Antara Penyediaan Alat Kontrasepsi dan Hak Asasi Manusia

Baru-baru publik dihebohkan dengan terbitnya PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan yang mencakup beberapa program kesehatan termasuk kesehatan sistem reproduksi. Polemik muncul karena pasal 103 ayat (4) butir “e” tentang penyediaan alat kontrasepsi sebagai salah satu bentuk layanan kesehatan bagi usia sekolah dan remaja.

Pada butir tersebut tidak ada keterangan lebih lanjut sehingga menimbulkan anggapan bahwa usia sekolah dan remaja itu legal dalam melakukan hubungan asal memperhatikan sisi kesehatan, salah satunya dengan menggunakan alat kontrasepsi.

Hasil pemahaman seperti tersebut di atas memang wajar, sebab mulai pasal 101 hingga beberapa pasal setelahnya memang secara berurutan mengurai tentang pelayanan kesehatan reproduksi dari sisi usia. Meskipun dijelaskan oleh kementerian kesehatan bahwa yang dimaksud remaja dan usia sekolah bukanlah semua remaja, namun yang dimaksud adalah remaja yang sudah menikah dan ingin menunda kehamilan.

Seharusnya, pernyataan tersebut juga disertakan dalam PP sebagai penjelas butir “e” tersebut. Apabila tidak segera dilakukan, maka anggapan masyarakat akan semakin liar, termasuk adanya rencana legalitas seks bebas di kemudian hari.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa seks bebas dan praktik-praktik zina yang lain dianggap sebagai kebebasan dan hak asasi di mayoritas negara Barat. Mereka selalu berlindung pada diksi Hak Asasi Manusia untuk mendukung dan melampiaskan hawa nafsunya.

Perbuatan dan budaya mereka ini sudah menjangkiti masyarakat Indonesia, bahkan sudah mulai dilakukan dengan terang-terangan dan sedikit demi sedikit. Terutama karena didukung oleh kemudahan akses dan teknologi, sehingga budaya buruk ini semakin cepat merambah dan diadopsi oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan umur.

Kekhawatiran masyarakat tentang potensi legalitas seks bebas ini sebenarnya tidak sepenuhnya keliru, Nabi Muhammad juga sudah memprediksikan dalam sebuah hadits yang berbunyi:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).

Membaca hadits di atas membuat kita harus waspada terhadap fatwa dan upaya-upaya tokoh, penguasa dan pembuat kebijakan. Sebab, keburukan akan tetap menjadi keburukan selama hal tersebut tetap dianggap buruk. Namun, apabila sudah mendapatkan legalitas maka keburukan tersebut akan kabur dan lama-lama kebenaran akan semakin memudar.

Oleh karena itu, sikap sebagian ulama’ dan masyarakat yang menuntut pemerintah untuk memberi penjelasan terkait aturan di atas sungguh layak untuk diapresiasi. Bukan berarti tidak tunduk dan menentang kebijakan, namun hukum itu harus jelas, harus muhkam, tidak boleh mutasyabih atau menimbulkan berbagai potensi makna. 

Semoga, bangsa Indonesia khususnya umat muslim senantiasa dijaga oleh Allah dalam menjaga norma-norma agama serta budaya yang baik. Semoga, bangsa Indonesia diberi pemimpin-pemimpin serta wakil-wakil rakyat yang adil, bijaksana,  bertaqwa dan takut kepada Tuhan yang Maha Esa.

Khoirul Muhtadin, M.Ag.,  Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini