menunjukkan sikap saling ramah dan penyayang kepada sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Selain itu, sikap ramah ini juga menjadi kunci sukses keberhasilan dakwah Rasulullah SAW.
Prinsip ini tertuang dalam ayat,
Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Jika kamu bersikap keras dan berhati-hati, tentu saja mereka menjauhkan diri dari sekitarmu (Q.S. Ali Imran: 159)
Dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, Ar-Razi mengatakan bahwa kelemahlembutan dan keramahtamahan itu bisa muncul karena kebagusan akhlak (husnul khuluq) sesama makhluk. Dari kebagusan akhlak itulah sebab turunnya rahmat Allah SWT. Andai kata Nabi SAW ketika itu berdakwah dengan cara kekerasan, tentu saja mereka berlari dan menjauhkan diri dari-Nya.
Jika dikontekstualisasikan ke dalam pelayanan publik, maka prinsip keramahtamahan ini menjadi penting. Boleh jadi produk/ jasa yang ditawarkan sangat bagus, akan tetapi jika tidak disertai dengan pelayanan yang ramah pastilah orang akan enggan datang kepadanya.
Adil
Prinsip pelayanan publik yang kedua adalah bertindak adil dan tidak diskriminatif. Prinsip ini saya kira sejalan dengan sila kelima Pancasila dan tentu saja ajaran Islam dan semua agama. Prinsip ini dalam dideklarasikan berulang kali dalam Al-Quran, terutama dalam konteks penegakan keadilan sebab prinsip keadilan tidak bisa tidak dilepaskan dari aspek ilahiyah (ketuhanan) maupun basyariyah (kemanusiaan).
Allah swt berfirman dalam Al-Quran,
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 58)
Ayat di atas mengeksplisitkan bahwa sebelum keadilan ditegakkan, maka didahului dengan sifat amanah. Sifat amanah, jujur, dapat dipercaya, berangkatnya adalah dari rasa takut kepada Allah, tidak takut kepada manusia, dan tidak menjual agama dengan harga murah. Ini dipersyaratkan kepada siapa saja yang diberi amanah kepemimpinan.
Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Maidah: 44, “Janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah Swt. ada tiga macam: a) karena benci dan ingkarnya kepada hukum Allah Swt., orang yang semacam ini kafir (surah al-Mā’idah/5: 44); b) karena menuruti hawa nafsu dan merugikan orang lain, dinamakan zalim (surah al-Mā’idah/5: 45); dan c) karena fasik, sebagaimana terdapat dalam ayat 47 surah ini”.
Sifat amanah ini sangat penting dimiliki setiap orang terlebih sebagai pelayan publik. Hanya dengan sifat amanah lah seseorang dipercaya atau memperoleh trust dari rakyatnya. Jika seorang pemimpin tidak memperoleh kepercayaan dari rakyatnya, maka tunggu saja kehancurannya.
Bahkan, sekalipun orang lain berbuat tidak baik kepada kita, Islam mengajarkan harus adil dan tidak boleh ada conflict of interest sehingga menyebabkan kita tidak berlaku adil kepada mereka. Allah berpesan, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil kepadanya”. Begitu mulianya derajat keadilan di sisi Tuhan untuk melindungi umat manusia agar diliputi rasa tenang, makmur, sejahtera dan kebahagiaan.
Memudahkan
Prinsip yang ketiga adalah kemudahan. Berulang kali Nabi SAW menyampaikan, “yassiru wala tu’assiru wabasysyiru wala tunafiru”, mudahkanlah dan janganlah engkau persulit orang lain dan berilah kabar gembira pada mereka, jangan membuat mereka menjadi lari (HR. Bukhari). Belakangan ini, kita sering mendengar adagium yang familiar “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, kalau bisa diruwetkan kenapa harus digampangkan, kalau bisa ditunda kenapa harus dipercepat”.
Tentu adagium tersebut sangat paradoks dengan prinsip memudahkan dalam Islam. Islam menjunjung tinggi prinsip ini karena menyangkut urusan sosial-kemasyarakatan dan tentu saja menyangkut urusan keagamaan. Bisa dibayangkan jika satu urusan kecil saja dalam hajat rakyat yang tidak terselesaikan, tentu akan merembet ke persoalan lain. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Barangkali siapapun yang mengemban tugas pelayanan publik, semoga pelayanannya semakin baik dan memudahkan.
Profesional
Prinsip terakhir adalah profesional dalam arti sesuai aturan (SOP) yang berlaku. Prinsip ini harus dipegang dalam pelayanan publik. Ini bukan instansi keluarga, melainkan instansi publik. Maka tidak bisa satu orang memiliki privilege sedangkan yang lain tidak. Semua orang sama dan setara, tidak boleh ada yang dirugikan. Sebab betapa bahayanya jika pelayanan publik tebang pilih terhadap kepentingan segelintir orang/ kelompok tertentu, berapa banyak publik/ rakyat yang dirugikan, dan berapa banyak kepentingan publik yang diabaikan hanya karena lebih mengutamakan mereka yang punya kuasa jabatan, kuasa uang dan kuasa sumber daya.
Nabi Muhammad SAW walaupun memiliki privilege, beliau sama sekali menaati peraturan dan mematuhi SOP yang berlaku serta tidak bertindak semena-mena hanya karena Ia merupakan seorang rasul, pemimpin keagamaan sekaligus pemimpin kenegaraan misalnya. Setidaknya hal ini bisa dilihat bagaimana Nabi menyelesaikan konflik abadi para pemuka suku di jazirah Arab tatkala ribut soal siapa yang berhak meletakkan hajar aswad ke tempatnya. Dokumen sejarah ini juga berulang ketika Nabi SAW merumuskan dokumen perundang-undangan bagi masyarakat Madinah yang heterogen, yang kemudian dikenal Piagam Madinah.
Jadi, tidak ada sejarahnya Islam dan Nabi Muhammad SAW bertindak semena-mena dan tidak ada preseden yang memotret kalau Nabi SAW menggunakan privilege untuk kepentingan pribadinya. Ini lah yang harus diteladani oleh siapapun bagi yang mengemban tugas sebagai pelayan publik, lebih-lebih seseorang yang diberi kewenangan besar (presiden, menteri, tokoh, dll) harus mengutamakan prinsip ini. Wallahu a’lam.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini