Sekarang sudah masuk bulan Syaban dan Rajab sudah terlewatkan sedangkan doa dengan redaksi
“Ya Allah, berkahi kami di bulan Rajab dan Syaban …” masih terdengar dilanjutkan. Padahal saat ini menurut kami ‘kurang’ relevan. Sebab doa tersebut sejatinya dibaca pada bulan Rajab, bukan bulan Syaban.
Dalam Hadis Riwayat Imam Ahmad dan Al-Baihaqi pun, Rasulullah saw membacanya begitu masuk bulan Rajab. Saya sendiri belum menemukan riwayat apakah doa tersebut terus dibaca hingga bulan Syaban.
Kendati kualitas hadis tentang doa tersebut adalah dhaif, namun berdoa memohon keberkahan di bulan Rajab dan Syaban hingga sampai pada Ramadan adalah hal yang baik dan tidak ada larangan di dalamnya.
Apakah doa dengan redaksi di atas boleh dibaca meski Rajab sudah habis dan sudah masuk Syaban? Saya sendiri belum menemukan riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW terus membacanya hingga Syaban.
Hikmahnya mungkin antara lain bahwa doa memohon keberkahan di bulan Rajab dan Syaban sudah cukup dipanjatkan di bulan Rajab, sebagai salah satu bulan yang dimuliakan. Disamping bahwa doa tersebut juga sebagai persiapan mental dan spiritual untuk menghadapi Ramadan. Jadi, satu doa dalam satu waktu (saat Rajab tiba) untuk dua bahkan tiga bulan sekaligus (Rajab, Syaban dan Ramadan).
Namun bukan berarti kita tidak boleh berdoa keberkahan di bulan Syaban. Hanya saja redaksinya sekarang ini berubah menjadi:
“Ya Allah, berkahi kami di bulan Syaban..” tidak perlu lagi mencantumkan bulan Rajab, karena sudah lewat.
Prof. Dr.KH. Ali Mustafa Yaqub rahimahullah pernah mengajari kami bahwa diantara cara memahami hadis adalah dengan memperhatikan konteksnya. Meski ada diantaranya yang harus dipahami berdasarkan teksnya. Syeikhuna mencontohkan Hadis doa Nabi saat hujan deras supaya segera berhenti.
“Ya Allah turunkanlah hujan di sekitar kami, jangan timpakan di atas kami. Ya Allah, turunkanlah ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, lembah-lembah, dan tempat-tempat tumbuhnya pohon.” Hadis ini riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Berdasarkan konteks Madinah, wilayah-wilayah yang disebutkan Nabi sebagai tempat pengalihan hujan adalah titik-titik zona yang banyak membutuhkan air. Sedangkan Madinah saat itu sebagai wilayah perkampungan yang dipenuhi rumah warga. Ia sudah kewalahan menampung air karena curah hujan yang sangat tinggi sehingga terancam banjir. Maka, konteks doa di atas bagi Madinah adalah relevan.
Berbeda halnya dengan konteks Kota Jakarta. Jika hujan turun sangat deras di sana, maka doa yang dipanjatkan Nabi di atas perlu disesuaikan dengan konteksnya. Sebab, wilayah-wilayah yang disebut dalam doa di atas bagi Jakarta adalah sekitar Depok dan Bogor sampai Puncak. Jika Allah memindahkan hujan ke wilayah tersebut, tentunya Jakarta menjadi zona yang tidak aman dari kebanjiran. Sehingga perlu diubah doanya dan disesuaikan dengan konteksnya. Misalnya saat hujan deras, mereka (penduduk Jakarta) berdoa, “Ya Allah turunkanlah hujan di atas lautan, jangan di atas kami.”
Inilah yang kita kenal dengan doa kontekstual. Yaitu sesuai konteks (situasi dan kondisi yang berlaku), bukan tekstual (secara zahir, apa adanya). Wallahu a’lam.
Mahfud Hidayat, Lc., S.S.I, M.E.I, Ustadz di cariustadz.id
Tertarik mengundang Mahfud Hidayat, Lc., S.S.I, M.E.I? Silakan Klik disini