Bahaya Merasa Diri Lebih Baik

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita terjebak pada perasaan merasa diri lebih baik daripada orang lain. Perasaan semacam ini tidak boleh dianggap sepele, sebab daya rusaknya luar biasa. Jika terus dibiarkan, akan tumbuh menjadi benih kesombongan yang menggerogoti keikhlasan. Kita mungkin tidak menyadarinya, sebab “merasa lebih baik” sering menyelimuti diri dengan tampilan kesalehan: merasa lebih rajin ibadah, lebih paham agama, paling dermawan, atau lebih bersih masa lalunya dibanding orang lain dan sebagainya.

Selain menumbuhkan benih kesombongan, dampak yang lebih fatal ialah selalu memandang remeh orang lain. Perintah agar tidak meremehkan orang lain dan merasa bangga diri (ujub) atau angkuh, termaktub dalam firman-Nya, 

وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا

Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung. (Q.S. al-Isra’ [17]: 37)

Imam ar-Razi membuka penjelasan ayat ini dengan mengurai makna kata marah (مرح). Menurut beliau, marah (مَرَحًا) secara bahasa berarti kegembiraan yang meluap hingga melahirkan sikap berlebihan. Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud bukan sekadar berjalan, tetapi cara berjalan yang memancarkan kesombongan, keangkuhan, dan rasa superioritas di hadapan orang lain (an yamsyiya al-insanu masyan yadullu ‘ala al-kibriyai wa al-adzimati)

Al-Zajjaj, salah satu ulama bahasa Arab, sebagaimana dinukil Ar-Razi, menegaskan bahwa larangan Allah ini bukan sekadar tentang langkah kaki, melainkan tentang sikap batin yang mewujud dalam gerak tubuh. Berjalan dengan dada dibusungkan, penuh gengsi, merasa lebih hebat dari yang lain—itulah yang dilarang oleh ayat ini.

Makna ini, ujar ar-Razi, senada dengan penjelasan Al-Qur’an di beberapa ayat lainnya. Dalam Surah Al-Furqan ayat 63, misalnya, Allah memuji “hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih” dengan ‘ibadur rahman sebagai orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati (wa ‘ibadur rahmanil ladzina yamsyuna ‘ala al-ardhi haunan). Dalam Surah Luqman ayat 18 dan 19 pun demikian, Allah juga memerintahkan agar manusia bersikap sederhana dalam berjalan dan merendahkan suara. Semua itu menegaskan satu pesan penting: iman yang sejati tercermin dalam kesantunan sikap, bahkan dalam hal yang tampak sepele seperti cara berjalan.

Masuk ke persoalan kedua, ar-Razi menyoroti kelanjutan ayat ini, di mana Allah berfirman:

إنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ ولَنْ تَبْلُغَ الجِبالَ طُولًا

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan sampai setinggi gunung.”

Bagian ini, menurut ar-Razi, merupakan cara Allah meruntuhkan kesombongan manusia lewat logika eksistensial. Manusia berjalan di atas bumi, tetapi sejatinya ia tidak sanggup menembusnya. Ia memandang gunung-gunung yang menjulang, namun tak akan pernah mampu menyainginya.

Ar-Razi lalu menjelaskan makna ayat ini dari dua sudut pandang. Pertama, gerak manusia dalam berjalan selalu terdiri dari naik dan turun. Saat kaki menapak, ia tak sanggup menembus tanah. Saat tubuh tegak, ia pun tak pernah bisa menjangkau puncak gunung. Ini adalah simbol keterbatasan manusia: di bawah tak berdaya, di atas pun tak mampu. Maka sungguh aneh jika manusia yang lemah seperti itu justru menyombongkan diri.

Kedua, bumi yang keras ada di bawah manusia, gunung-gunung yang kokoh ada di atasnya. Manusia terjepit di antara dua benda mati yang jauh lebih kuat darinya. Jika terhadap tanah dan batu saja ia tak berdaya, bagaimana mungkin ia bersikap angkuh seolah-olah dirinya penguasa segalanya?

Seakan Allah tengah berbisik tegas kepada manusia,

تَواضَعْ ولا تَتَكَبَّرْ فَإنَّكَ خَلْقٌ ضَعِيفٌ مِن خَلْقِ اللَّهِ المَحْصُورِ بَيْنَ حِجارَةٍ وتُرابٍ فَلا تَفْعَلْ فِعْلَ المُقْتَدِرِ القَوِيِّ

“Rendah hatilah dan jangan sombong, karena kamu adalah ciptaan Tuhan yang lemah, terhimpit di antara batu dan debu. Janganlah bertingkah laku seperti orang yang kuat dan perkasa.

Senafas dengan penjelasan ar-Razi, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengungkap hal yang tidak jauh berbeda. Ayat ke-37 Surah Al-Isra’, kata Shihab, sesungguhnya bukan sekadar larangan etis, tetapi kritik keras terhadap penyakit batin yang paling berbahaya: keangkuhan, kedigdayaan. 

Dalam pandangan Quraish Shihab, sifat merasa paling benar, paling unggul, dan paling hebat merupakan penghalang terbesar/ batu sandungan bagi lahirnya kebajikan. Keangkuhan menutup pintu ilmu, mematikan kepekaan nurani, dan pada akhirnya menjerumuskan manusia ke dalam kebodohan yang berbuah kejahatan. Sebab, hanya orang yang rendah hati yang bersedia belajar; sementara orang sombong merasa tak butuh siapa pun—termasuk kebenaran.

Karena itu, larangan Allah agar manusia tidak berjalan di muka bumi dengan penuh keangkuhan sesungguhnya menampar kesadaran kita. Siapapun kita, setinggi apapun jabatan dan sehebat apapun capaian, tetaplah makhluk bergantung. Gaya hidup memamerkan keperkasaan, pencitraan di depan kamera – acapkali dipertontonkan oleh sebagian pejabat publik kita, berjalan membusungkan dada seakan dunia berada di bawah telapak tangan dan kaki, adalah ilusi supremasi yang rapuh. Sebab, jika manusia benar-benar perkasa, ia tentu mampu hidup sendiri tanpa bantuan apa pun dan siapa pun—faktanya, tidak ada satu pun makhluk yang demikian.

Allah seolah mengajak manusia bercermin pada realitas eksistensialnya sendiri. Hentakkan kaki sekuat apapun takkan mampu membelah bumi. Dongakan kepala setinggi apapun takkan menyentuh puncak gunung. Maka, dari mana datangnya kesombongan dan merasa berkuasa atas segalanya itu? Bukankah manusia hanyalah makhluk lemah yang hidup di antara tanah dan batu? Jika demikian adanya, kesombongan menjadi bukan hanya kesalahan moral, melainkan kepongahan intelektual—sebuah kekeliruan logika yang sangat mendasar.

Pada akhirnya, semua larangan itu—termasuk kesombongan—adalah keburukan yang dibenci Tuhan. Padahal Tuhanlah yang selama ini melimpahkan kebaikan tiada henti. Melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya tanpa pandang bulu (rahmatan lil ‘alamin). Bagi ar-Razi, pesan ayat ini tidak sekadar larangan etis, melainkan tamparan eksistensial bagi manusia. Kesombongan bukan hanya salah secara moral, tetapi juga absurd secara logika. Sebab, tidak ada satu pun dalam diri manusia yang pantas untuk disombongkan, ketika ia sendiri hidup di antara bumi yang tak bisa diterobos dan gunung yang tak bisa dicapai. Karena itu, respons yang pantas bukanlah angkuh, melainkan syukur; bukan pamer kehebatan dan kekuasaan, tetapi ketaatan dan amanah yang harus dipertanggungjawabkan; bukan meninggikan diri, melainkan merendahkan hati di hadapan kebenaran.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini