Kekerasan dalam Rumah Tangga dan tagar Marriage is Scary

Terungkapnya beberapa kasus kekerasan yang menimpa selebriti dan influencer di jagat maya, membuat kita prihatin, sedih, sekaligus geram dengan fenomena ini. Sontak, banyak konten serupa yang muncul di feeds dan menjadi perbincangan viral: marriage is scary! Pernikahan itu menyeramkan sekaligus menakutkan— sehingga dampaknya, beberapa anak muda berkomentar bahwa mereka enggan menikah lantaran ‘takut’ dan ke-trigger atas maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Apa iya menikah semenakutkan itu? Apa iya tidak ada lagi rumah tangga yang harmonis seperti gambaran rumah tangga Rasulullah? Yang memang tentu, tidak lepas dari masalah rumah tangga, namun jauh dari kata ‘kekerasan’ verbal, psikis apalagi psikis?

Sebagai pedoman hidup yang mengatur relasi hamba dengan Rabb-Nya (hablumniallah), juga hamba dengan sesamanya (habluminannas), al-Quran meneguhkan bahwa pernikahan ialah salah satu tanda kebesaran Allah. Dia menciptakan pasangan  agar terpatri rasa cinta (mawaddah), kasih sayang (rahmah) & bermuara pada ketenangan batin (sakinah). ‘Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.’ (Qs. Ar-Rum/ 30: 21)

Tiga kata kunci dari ayat di atas yakni (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), bermula dari rahmah (kasih sayang). Jika kita telusuri, kata rahmah yang seakar kata dengan rahman dan rahim sebagai Asmaul Husna/ nama baik yang melekat dalam Zat Allah, menghendaki kedua bani Adam (pasangan suami-isteri) untuk sama-sama menerima segala bentuk rupa fisik pasangan tanpa membanding-bandingkan, menyadari bahwa bentuk rupa fisik pasangan adalah salah satu kebesaran Tuhan.

Kedua, lafadz (mawaddah) yang merupakan bentuk cinta psikis, menghendaki kedua pasangan memahami sifat dan karakter masing-masing sehingga dengan memahami. Ketika sudah saling memahami, maka akan lebih mudah menyesuaikan diri dan menerima kekurangan. Terakhir, jika keduanya sudah mampu saling menerima rupa baik fisik & psikis pasangan, diharapkan ‘sakinah’, ketenangan batin itu terpatri dalam hati masing-masing sehingga tak pernah terpikir untuk menyakiti pasangan dalam bentuk kekerasan apapun, meski, sekali lagi, untuk menuju sakinah/ ketenangan setiap rumah tangga tidak pernah lepas dari ujian.

Selain al-Quran menyebutkan bahwa pernikahan adalah cara untuk menuju ketenangan, al-Quran juga mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap pasangan karena pernikahan dipandang sebagai perjanjian yang kokoh lagi berat. Dalam Al-Quran, istilah ini disebut dengan mitsaqan ghalizan. “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.” (Qs. An-Nisa’/4: 19)

Tafsir Kementerian Agama RI menyebutkan bahwa ayat di atas mengisyaratkan larangan menjadikan istri sebagai warisan seperti harta, meskipun tidak dengan paksaan. Menurut tradisi Jahiliah, anak tertua atau anggota keluarganya yang lain dapat mewarisi janda yang ditinggal wafat ayahnya. Tradisi ini pun ditentang keras oleh Al-Quran, mengangkat derajat perempuan untuk tetap memeroleh warisan pasca ditinggal wafat oleh pasangan. Selanjutnya, Allah berfirman, “Jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar), janganlah kamu mengambilnya kembali sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan cara dusta dan dosa yang nyata?” Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali), padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu?” (Qs. An-Nisa’/4: 20-21)

Lafadz mitsaqan ghalizan (مِيْثَاقًا غَلِيْظًا) yang merupakan kata kunci pada Qs. An-Nisa’/4: 21 di atas berasal dari bahasa Arab. Dalam kitab Munjid fi Al-Lughoh wa Al-A’lam, lafadz dengan arti perjanjian yang kuat, atau komitmen yang mengikat kuat dan sangat kokoh. Lafadz ini disebut sebanyak tiga kali dalam Al-Quran pada ayat yang berbeda yakni dalam Qs. An-Nisa’/ 154 yang di dalamnya memuat perjanjian antara Allah dengan Bani Israil. Juga, terdapat pula dalam Qs. Al-Ahzab ayat 7 yang menyebutkan perjanjian Allah kepada umat-Nya. Ketiga penyebutan lafadz mitsaqan ghalizan ini seluruhnya dalam konteks perjanjian serius, berat, kokoh yang harus dijaga dan dijalani dengan sebaik mungkin.

Abdul Rahman Ghazali dalam Fiqh Munakahat menyebutkan bahwa mitsaqan ghalizan ialah perjanjian yang sangat mengikat. Perjanjian ini adalah perjanjian setia, utuh, dan mengikat. Ketika kedua insan mengikat janji dalam pernikahan, maka perjanjian itu disaksikan oleh Allah. Maka, apapun yang dilakukan keduanya, baik maupun buruk, kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Mufassir Fakhruddin Ar-Raziy, dalam Mafatihu Al-Ghaib, menyebut mitsaqan ghalizan yang dimaksud ayat ini adalah janji komitmen antara suami dan istri dalam ikatan pernikahan. Al-Quran mengkritisi budaya patriarki kala itu ketika lelaki semena-mena menguasai mahar istrinya dan mempersulitnya hidupnya di kemudian hari. Ayat ini memberi peringatan bahwa pernikahan adalah akad sakral yang mengikat kuat, kedua pihak telah menyerahkan dirinya kepada satu sama lain maka tak boleh salah satu pihak berkhianat dengan melakukan kesewenang-wenangan kepada pihak lainnya. Ketika salah satunya mengingkari atau saling menyakiti, maka pertanggungjawabannya pun sangat berat karena disaksikan langsung oleh Allah.

Selain Ar-Raziy, pendapat senada juga ditutur oleh Imam Yahya al-Farra (w. 207/832) seperti dikutip Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubadalahnya, ia memaknai kalimat mitsaqan ghalizan dengan penggalan ayat lain “fa imsakun bi ma’rufin aw tasrihun bi ihsan” (Qs. Al-Baqarah/2: 229). Artinya, ikatan kokoh yang dimaksud adalah mandat dari Allah Swt. kepada suami-istri untuk berkomitmen mengelola rumahtangga dengan prinsip “berkumpul secara baik-baik atau berpisah secara baik-baik”. Ini merupakan janji dan komitmen dan resiprokal, maka ia berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Ia harus dijaga, diingat, dan dipelihara bersama. Di sinilah makna “kokoh” tersebut. Tak bisa salah satu pihak saja yang diminta menjaga ikatan pernikahan sementara pihak yang lain tidak peduli apatis dan menodai kehormatan pasangannya.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa pernikahan semestinya menjadi momen terindah untuk memperbanyak amal ibadah. Banyak gambaran pernikahan harmonis dan membahagiakan yang salah satunya dicontohkan Rasulullah Saw. Sebagai seorang ayah sekaligus Nabi, beliau tidak malu untuk turut berperan dalam tugas domestik, mendukung Sayyidah Khadijah Ra untuk sukses menjadi pebisnis sekaligus ibu rumah tangga yang penuh cinta. Beliau tidak pernah melakukan kekerasan dalam bentuk apapun pada isteri-isterinya karena memahami bahwa pernikahan itu ialah perjanjian yang sangat kokoh lagi berat. Nabi memberikan teladan bahwa Marriage is Scary cukup terhenti di zaman Jahiliyah, di era perkembangan ilmu dan teknologi, mari terus belajar agar mindset Marriage is Scary menjadi Marriage is Happy! Tentu, untuk mencapainya, suami isteri perlu mengupayakan bersama-sama; menikah dengan ilmu & iman, agar pernikahan bernilai ibadah & ketenangan. Menikah untuk mengasah empati, agar perjanjian yang kokoh lagi berat ini dapat dipertanggungjawabkan dengan baik oleh keduanya di hadapan Allah nanti.

Demikian, Allahu a’lam.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini