Awal 2015 ini, saya berkesempatan menyampaikan paper berjudul “Exercising Religious Authority: Female Islamic Authority in Majelis Taklim Circle in Jakarta” dalam sebuah workshop internasional bertema Female Islamic Authority in Comparative Perspective: Exemplars, Institutions and Practices di KITLV Leiden 8-9 January 2015. Dalam kunjungan dua minggu kali ini, saya menyempatkan diri shalat Jumat di dua masjid berbeda: Al-Hijrah Moskee yang dikelola oleh masyarakat Muslim Maroko di Leiden, dan Al-Karam Moskee yang dikelola oleh masyarakat Muslim Pakistan di Amsterdam. Saya merasakan kenikmatan menjalankan shalat Jumat dengan gaya dan praktek yang berbeda; keduanya berbeda, dan keduanya berbeda dengan tradisi shalat Jumat di tanah air.
Saat ini, dalam musim dingin (winter) di Belanda, waktu shalat di siang hari sangat pendek. Jika menggunakan model Muslim World League, ada perbedaan kecil dalam waktu shalat Ashar antara Madzhab Hanafi dan Syafi’i. Meski menggunakan tiga model sudut ketinggian (angle-based, midnight dan one-seventh), semua waktu shalat sama, kecuali shalat Ashar, sebagaimana terlihat dalam table berikut:
Di bulan Ramadhan, di Belanda khususnya dan negara Eropa umumnya, banyak hal menarik jika berbicara tentang waktu shalat. Secara khusus, masyarakat Muslim Turki menggunakan imsakiyah yang berbeda dengan masyarakat Muslim Maroko. Kadang, ada umat Islam yang menggunakan waktu imsak yang lebih lambat dan waktu berbuka yang lebih cepat dari jadwal imsakiyah yang berbeda. Puasa di musin dingin jauh lebih singkat dari puasa di musim panas.Di bulan Januari misalnya, imsak dimulai sekitar 6.40 pagi dan berbuka sekitar 16.58.seperti tabel di atas, atau berpuasa hanya 10 jam. Di musim panas, waktu berpuasa sangat panjang: imsak 03.14 dan berbuka 22.06, atau berpuasa selama 17 jam. Lebih tidak biasa lagi, waktu shalat Isya dimulai jam 00.11 tengah malam. Sehingga, umat Islam di Belanda biasanya tidak tidur lagi setelah shalat Tarawih hingga subuh yang hanya berjarak kurang lebih 2 jam. Ada umat Islam yang mengakali untuk berlibur keluar Eropa, untuk menghindari puasa panjang di musim panas.
Tidak ada yang berubah di Mesjid al-Hijrah dalam kunjungan fellowship sebelum tahun 2010, bahkan sejak saya meningglkan Leiden tahun 2004 setelah menyelesaikan program Master di Universiteit Leiden. Secara fisik, masjid yang terletak di Rembrandtstraat 10 ini tidak tampak seperti masjid. Bangunannya berhimpit rapat dengan bangunan lain di kiri-kanannya. Hanya tulisan Moskee al-Hijrah dalam bahasa Belanda dan Arab di atas pintunya yang dapat menandai bangunan ini sebagai masjid.
Lokasinya sekarang sangat strategis. Mesjid yang dikelola oleh Stichting Moslim Groep Leiden ini sangat dekat dengan KITLV, sarang Indonesianis (ahli Indonesia) di Leiden sejak dulu kala. Mesjid ini juga dekat dengan UB (Universiteitsbibliotheek), perpustakaan pusat Universiteit Leiden. Karenanya, akadamisi dan mahasiswa Muslim di universitas ini sangat mudah mengunjunginya.
Di lantai dasar, terdapat kantor pengurus, ruang shalat perempuan (melalui pintu belakang) dan tempat wudhu serta toilet.Di lantai dasar ini juga, pengunjung dan pengguna masjid melepaskan sepatu, menggunakan sandal dan terompah untuk berwudhu. Air panas atau hangat selalu disiapkan, khususnya di musim dingin seperti saat ini.Ruang shalat perempuan juga kadang digunakan untuk belajar mengaji bagi anak-anak.
Naik ke lantai atas melalui tangga dekat pintu, pengunjung akan melihat deretan gantungan untuk menggantung jaket dan syal. Setelah melewati ruangan itu, terdapat hall besar sebagai ruang utama shalat.Rak buku/kitab dan al-Quran berada di depan dan samping kanan. Terdapat kitab-kitab standar, khususnya kitab-kitab madzhab Maliki yang banyak dipegangi oleh umat Muslim Maroko. Masih di lantai ini, terdapat satu ruangan tertutup lagi yang digunakan sebagai kamar untuk Imam Mesjid.
Karena bentuk dan arah bangunan yang dibangun bukan untuk masjid. Posisi Imam dan mimbar berada di sudut kanan depan jika kita masuk melalui pintu. Saf-saf juga dibuat miring agar pas menghadap kiblat. Bentuk mimbar mirip dengan mimbar-mimbar di masjid-mesjid tua, khususnya yang dikelola oleh masyarakat Betawi di Jakarta. Khatib harus melangkah menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai mimbar utama. Seperti sistem kemasjidan di Eropa umumnya, di setiap masjid terdapat imam yang bertugas penuh di masjid tersebut. Sang imam wajib memimpin shalat-shalat fardhu, dan menyampaikan khutbah setiap Jumat. Biasanya, hanya Imam Mesjid inilah yang berhak dan berkewajiban memimpin shalat dan menyampaikan khutbah.
Shalat Jumat di masjid ini masih mirip dengan Jumatan di Indonesia. Ketika waktu tiba, khatib naik mimbar, membuka dengan bacaan khutbah yang wajib dalam bahasa Arab, tentu saja dengan logat/aksen Arab Maroko. Isi khutbah selebihnya dengan Bahasa Berber, salah satu varian bahasa di Maroko. Khathib duduk di antara dua khutbah. Setelah menyelesaikan khutbah kedua, khatib langsung memimpin shalat Jumat.
Usai shalat, biasanya umat Islam menyempatkan diri berdiri di luar masjid beberapa saat untuk menyapa, bersilaturrahmi atau berdiskusi hal-hal ringan. Kadang-kadang terdapat satu-dua orang yang berjualan sayur dan buah di depan masjid dengan menggunakan gerobak atau mobil van. Kesempatan ini pula yang digunakan oleh mahasiswa Muslim di Universiteit Leiden, termasuk mahasiswa Indonesia, untuk bersilaturrahmi dengan teman sejawat atau kolega yang jarang ketemu. Setelah beberapa saat, mereka pun bubar sambil menenteng atau mengendarai sepeda masing-masing.
Di Leiden dan sekitarnya, terdapat juga beberapa masjid atau tempat shalat yang dikelola masyarakat Muslim. Di antaranya Islamitisch Centrum Imam Malik di NieuweMarnixstraat 80, MarokkaanseMoskeeen UnieMidden Holland di Bonairestraat 13, atau masjid yang dikelola masyarakat Muslim Turki yang terletak di Curacao straat 3. Dari beberapa masjid ini, Al-Hijrah Moskee yang paling banyak digunakan karena berada di dekat universitas dan posisi yang cukup strategis di jantung Leiden.
Mesjid yang terletak di Sint Willibrordusstraat 53 ini juga memiliki bangunan fisik layaknya bangunan di Belanda. Kusen-kusen pintu dan jendelanya dicat hijau untuk dibedakan dengan gedung lain di kiri-kanannya. Letaknya cukup strategis; berjarak 60 meter dari halte tram, dan dekat dengan banyak toko yang berjejeran di van Woustraat. Mesjid ini juga hanya berjarak 100 meter dari persimpangan Ceinturbaan dan van Woustraat, sehingga jamaah dari berbagai jurusan dapat dengan mudah menuju masjid ini.
Memasuki pintu masjid, pengunjung akan langsung melihat batas suci yang ditandai dengan karpet berbeda. Setelah dibuka, alas kaki dapat ditempatkan di rak sepatu sebelah kanan. Setelah rak sepatu, terdapat tangga kecil menuju lantai atas yang dijadikan ruang shalat perempuan. Sebuah ruangan di lantai atas digunakan oleh takmir untuk urusan administratif. Setelah tangga, terdapat ruang wudhu dan toilet. Pintu masuk ke ruang shalat utama terdapat di sebelah kiri rak sepatu tadi.
Bangunan masjid kebetulan tepat menghadap kiblat. Karenanya saf shalat tetap lurus ke depan, yang ditandai dengan karpet merah dan krem. Mihrab dibuat cukup sederhana, dengan ornament standar mihrab yang berkuncup atas. Mimbar yang terletak di sebelah kanan mihrab, cukup sederhana: hanya ada tiga anak tangga. Di sebelah kiri mihrab, terdapat juga sebuah podium coklat.
Berbeda dengan masjid lainnya di Belanda, bangunan di ruang shalat utama cukup tinggi. Empat ruas lantai atasnya dibuka untuk menambah kesan luas dan tinggi.Lantai di ruas lainnya tetap ada untuk digunakan oleh kaum Muslimah.Kebetulan, sedang bulan Maulid, banyak backdrop tentang Nabi Muhammad saw dan perayaan Maulid, terpajang di depan, samping kanan dan kiri.
Pelaksanaan shalat Jumat di mesjid yang dikelola oleh umat Islam Pakistan di Amsterdam ini cukup berbeda dengan kebiasaan umat Islam di Indonesia. Waktu Jumat saat musim dingin ini di wilayah Amsterdam mulai 12.50 siang. Setelah azan tanpa pengeras suara di menit tersebut, jamaah yang sudah di masjid melaksanakan shalat sunnah qabliyah dua rakaat. Setelah azan itu pula, Imam masjid bernama Hafiz Mohammad Imran Jilani, memasuki ruang masjid, menempatkan al-Quran yang terletak di mimbar ke rak lemari di pojok kanan masjid, dan langsung ke mimbar.
Di mimbar, dengan bantuan pengeras suara wireless dengan speaker dalam, sang Imam hanya duduk dan memulai ceramahnya yang dibuka dengan hamdalah hingga ayat al-Quran; persis dengan urutan bacaan khutbah pertama. Setelah pembukaan dengan bahasa Arab yang fasih, Imam Hafiz menyampaikan ceramahnya dalam bahasa Pakistan. Setelah bertanya dengan seorang jamaah, isi ceramah itu berkisar tentang kemuliaan Nabi Muhammad saw.
Setelah ceramah tersebut, Imam Hafiz memberi kode kepada muazzin untuk memulai azan kedua, dengan versi yang lebih ringkas (tanpa memanjangkan suara). Setelah azan, sebelum memulai khutbahnya, khatib yang juga Imam Hafiz, memberi beberapa informasi, khususnya tentang undangan perayaan Maulid di masjid lain yang juga dikelola oleh umat Muslim Pakistan. Imam Hafiz menyebut undangan dari Mesjid Taqwa yang tertelak tidak jauh dari Mesjid Al Karam.
Sesaat kemudian, sambil berdiri, Imam Hafiz memulai khutbahnya. Kali ini, semua isinya berbahasa Arab, ringkas, dan padat hingga akhir khutbah pertama dan kedua.Khutbah kali ini hanya 3 menit. Yang juga menarik, semua jamaah mengambil sikap duduk seperti tasyahhud awal secara tegap dan sempurna ketika khathib menyampaikan khutbah kedua.
Setelah khutbah kedua, muazzin langsung menyambut dengan iqamat. Sedikit berbeda dengan Indonesia, semua lafaz iqamat sama dengan bilangan lazaf azan, hanya didendangkan lebih singkat dari azan kedua sebelumnya. Semua lafaz azan didendangkan dua kali, persis dengan semua lafaz azan.
Sekilas saya teringat lagi dengan perbedaan pendapat ulama tentang pelaksanaan khutbah Jumat. Sebagian ulama masih masih meyakini, sebagaimana hukum asalnya, khutbah Jumat wajib disampaikan dalam bahasa Arab. Sebagian lagi berpendapat, khutbah Jumat dapat disampaikan dalam bahasa yang dimengerti jamaah secara umum.
Praktek khutbah dan shalat Jumat yang diamalkan oleh pengelola dan jamaah Mesjid Al Karam–yang berasa dari Pakistan yang mayoritas menganut madzhab Hanafi– ini seolah mengakomodasi dua hal di atas. Sebelum khutbah, terdapat ceramah, wejangan dan nasehat yang disampaikan dalam bahasa lokal Pakistan yang dimengerti oleh seluruh jamaah. Untuk mengakomodir hukum asalnya, khutbah Jumat tetap disampaikan dalam bahasa Arab, dengan waktu yang sangat singkat.
Setelah salam, Imam langsung memimpin bacaan lailaha illa Allah dan seterusnya tiga kali. Imam kemudian memimpin bacaan doa dalam bahasa Arab yang diamini oleh jamaah. Di bagian akhir, doanya dilengkapi dengan doa dalam bahasa Pakistan, yang diamini lebih keras oleh jamaah. Doa ditutup dengan bacaan umum dalam bahasa Arab seperti umumnya di Indonesia.
Setelah pelaksanaan shalat Jumat, sebagian besar jamaah melaksanakan shalat sunnah badiyah, sebagian kecil langsung mninggalkan masjid. Di luar masjid, mereka menyempatkan diri bertemu, bersalaman, bersilaturrahmi dengan sesame jamaah yang jarang ketemu. Di masjid ini, tidak ada pedagang yang berjualan setelah shalat Jumat. Setelah sesaat bersilaturrahmi, masing-masing pulang kembali ke rumah atau pekerjaan masing-masing.