Berpikir Kritis Terhadap Dogma Agama

Apakah agama hanya merupakan kumpulan dogma? Bila agama merupakan ajaran yang bersifat dogmatik, maka umat Islam yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad seperti kita ini “wajib” mengikuti segala ketentuan yang dibawakan oleh para agamawan. Tanpa boleh mempertanyakan, apalagi mempersoalkan “kenapa bisa seperti ini” atau “kenapa bisa begitu”, apapun alasannya. 

Itulah konsekuensi dari cara berpikir bila ajaran agama adalah dogmatik. Sesuai dengan pengertian di KBBI, dogma diartikan sebagai pokok ajaran (tentang kepercayaan dan sebagainya) yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Dogma mempunyai persamaan kata dengan doktrin, kredo, ortodoksi, dan lain sebagainya. Semuanya mempunyai kemiripan, yakni keinginan untuk diyakini bila kaifa.

Pertanyaan di atas sengaja penulis ajukan untuk mengkritisi sejauh mana cara kita beragama. Apakah kita yang lahir di lingkungan yang homogen, misalnya, cukup meyakini bahwa segala apa yang dijalankan atau dipahami oleh masyarakat kita itu sudah pasti “benar”? Bila jawabannya adalah iya, mungkin tanpa sadar kita sudah beragama secara dogmatis. Bila sebaliknya, kita berupaya mencari alasan dibalik praktik keberagamaan orang tua, masyarakat sekitar, atau bahkan guru agama sekalipun, berarti kita sudah keluar satu langkah dari bersikap dogmatis.

Penulis mempunyai keyakinan bahwa kita diberi akal budi oleh Tuhan tidak mungkin hanya sekedar untuk menerima ajaran agama begitu saja, tanpa ada alasan dibalik segala ketentuan yang telah diberikan Tuhan. Karena kenyataannya banyak ayat-ayat yang mengajak masyarakat muslim untuk menggunakan akalnya, bahkan untuk urusan tauhid atau keyakinan sekalipun. Episode Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhannya menjadi contoh terbaik dari bagaimana Allah ingin meminta Ibrahim untuk menggunakan akalnya (Al-An’am:76-79). 

Kita perlu meyakini ada alasan di balik segala yang Allah perintahkan. Namun, karena kemampuan akal kita mempunyai batasan, maka ada ruang-ruang agama yang tidak bisa tergapai oleh logika. Seperti dikatakan Abdullah Yusuf Ali, bahwa orang yang bijaksana tak boleh bersikap dogmatis, sebab, seperti kata Muhammad Asad, kita sebenarnya hendak menggapai sesuatu (Kebenaran Mutlak) yang tidak bakal tergapai. (Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid Vol, 2)

Pemahaman agama yang dogmatis juga disinggung oleh Musdah Mulia. Menurutnya, pemahaman agama yang dogmatis telah menggejala hampir di sebagian besar umat Islam. Tidak heran jika muncul pemahaman yang ahistoris, sebuah pemahaman Islam yang terlepas dari konteks sejarah. 

Akibat dari pemahaman yang dogmatis terhadap agama, masih menurut Musdah Mulia, adalah hilangnya peranan dan kedudukan perempuan. Padahal bila ditelusuri dalam sejarah Islam awal, Rasulullah telah melakukan upaya-upaya perubahan radikal secara serius dan bertahap terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Arab Jahiliah. Ini dibuktikan dengan misalnya, Nabi mengajarkan keharusan merayakan bayi perempuan di tengah masyarat Arab yang memandang aib kelahirannya.

Nabi juga memperkenalkan pemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan. Itu dilakukan Nabi pada saat masyarakat memandang mahar sebagai hak monopoli orang tua atau wali. Dan satu lagi, terkait poligami, Nabi mengkoreksi total praktek poligami jahiliah dengan mencontohkan perkawinan monogami bersama Khadijah. Bahkan sebagai ayah, Nabi pernah melarang anaknya, Fatimah dipoligami. Akibatnya, Ali baru menikah lagi setelah Fatimah wafat. 

Fakta historis di atas melukiskan kepada kita bahwa Nabi mengubah posisi dan kedudukan perempuan dari objek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subjek yang dihormati dan diindahkan. (Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam)

Dogma, bila dipahami sebagai keyakinan keagamaan yang harus diterima walau tidak dimengerti oleh akal, maka pernyataan bahwa tidak ada dogma dalam ajaran Islam adalah benar. Namun, bila yang dimaksud adalah adanya tuntunan ajaran Islam yang bertentangan dengan akal, ini juga tidak benar. Akal memiliki wilayah yang tidak dapat dijangkau. Wilayahnya adalah alam fisika, sedangkan agama berbicara tentang alam metafisika. Demikian yang dijelaskan Quraish Shihab dalam salah satu karyanya, Logika Agama.

Beragama memang harus kritis, misalnya kita diminta untuk memahami kenapa suatu hukum bisa berbunyi “boleh” atau “tidak”. Kenapa terjadi perbedaan pandangan meskipun masih dalam satu mazhab? Kaum agamawan yang baik tidak akan melarang kita untuk berpikir kritis. Apalagi ketika kita sudah mengetahui rambu-rambu bahwa ada wilayah yang tidak atau belum bisa terjangkau akal. Bila ada agamawan yang memaksakan keyakinan keagamaannya kepada orang lain, kita patut curiga, jangan-jangan itu adalah dogma yang sudah tentu tidak kita terima.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini