Safar: Betulkah Bulan Malapetaka?

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs at-Taghabun/64: 11)

Alhamdulillah, umat Islam tengah memasuki salah satu bulan Hijriyah istimewa; Safar. Sesuai dengan namanya, Safar berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari tiga huruf (صفر) terdiri dari huruf shad, fa’, dan ra’ yang bila digabungkan akan membentuk kata yang beragam. Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul ‘Arab mendefinisikan gabungan tiga huruf tersebut sebagai shufrah yang berarti kuning atau dapat diartikan sebagai shafar yang berarti kosong. Penamaan safar dalam konteks ini lebih dekat dengan makna kosong, sepi, atau sunyi. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsîr Ibnu Katsîr menjelaskan bahwa nama bulan Safar berkaitan dengan kondisi masyarakat Arab saat itu yang sepi ditinggalkan penghuninya untuk berperang maupun bepergian. Menurut sebagian ulama dalam kitab Muhakkam, kepergian bangsa Arab ini untuk mengumpulkan makanan ke berbagai penjuru tempat yang dilakukan dengan cepat karena menghindari teriknya sinar matahari musim shaif (panas).

Penjelasan lain dari Ibnu Manzhur menjelaskan penamaan Safar dikarenakan beberapa alasan, pertama seperti yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir tentang ditinggalkan penduduknya. Kedua, bangsa Arab pada saat itu memiliki kebiasaan memanen semua tanaman kemudian mengosongkan lahan-lahan mereka. Ketiga, pada bulan Safar orang-orang Arab memiliki kebiasaan untuk memerangi setiap kabilah yang datang hingga harus pergi meninggalkan Arab tanpa bekal (kosong).

Selain dari kondisi masyarakat, sebagian orang Arab mengartikan Safar sebagai jenis penyakit perut mematikan yang berbentuk ular besar. Pada zaman Jahiliyah, bulan Safar disebut sebagai bulan najir (panas) karena pada bulan tersebut cuaca sangat panas sehingga dianggap sebagai bulan yang penuh malapetaka, mendatangkan musibah, dan banyak penyakit.

Kepercayaan bahwa Safar ialah bulan malapetaka, diyakini hingga masyarakat dwasa ini. Namun, apakah benar bahwa Safar ialah bulan musibah, bala’ dan sial? Untuk membahas ini, mari kita telusuri ayat-ayat Al-Quran yang mendiskusikan secara tekstual tentang musibah, salah satunya Qs. At-Taghabun/64: 11 seperti yang telah diurai oleh penulis pada bagian awal artikel ini.

Dalam ayat tersebut, Allah membuka dengan lafaz musibah (berasal dari bahasa Arab yang seakar kata dengan ashaba yang berarti menimpa, bagian, takdir, dsbnya) juga lafaz idzn (izin).

Terkait dengan ayat di atas, Muhammad Quraish Shihab menguraikan bahwa tiada satu kejadian pun di atas bumi ini, sekecil apapun perkara itu melainkan telah diizinkan oleh Allah (untuk terjadi). Namun, perlu dicatat bahwa izin Allah bagi terjadinya sesuatu tidak otomatis menandai restu dan rida-Nya. Karena itu, izin-Nya ada yang bersifat syar‘iy dalam arti direstui atau dibolehkannya untuk dilakukan tanpa sanksi apa pun, dan ada juga yang bersifat takwîni dalam arti Dia tidak menghalangi terjadinya karena itu merupakan bagian dari sistem yang diberlakukan-Nya bagi semua pihak. Atas dasar itu pula bisa jadi ada musibah atau petaka yang menimpa seseorang yang tentu saja diizinkan-Nya tetapi tidak direstui- Nya. Bisa juga ada musibah yang menimpa yang dituntut oleh-Nya untuk dibendung dan diatasi. Seperti kezaliman yang menimpa. Itu adalah atas izin-Nya melalui sistem yang Dia tetapkan, tetapi Dia juga mendorong untuk menanggulangi musibah kezaliman itu dengan menggunakan bagian dari sistem yang ditetapkan-Nya dan yang juga keberhasilan atau kegagalan menanggulanginya adalah bagian dari sistem itu.

Selain itu, Imam Thabâthabâ’î memahami ayat 11 di atas dalam arti Allah Swt. adalah Rabb al-‘Âlamîn, yakni Tuhan Pengendali alam raya. Rubûbiyyah atau pengendalian-Nya itu berarti bahwa hanya Dia sendiri yang menguasai segala sesuatu, Tidak ada Penguasa selain-Nya. Sistem yang berlaku di alam raya ini adalah kumpulan dari seluruh pengendalian-Nya terhadap makhluk- Nya. Dengan demikian, tidak bergerak atau diam sesuatu kecuali atas izin-Nya. Tidak ada satu aksi dari satu pihak, tidak juga satu reaksi kecuali melalui pengetahuan-Nya yang mendahului aksi dan reaksi itu serta atas dasar kehendak-Nya. Tidak keliru pengetahuan dan kehendak-Nya tidak juga tertolak ketetapan-Nya. Nah, dengan demikian, penerimaan bahwa Dia adalah Allah mengantar jiwa menemukan hakikat-hakikat di atas dan mengantar pula hati untuk tenang, tidak resah, dan guncang. Inilah yang dimaksud dengan (wa man yu’min billâh yahdi qalbah/ dan siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk pada hamba tersebut).

Senada dengan uraian di atas, Sayyid Quthub menulis bahwa sebagian dari ulama salaf (generasi abad I hingga III H) memahami penggalan ayat ini berbicara tentang keimanan kepada takdir Ilahi serta taslîm (penerimaan hati) atas musibah yang terjadi. Sahabat Nabi saw., Ibn ‘Abbâs, menafsirkan memberi petunjuk hatinya dalam arti memberi petunjuk secara mutlak, membuka hatinya hakikat Ladunniy yang tersembunyi, dan mengantarnya berhubungan dengan sumber segala sesuatu serta segala kejadian. Di sana, dia melihat awal dan tujuannya dan ketika itu dia akan merasa tenang, mantap, dan bahagia. Kemudian, dia akan mengetahui pengetahuan yang bersifat kulliy (menyeluruh) sehingga ia tidak memandang secara juz’iy (parsial) yang diliputi oleh kesalahan dan keterbatasan. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub.

Jika kita melihat dari teks-teks hadits Rasulullah, salah satunya Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada kesialan karena burung hamah, dan tidak ada kesialan pada bulan Safar. Dan larilah dari orang yang berpenyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa!” (Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, no. 5707) atau dalam teks lain, Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada kesialan pada bulan Safar, dan tidak ada kesialan karena burung hamah.” (Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya no. 5717 dan Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 2220).

Melalui Qs at-Taghabun/64: 11 di atas juga diperkuat oleh hadits Nabi Saw, tidak ada satupun yang menyatakan bahwa Safar ialah bulan musibah, sial dan malapetaka. Sebaliknya, Allah menegaskan bahwa setiap musibah datangnya seizin Allah. Allah ta’ala yang menghadirkan musibah itu baik sebagai akibat dari kelalaian manusia maupun hikmah agar kita dapat muhasabah diri. Sungguh, musibah bisa datang kapan saja sekehendak-Nya, tak terikat oleh waktu, hari, bulan bahkan tahun tertentu. Namun satu prinsip yang harus dipegang oleh orang beriman, musibah ialah bentuk cinta-Nya Allah kepada kita. Orang-orang yang teguh imannya meyakini bahwa musibah menjadi cara Allah agar manusia menjalani perannya sebagai hamba; lebih taat, lekat dan dekat kepada Allah ta’ala– sehingga hatinya tetap tenang, tidak gusar serta emosional dengan musibah yang menimpanya.

InsyaAllah, semoga bulan Safar menjadi bulan ibadah untuk kita semua. Menjadi bulan istimewa yang berlimpah bahagia dan pahala. Demikian. Allah ta’alaa A’lam.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini