Ragam Sikap Para Nabi terhadap Umatnya

Sikap umat Nabi dan Rasul ketika diajak menuju jalan kebenaran berbeda-beda. Ada yang menerima dan tentu ada yang menolak dengan keras. Sikap para Nabi dan Rasul pun berbeda ketika menerima penolakan dari umatnya. Ada yang tidak sabar dan akhirnya meminta Allah untuk mengazab umatnya, ada yang kemudian meninggalkan umatnya tanpa izin Allah, ada juga yang dengan penuh kesabaran sampai umatnya berbondong-bondong mengikuti ajaran yang ia bawa.

Membincang Nabi dan Rasul berarti membincang sejarah. Karena sebagai mukmin yang taat, kita mengimani bahwa Nabi dan Rasul sudah dipastikan tidak akan muncul lagi. Nabi Muhammad adalah khatamul anbiya’ wal mursalin, demikian kata para ulama. Sejarah mengajarkan kita banyak hal, tapi inti utamanya adalah bagaimana kita mengambil pelajaran darinya.

لَـقَدۡ كَانَ فِىۡ قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٌ لِّاُولِى الۡاَلۡبَابِ​ؕ يوسف: ١١١

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.

Lalu, pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah para Nabi ketika menghadapi umatnya yang berbeda-beda itu? Karena bagaimanapun sikap para Nabi ini penting untuk diketahui oleh mereka, khususnya para ulama yang meneruskan estafet Nabi dan Rasul. Kapan kita harus keras dan tegas, dan kapan kita harus kalem dan lemah lembut. Atau sebaliknya, kita tinggalkan saja masyarakat yang sulit diberi tahu?

Untuk mencari jawaban pertanyaan di atas, alangkah baiknya kita lihat terlebih dahulu ayat-ayat yang terkait. Misalnya, dalam QS. Al-Ankabut: 14, Kisah Nabi Nuh ketika beliau tidak sabar menghadapi umatnya yang membangkang, padahal sudah berdakwah selama 950 tahun. Ada juga sikap dari Nabi Yunus yang meninggalkan umatnya dan pada akhirnya malah ditelan ikan Paus (Ash-Shaffat 139-148), atau kisah Nabi Muhammad yang dengan penuh sabar menghadapi cacian (Al-A’raf: 199, Ali Imran:139). 

Diriwayatkan bahwa Nabi Nuh diutus kepada umatnya di usianya yang sudah sangat senja, yakni 350 tahun. Beliau kemudian menyeru mereka kepada tauhid atau mengesakan Allah. Namun, jarak waktu yang begitu lama tidak membuat hati umat Nabi Nuh bergetar kecuali sebagian kecil saja. Mereka malah lari dari ajakan Nuh dan kemudian Allah menurunkan الطوفان atau banjir bandang. Imam at-Tabari memaknai bahwa setiap banjir besar, baik ia mengalir atau tidak disebut tufan dalam bahasa Arab. (At-Tabari, Tafsir at-Tabari).

Di surat Nuh:1-28 diceritakan kronologi ajakan Nabi Nuh yang tidak dihiraukan sama sekali oleh umatnya. Seperti misalnya ketika Nabi Nuh curhat telah mengajak umatnya siang dan malam, akan tetapi mereka malah lari. Bahkan ada yang ketika diajak bicara malah menutup telinganya dengan anak jariya sambil menyombongkan diri. 

Nah, dari rangkaian cerita Nabi Nuh ini ada yang menarik untuk dilihat lebih cermat, bahwa pada akhirnya Nabi Nuh berdoa kepada Allah:

وَ قَالَ نُوۡحٌ رَّبِّ لَا تَذَرۡ عَلَى الۡاَرۡضِ مِنَ الۡكٰفِرِيۡنَ دَيَّارًا‏ ٢٦

Dan Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. (Nuh:26)

Di ayat selanjutnya, Nabi Nuh juga masih berdoa agar orang yang tidak taat itu diberi kehancuran, “Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kehancuran.” (Nuh:28). Di sini kita melihat bahwa ada doa-doa yang secara langsung dipanjatkan oleh seorang Nabi agar umatnya binasa ketika tidak taat kepada seruannya. 

Selajutnya, kita bergeser ke kisah Nabi Yunus bin Matta, salah satu nabi Yahudi Bani Israel. Rangkaian kisah Nabi Yunus begitu populer di kalangan muslim, karena sedari kecil kita diajarkan bahwa Nabi Yunus pernah dimakan ikan Paus. Meski acapkali kita tanpa tahu penyebabnya dan pesan di balik ayat tersebut. 

Di dalam ayat 139 surat as-Shaffat ditegaskan oleh Allah bahwa Nabi Yunus ini adalah Rasul utusan-Nya. Namun demikian Yunus lari dari kaumnya, tanpa seizin Allah, menuju kapal yang penuh muatan. Sialnya, Nabi Yunus kalah dalam undian (karena kapal sudah penuh) lalu dilemparkan ke laut dan ditelan ikan besar. Di ayat ke 142 disebutkan bahwa keadaan Nabi Yunus saat itu tercela, karena lari dari kaumnya. 

Lebih dari itu, cerita kemudian berlanjut, bahwa seandainya Nabi Yunus bukan orang yang pandai bertasbih, maka ia akan tetap di perut ikan itu sampai hari bangkit (as-Shaffat: 144). Wahbah Az-Zuhaili berkomentar, maksudnya Nabi Yunus akan mati di perut ikan. Lalu, Doa yang dibaca beliau dalam gelapnya perut ikan inilah yang pada akhirnya menyelamatkan beliau dan dicontoh oleh umat Islam:

 لَّاۤ اِلٰهَ اِلَّاۤ اَنۡتَ سُبۡحٰنَكَ ​ۖ اِنِّىۡ كُنۡتُ مِنَ الظّٰلِمِيۡنَ​ ۖ ​ۚ‏ الأنبياء: ٨٧

Cerita Nabi Yunus di atas juga menjadi cerminan, ibrah, dan pelajaran bagi Nabi Muhammad ketika mengalami gangguan kaum Musyrik. Demikian penafsiran Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir

Di sini kita melihat bahwa posisi Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir menjadi “keuntungan” tersendiri bagi beliau, karena Allah tak segan memberikan contoh langsung peristiwa yang dialami oleh Nabi-Nabi terdahulu. Baik cercaan, hinaan, makian, dan lain sebagainya, bahkan ada yang akhirnya tidak kuat lalu kabur tanpa izin Allah seperti Nabi Yunus, atau seperti Nabi Nuh yang langsung meminta-Nya mengazab kaumnya. 

Bahkan, Nabi Muhammad juga berpesan untuk kita agar tidak menganggap diri lebih baik dari Nabi Nuh. Beliau berkata: 

ما ينبغي لعبد أن يقول: أنا خير من يونسبن متى

“Tidak layak seorang hamba untuk mengatakan, ‘Aku lebih baik dari Yunus bin Matta’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wahai Nabi, siapalah kami kecuali hamba yang ingin mendapatkan syafaatmu kelak? Engkau panutan kami, Nabi terbaik kami, dan Nabi-Nabi terdahulu juga panutan kami.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini